Jenderal Sudirman dalam perang gerilyanya selalu lolos dari sergapan pasukan Belanda. Salah satu jejak gerilyanya ada di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangn, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Di tempat itu, ia pernah mengacungkan keris pada pesawat-pesawat Belanda. Sebagian masyarakat menganggapnya sebagai orang sakit.
***
Perjalanan ke Pacitan selalu menjadi tantangan sendiri, setidaknya bagi saya. Kabupaten ini selalu saja mengingatkan saya kepada salah satu pahlawan nasional, Jenderal Sudirman.
Di Pacitan, salah satu jejak gerilya beliau terdapat di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Pacitan. Melihat lokasinya di Google Maps, dari kota terdekat baik Ponorogo, Pacitan, maupun Wonogiri, perlu waktu satu jam lebih untuk menjangkaunya, tentu dengan medan yang konsisten naik turun ketika masuk ke wilayah Pacitan.
Perjalanan dari Alun-alun Ponorogo yang berjarak 46 km, telah saya tempuh pada 23 Agustus 2022 lalu. Memasuki kawasan monumen, tugu-tugu di pinggir jalan yang berisi kata-kata mutiara khas TNI mulai bermunculan. Berikut saya tulis beberapa:
“Tentara Republik Indonesia akan timbul tenggelam bersama negara.”
Selang beberapa puluh meter, saya disambut lagi dengan tugu lain:
“Tentara Republik Indonesia bukanlah serdadu sewaan, tetapi tentara yang berjuang untuk keluhuran tanah air.”
Semakin dekat dengan monumen, rasa cinta tanah air saya sepenuhnya bangkit. Makin terbayang, bagaimana perjuangan beliau dan para pengikutnya di masa lalu. Hingga di depan gerbang monumen, saya disambut kalimat yang menggambarkan bagaimana ringkihnya kesehatan beliau di masa itu:
“Walau dengan satu paru-paru dan ditandu. Pantang menyerah.”
Saat itu pula, saya disuguhkan dengan lanskap bangunan luas dengan gerbang megah di puncak bukit. Warung-warung pun berjejer di sekitar dinding luar monumen.
Relief-relief yang menceritakan awal mula kehidupan Jenderal Sudirman menyambut saya di gerbang. Tersusun berjajar di kiri kanan jalan dengan atap kokoh tebal bersudut 45 derajat seperti susunan pedang pora.
Relief di gerbang depan, menggambarkan perjalanan hidup Jenderal Sudirman mulai dari beliau masih mengajar sebagai guru, mengikuti pendidikan PETA, hingga memimpin perang di Ambarawa. Di ujung pandangan relief yang berjajar itu, patung sang Jenderal berdiri gagah, layaknya sedang mengamati musuh yang bersembunyi lereng-lereng bukit.
Bagian dalam area monumen, relief-relief warna perunggu menghiasi luar dinding gedung yang menghadap lapangan lebar di tengah. Peristiwa-peristiwa penting selama kehidupan beliau berlanjut, menjadi panglima besar, ilustrasi Perjanjian Linggarjati dan Renville, memimpin gerilya dengan ditandu, hingga kembali ke Yogyakarta, sampai beliau meninggal.
Selesai mengamati relief, saya mencoba naik tangga yang berjumlah 45 anak tangga dari lapangan, lalu berjumlah 8, dan berjumlah 17, hingga saya mencapai hadapan patung Sang Jenderal. Dari atas, tampak pengunjung yang didominasi remaja sedang berjalan santai dalam area monumen. Beberapa sibuk mengambil foto, dan sisanya sibuk bercanda tawa dengan pasangan.
Di tempat saya berdiri, di dekat kaki Sang Jenderal, pemandangan lereng-lereng bukit sekeliling monumen membuat siapa saja yang berkunjung ke sana paham, bahwa gerilya memang perlu medan yang naik turun, cadas, tersembunyi, sekaligus asri, sejuk, dan indah seperti ini.
Puas menikmati pemandangan dan mengambil foto-foto relief, saya beranjak turun dan bertanya ke pedagang sekitar monumen, tentang lokasi rumah tua yang dulunya menjadi markas gerilya. Saya kemudian diarahkan ke jalan kecil yang sedikit terjal menuruni lereng bukit.
Ujung jalan aspal itu, rumah tua berdinding kayu pendek dan beratap joglo mulai terlihat. Dinding luar terbuat dari kayu, tiang-tiang penyangga semua juga dari kayu, beberapa dinding dinding belakang dan sekat-sekat ruangan menggunakan anyaman bambu yang juga tidak kalah terawat.
Setelah mencari tahu, akhirnya saya dipertemukan dengan Mas Setiawan (35) yang merupakan cicit pemilik pertama rumah tua berdinding kayu ini.
Dengan suara yang pelan sekaligus menggunakan bahasa jawa kromo inggil, Mas Setiawan menjelaskan segalanya tentang rumah ini. Ditemani catatan-catatan yang terpatri di dinding rumah dan etalase kaca di depan rumah, saya pelan-pelan mencoba memahami.
Jenderal Sudirman memutuskan berdiam di Nawangan, Pacitan
Pada 18 Desember 1948 Belanda menyatakan tidak lagi mengakui dan terikat dengan perjanjian Renville. Yang disusul dengan Agresi Militer ke II di Yogyakarta. Cepat, Presiden, Wakil Presiden dan beberapa pejabat tinggi berhasil ditawan. Presiden Soekarno diasingkan ke Prapat, Sumatera Utara, Wakil Presiden ke Bangka, yang kemudian Presiden dipindah juga ke Bangka.
Menanggapi hal tersebut, Jenderal Sudirman menginstruksikan seluruh kekuatan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) yang ada di Yogyakarta untuk bergerilya ke arah selatan. Melewati Karesidenan Surakarta, Madiun, dan Kediri.
Singkat cerita, setelah tujuh bulan bergerilya, Jenderal Sudirman memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta. Namun, sesampainya di Pacitan, pasukan Belanda menghadang. Sehingga perjalanan APRI dengan rute Tirtomoyo dialihkan ke Nawangan, Pacitan.
Tepat, di lokasi saya berdiri, Dukuh Sobo, Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Pacitan, APRI bertahan dan bermarkas sejak 1 April hingga 7 Juli 1949. Yang juga merupakan waktu terlama pasukan APRI berdiam di suatu wilayah. Jenderal Sudirman dan ketiga ajudannya tinggal di rumah Mbah Karsosemito yang kemudian dijadikan markas Komando Gerilya pasukan APRI.
Sebagai pondasi komunikasi dengan pasukannya, Letnan Suhadi, Iskandan, dan Sutojo lalu mendirikan pemancar radio di Dukuh Banaran, tidak jauh dari markas.
Mas Setiawan memulai ceritanya: “Pasukan menyebar ke seluruh pelosok, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dari sini, Pak Dirman bisa mengkoordinir semua anggotanya, baik di kawasan Wonogiri, Ponorogo, dan Trenggalek, lewat pemancar radio. Selain itu, surat perintah maupun surat harian juga rutin dikirim oleh para lewat ajudan ke Yogyakarta yang memakan waktu tiga hari.”
“Karena tidak bisa langsung jalan lewat jalan yang mudah dilalui. Mereka harus bersembunyi, menyelinap di tempat-tempat yang tidak dilewati Belanda,” tegas Mas Setiawan.
Meskipun sudah merdeka pada tahun 1945, tetapi Belanda masuk kembali tahun 1947-1948. Berkedok aksi polisionil, Belanda secara sepihak melanggar Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville melalui Agresi Militer I dan II.
“Waktu itu, satu-satunya yang diharapkan cuma Pak Sudirman itu, tokoh-tokoh lainnya sudah diasingkan oleh Belanda,” ujar Mas Setiawan. Situasi genting itu juga membuat Presiden dan Wakil presiden terpaksa membuat surat kuasa yang mengangkat sementara Syafruddin Prawiranegara untuk mengambil alih pemerintah pusat ke Bukittinggi. Menjadi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
“Pak Dirman maunya berjuang sampai titik darah penghabisan. Menang atau kalah, harus sesuai dengan misi awalnya. Cuma karena beliau memiliki atasan, terutama Pak Karno. Ditambah Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga sudah memberikan saran kepada beliau bahwa kedaulatan sudah seutuhnya dikembalikan, sehingga Pak Dirman harus kembali ke Yogyakarta.”
“Padahal Pak Dirman tidak mau. Pokoknya berjuang sampai akhir bagaimana Belanda benar-benar kalah dan mau kembali ke negaranya.” terang Mas Setiawan
Sebelum kepulangan di Yogyakarta pada 10 Juli 1949, Indonesia dan Belanda telah menapak perjanjian Roem-Royen yang dimulai pada tanggal 17 April 1949 hingga ditandatanganinya pada 7 Mei 1949. Salah satu isinya adalah kesepakatan untuk menghentikan perang gerilya.
Serta kesepakatan kedua pihak untuk turut hadir dan berusaha sesungguh-sungguhnya dalam pelaksanaan Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Yang berakhir dengan penyerahan kedaulatan Republik Indonesia Serikat, disertai konsekuensi hutang ke Belanda senilai 4,3 miliar Gulden.
Menurut pandangan Mas Setiawan, sosok Jenderal Sudirman sedikit banyak memiliki prinsip yang tidak sejalan dengan Presiden Soekarno. Apalagi ketika presiden seringkali melakukan strategi diplomasi lewat perjanjian-perjanjian, yang lewat itu pula negara ini dikhianati pihak musuh. Berbeda dengan Jenderal Sudirman yang konsisten lewat jalan peperangan.
“Seolah-olah Indonesia diberikan kemerdekaan, ternyata kemudian dibohongi lagi. Setelah perjanjian Linggarjati dikhianati. Maka beliau berangkat untuk bergerilya. Pun kalau beliau sampai berdiam diri di Jogja, kemungkinan besar negara jatuh.” seru Mas Setiawan.
Roto Suwarno, pemuda nekat yang menjemput dan menjadi penunjuk jalan Jenderal Sudirman
Pada saat Jenderal Sudirman di Pacitan, saat itu, anak Kepala Desa Pakis Baru yang masih berusia 16 tahun bernama Roto Suwarno berinisiatif menjemput Pak Dirman di Tulakan, Pacitan. Pak Roto kemudian menjadi penunjuk jalan di Kecamatan Nawangan. Rombongan sempat menginap satu malam di rumah kepala Desa Mujing, Pacitan.
Perjalanan dilanjutkan ke arah barat menuju Yogyakarta, melewati Desa Tokawi, Pacitan. Roto Suwarno kemudian pulang lagi ke Pakis Baru setelah rombongan keluar Nawangan. Saat rombongan masuk ke Jawa Tengah. Celaka, di Tirtomoyo, Wonogiri, pasukan dihadang oleh Belanda.
Beruntung, informasi itu sudah dikantongi pengawal Pak Dirman, perjalanan ke Jogja tidak boleh dilanjutkan lagi, karena Baturetno, Wonogiri, sudah didiami oleh Belanda. Akhirnya inisiatif kembali ke Yogyakarta itu dibatalkan, dan kembali lagi ke Nawangan. Rombongan kemudian menginap tujuh hari di rumah Kepala Desa Tokawi.
Setelah mendengar rombongan Jenderal Sudirman kembali lagi ke Pacitan, Roto Suwarno yang sudah pulang ke Pakis Baru kemudian kembali lagi ke Tokawi dengan ditemani ayahnya, Darmo Widodo. Mereka berdua menghadap Pak Dirman supaya berkenan pindah ke Pakis Baru.
Karena rumah kepala desa di Tokawi itu di pinggir jalan, ditakutkan akan ada mata-mata yang lalu lalang pulang pergi dari pasar Tirtomoyo, Wonogiri. Kebetulan, jalan ke pasar melewati depan rumah kepala desa.
Permintaan itu disetujui, setelah singgah di rumah Kepala Desa Pakis Baru, Jenderal Sudirman dan rombongan dipersilahkan menempati rumah Mbah Karsosemito.
“Dipilih di sini, alasannya, pertama jauh dari jalan, kedua, tempatnya berbukit bukit, sesuai dengan strategi perang gerilya supaya susah dijangkau tentara Belanda. Ketiga, Pak Dirman yang saat itu memiliki penyakit paru-paru tidak tahan terhadap suhu yang dingin.”
Kalau dibandingkan, kawasan monumen memiliki suhu yang lebih dingin karena berada di sekitar 1000 mdpl lebih. Sedangkan di rumah Mbah Karsosemito, relatif lebih hangat karena ada di ketinggian yang lebih rendah, sekitar 800 sekian mdpl. Saya turut mengangguk, di sore yang cerah itu, suhu di dalam rumah tua itu memang hangat lewat cahaya matahari kuning keemasan yang masuk tanpa sungkan dari pintu.
Mbah Karsosemito yang saat itu menjabat sebagai bayan desa, tinggal di sana bersama istrinya, Jainah, dan anak laki-laki yang masih kecil berumur 7 tahun bernama Padi.
Keseharian Jenderal Sudirman di markas dan jimat yang membuatnya sakti
Mas Setiawan menceritakan, ketika Pak Dirman dan Kepala Desa Pakis Baru, Darmo Widodo datang, Mbah Buyut lagi ngurus singkong di belakang rumah. Darmo Widodo bilangnya cuma tamu besar. Pakaian Pak Dirman zaman segitu juga tidak memakai seragam, cuma pakai mantel ijo tua ditambah udeng.
“Kesan Mbah Buyut ketika pertama kali melihat, ya orang yang dituakan atau dukun, ternyata malah seorang panglima sekaligus juga seorang kiai,” ujar Mas Setiawan.
Jendera Sudirman datang dengan ditandu, kemudian turun dan naik tangga depan rumah pakai tekennya. Saat itu, ada 10 orang pengiring yang mendampinginya. “Besoknya, banyak tamu-tamu berdatangan, terutama dari tentara dan beberapa perangkat desa, dari Pakis atau Tokawi. Waktu itu, identitas beliau sangat dirahasiakan, dipanggil ‘Pak Di’ saja,” kata Setiawan.
Sehari-hari, Jenderal Sudirman selalu meminta ajudannya, Soepardjo Roestam untuk membantunya berjemur di teras depan rumah, berusaha untuk meringankan sakit yang beliau derita.
Sakit beliau bisa dikatakan cukup parah, bahkan untuk beraktivitas sehari-hari seperti berjalan saja, beliau dibantu oleh para ajudannya. Saya yang seorang dokter, bisa memahami, orang-orang dengan sakit Tuberkulosis yang belum mendapat pengobatan adekuat atau memadai, paru-parunya memang remuk di banyak tempat.
Tidak berlebihan kalau banyak yang mengatakan kalau beliau bergerilya hanya mengandalkan satu paru-paru. Dan Anda, jangan enteng menganggap satu paru-paru lainnya itu sehat. Bakteri tuberkulosis pelan-pelan juga menghancurkan paru-paru lainnya.
Satu waktu, persembunyian ini pernah hampir ketahuan pihak musuh: “Ketika Pak Dirman sedang berjemur di depan, tiba-tiba satu pesawat Belanda lewat. Tidak lama kemudian ada satu pesawat lagi yang lewat, Jenderal Sudirman yang dipayungi daun pisang sebagai peneduh oleh ajudannya, lalu mengacungkan kerisnya ke arah pesawat itu.”
Pesawat yang awalnya mau ke arah sekitar rumah, tiba-tiba mengubah arahnya dan mengebom Kuburan Semen yang berada di balik gunung.
“Waktu itu, istrinya Mbah Karso yang sedang berdagang ke pasar, mendadak kaget setelah mendengar ledakan bom. Beliau mengira kalau rumahnya telah hancur. Ketika pulang ke rumah tingkahnya seperti orang stres, diantar orang pasar sampai dagangannya ditinggal.”
Menurut cerita, pihak Belanda juga tidak henti-hentinya mencari keberadaan Jenderal Sudirman, konon katanya pasukan Belanda sudah sampai di balik gunung yang tampak jelas dari rumah Mbah Karsosemito. Mas Setiawan menunjuk gunung-gunung yang menjadi pelindung rumah ini dari musuh. Sedangkan yang saya lihat, lebih pada lembah hijau indah yang dikelilingi bukit.
Sambil sedikit tertawa, Mas Setiawan menceritakan keseharian Jenderal Sudirman yang gemar makan bubur dan minum wedang kencur. Pernah Mbah Buyut diberi susu oleh rombongan, tetapi karena tidak terbiasa, Mbah Buyut menolak pemberian itu. “Beliau kalau makan biasanya dibawa ke dalam kamar Mas. Mbah Buyut juga biasanya membawakan jajanan dari pasar.”
Waktu itu, orang-orang di sekitar sini turut membantu sebisanya. Padahal di sekitar sana masih jarang sawah, bahan makanan juga mahal, sesekali juga pernah minta bahan makanan sampai ke Jawa Tengah. Mengingat anggota Pak Dirman yang jumlahnya lebih dari 20 orang, pasokan makanan tentu menjadi soal. Tiap hari, juga hanya diberi makanan seadanya yang bisa tumbuh di Dusun Sobo. Hewan peliharaan seperti ayam atau kambing juga diberikan secara cuma-cuma.
Banyak orang yang mengira, sosok Jenderal Sudirman ini sebagai orang sakti. Setiawan menegaskan tentang jimat yang membuat orang menganggap Jendera Sudirman sebagai sosok sakti.
“Pak Dirman itu jarang batal wudu-nya. Kira-kira salah satu jimat Pak Dirman, ya tidak batal wudunya itu,” tegas Setiawan.
Penduduk sekitar menganggap Pak Dirman sebagai orang sakti: “Seumpama ada hajatan seperti ada yang lahiran atau sakit, biasanya ada perwakilan keluarga yang datang ke sini untuk meminta doa kepada beliau. Sampai ada anak lahir pun, diminta tolong untuk diberi nama oleh Pak Dirman.”
Ya itu tadi, orang di sini tahunya beliau cuma orang besar. Sebagian besar baru paham kalau beliau seorang jenderal, ya setelah Pak Dirman kembali ke Jogja.
Perabotan dalam rumah dan tatacara tradisional untuk mempertahankannya
Mas Setiawan menunjukan kamar-kamar yang Jenderal Sudirman dan para ajudannya tempati. Jenderal Sudirman menempati kamar depan, sedangkan Kapten Soepardjo Rustam tidur di kamar sebelah kanan, berbatas dinding dengan kamar Jenderal Sudirman, Kapten Cokropranolo menempati kamar tengah, dan Utoyo Kolopaking menempati kamar sebelah kiri.
Dipan kayu yang ditempati Jenderal Sudirman tampak masih utuh, penopang utama terbuat dari bambu yang tersusun rampak, dengan alas tikar. Dalam kondisi beliau yang sakit Tuberkulosis Paru, kamar ini memang sungguh tampak tidak layak. Tapi, yang namanya Panglima Besar, memang harus keras kepala berjuang.
Bagian dalam rumah Mbah Karsosemito, tampak kamar Jenderal Sudirman dan ketiga ajudannya, serta beberapa perabot yang dijaga kelestariannya. (Prima Ardiansah/Mojok.co)
Di ruang tengah, terdapat satu meja persegi besar dengan tiga kursi jati, dan satu kursi panjang. Saya dan Mas Setiawan asyik ngobrol di kursi panjang itu. Sebuah kehormatan untuk saya bisa duduk di sana, karena di masa lalu Jenderal Sudirman akan duduk di antara kami berdua untuk rapat menyusun strategi perang, dan mengambil keputusan bersama para pasukannya.
Bagian belakang rumah, menjadi tempat tinggal keluarga Karsosemito yang digunakan juga untuk tempat memasak bersama. Belakang rumah ini, juga ada satu rumah limasan milik kerabat Mbah Karsosemito yang digunakan sebagai tempat sholat dan tempat tidur pasukan gerilya lainnya.
“Meja ini sudah sering diperbaiki Mas, aslinya tidak boleh dipaku, tetapi karena sudah rusak akhirnya dipaku juga. Dulu yayasan Pak Roto Suwarno yang renovasi sebelum dipegang dinas kebudayaan,” Mas Setiawan bercerita sambil memegang permukaan meja.
“Ini tidak dicat, tidak diplitur. Supaya kesan masa lalunya tidak hilang. Tetapi, kerangka-kerangka rumah sudah diamplas, dulu aslinya kelihatan hitam-hitam. Setelah dihaluskan dengan mesin serut, kesannya lama itu sedikit berkurang. Padahal, aslinya kasar dari bekas gergaji besar manual jaman dulu.”
“Tanah di halaman depan itu dikeruk, Mas. Supaya rumahnya tampak tinggi dan megah. Tata letak bangunan ini juga dipertahankan seperti ini. Tidak boleh digeser, lebih-lebih dipasang keramik atau tekel. Kalau ada tanah di dalam yang tidak rata, cukup disiram air supaya padat.”
Jika ada kerusakan baik sedang maupun fatal, sudah ada pihak BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) yang menanggung. Mas Setiawan hanya merawat dan melayani tamu dan bersih-bersih. Misalnya, ada kerusakan bagunan seperti ada yang patah, nanti tinggal difoto dan disetor. Beberapa waktu kemudian, pihak BPCB akan survei dan lanjut ditangani.
Di depan saya, tepat menjadi dinding kamar Jenderal Sudirman, bahan dinding dari bambu sudah diganti lebih dari tujuh kali. Dirawat dengan penyemprotan berkala menggunakan air tembakau. Setahun sekali, biasanya ada monitoring dari pihak BPCB, dari sana nanti diambil beberapa sampel untuk diuji apakah perabot di sana pernah disemprot memakai bahan yang tidak alami. Karena diusahakan semua penanganan bangunan ini, menggunakan cara yang tradisional.
“Kalau bed di samping itu, biasanya untuk wadah tas, ransel, atau senjata. Peralatan lain, diletakkan di rumah belakang yang juga sebagai musala. Rumah saudaranya Mbah Karsosemito,” Mas Setiawan menunjuk amben di sebelah kiri kami.
Menunggu pemerintah menggarap serius monumen gerilya Jenderal Sudirman
“Sebenarnya, dulu mau dibuat di depan rumah ini, tetapi karena medannya tidak memungkinkan terutama karena ada tebing tinggi di sekitar rumah, takutnya nanti ada longsor dan sebagainya. Akhirnya, diletakan di Gunung Gandrung itu.”
Dulunya, Gunung Gandrung yang sekarang telah tertata monumen, merupakan tempat perlintasan Jenderal Sudirman dan rombongannya sebelum ke markas. Di sana, dilakukan perbaikan tanda, tali, dan sebagainnya karena jalan masih setapak dan susah.
Penggagas dari pembangunan monumen tersebut adalah Roto Suwarno, penunjuk jalan rombongan Jenderal Sudirman di Nawangan tadi. Selang beberapa tahun, keluarga Pak Dirman meminta Roto Suwarno untuk ke Jogja. Keluarga Jenderal Sudirman kemudian menyekolahkannya, kemudian meniti karir di TNI. Kemudian berdinas di kementerian Sekretariat Negara, sampai bisa menjadi anggota DPR/MPR di tahun 1980-an.
Karena kekagumannya dengan Jenderal Sudirman, Roto Suwarno memulai pembangunan monumen Jenderal Sudirman pada tahun 1980 dengan biaya sendiri, beliau hingga rela menggadaikan rumah pribadinya.
Satu waktu, beliau pernah ngotot mempertahankan markas APRI, atau rumah Mbah Karsosemito yang hendak dijual oleh pemiliknya. Selesai menebus biayanya, rumah tersebut dipugar pada tahun 1984, dan dirawat hingga sekarang. Sayangnya, belum selesai pembangunan monumen, beliau telah wafat terlebih dahulu pada tahun 1993.
Saat ini, monumen di Gunung Gandrung biasanya akan ramai ketika hari Minggu dan hari libur. Alhamdulillah setelah pandemi membaik, pengunjung juga semakin banyak. Terlebih, ke depan monumen ini mau dikelola sama Pemda gara-gara masalah yang berhubungan dengan aset tanah.
Adegan-adegan gerilya dalam diorama masih tersimpan di dalam gedung. Sejak monumen diresmikan oleh SBY, ruang-ruang dalam gedung belum pernah dibuka, hanya satu minggu setelah peresmian, setelahnya ditutup sampai sekarang.
Reporter: Prima Ardiansah
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: