Salinan Percakapan Nomor 002 tentang Perempuan Patah Hati yang Bunuh Diri

Baca cerita sebelumnya di sini.

PERCAKAPAN INI DIREKAM MENGGUNAKAN KAMERA HUAWEI P30 MILIK SAUDARA SAKSI BERINISIAL L PADA AWAL APRIL 2019. SALINAN REKAMAN DIGUNAKAN SEBAGAI BARANG BUKTI KASUS DUGAAN BUNUH DIRI YANG DIALAMI SAUDARA KORBAN BERINISIAL K. ARSIP KEPOLISIAN. TIDAK UNTUK DIBACA OLEH PUBLIK.

“Buat apa direkam?”

“Tunggu-tunggu. Nah, di sini sudah pas. Apa, Kal? Mau coba kamera, lah. Handphone baru. Mahal tahu.”

“Riya itu nggak baik. Menambah dosa masuk neraka.”

“Aku mati masih lama, jadi bisa bertaubat dulu.”

*Saudara saksi tertawa*

“Heh, kamu itu ke mana saja, Kal? Tiba-tiba hilang. Coba hitung deh. Sudah nggak masuk kerja berapa hari? Orang kantor bingung semua mencari kamu. Handphone juga mati. Aku cari di rumah juga nggak ada. Pak Robby sampai mau lapor polisi tahu. Kami kira kamu hilang. Ke mana saja sih?”

*Saudara korban tertawa pelan*

“Nggak ke mana-mana. Hanya berlibur sebentar. Menyegarkan pikiran.”

“O, bocah sinting. Liburan kok nggak izin, nggak kasih kabar ke siapa pun. Kasihan mama kamu, tahu. Dia pikir kamu lagi ada liputan ke luar kota. Untung kami nggak ada yang bilang.”

“Jangan marah-marah dong.”

*Saudara saksi menarik napas panjang*

“Jadi tiga hari ke mana saja? Liburan ke mana? Sama siapa?”

*Seorang perempuan datang ke meja membawa satu piring ayam goreng, satu piring nasi goreng, dua gelas es teh*

Makan dulu, lah. Aku lapar.”

“Aku cuma takut kamu kenapa-kenapa, Kal. Untung kamu sehat-sehat saja. Ya Tuhan, andai kamu tahu perasaanku, Kal. Lega banget aku. Kamu sehat, kan?”

“Sehat, Len. Seperti yang kamu lihat. Aduh, ini ayam goreng paling enak di dunia. Mau coba?”

“Nggak usah, makasih. Ayam tiren itu hiiii.”

“Hus, pelan-pelan. Nanti kalau Mbak Darmi dengar, bisa ditabok kamu.”

*Saudara saksi tertawa*

“Handphone kamu kenapa mati?”

“Oh, itu. Handphone aku hilang. Nggak tahu hilang di mana.”

“Lah, gimana bisa hilang? Kamu kecopetan apa gimana?”

“Nggak, bukan. Ya, tiba-tiba saja hilang. Kayaknya jatuh atau ketinggalan. Nggak mungkin kalau dicuri orang.”

“Ketinggalan di mana? Kamu liburan di mana sih?”

*Saudara korban terkekeh*

“Di Bukit Bintang.”

“Bukit Bintang? Baru dengar aku. Tempat apa itu? Bagus nggak?”

“Ya bukit. Ada kursi-kursi jadi kamu bisa duduk-duduk di sana sambil memandangi kota dari atas. Rumahmu saja kelihatan kalau dari sana. Bagus, sih, tempatnya. Tapi kalau ke sana lagi, kayaknya aku sudah lupa jalan.”

“Kamu ke sana sama siapa?”

“Aku ke sana bareng Suharto.”

“Hah? Suharto? Suharto siapa?”

*Saudara korban terkekeh*

Temanku.”

“Kamu temenan sama Suharto? Bukannya Suharto sudah mati?”

*Saudara korban terkekeh lagi. Pada menit ke 00:08:55 handphone Huawei P30 berbunyi. Baterai handphone hampir habis*

Suharto nama temanku, Len. Pedagang sepatu Kodachi. Aku pergi ke Bukit Bintang bareng dia. Anaknya asyik.”

“Aku baru tahu kamu punya teman namanya Suharto. Baru, ya? Kenal di mana? Eh, ganteng nggak?”

“Lumayan. Kepalanya plontos. Kami kenalan di bar. Tapi sejauh ini, anaknya baik. Nggak aneh-aneh.”

“Ya Tuhan, jadi kamu menghilang tiga hari itu kencan? Hmmm, bagus.”

“Kami nggak kencan atau apalah. Nggak seperti yang kamu bayangkan.”

“Ciye.”

“Percaya deh, nggak seperti yang kamu bayangkan.”

“Terus kalian ngapain aja?”

“Dasar otak mesum. Padahal kami nggak melakukan apa pun selain makan bareng dan ngobrol.”

*Saudara saksi tertawa. Kali ini lebih keras*

Iya deh. Aku percaya. Terus sekarang kamu gimana? Maksudku, nggak mau beli handphone lagi? Beli Huawei P30 saja kayak aku. Ada diskon, loh. Oh ya, kapan kamu mau ke kantor? Pak Robby sudah menunggu. Sebetulnya kami semua menunggu. Pekerjaan sudah menumpuk. Liburan telah usai. Sekarang saatnya kembali menghadapi realita. Oke?”

“Oke. Besok aku mulai ker…”

*Handphone Huawei P30 mati*

***

Bagian 1 Dugaan Kasus Bunuh Diri Saudara Korban Berinisial K: Petunjuk Pertama

Sejak terakhir kali bertemu dengan sahabatnya di kantin Mbak Darmi, Korban dikabarkan tidak pernah terlihat lagi, baik di kantor, rumah, kantin Mbak Darmi, ataupun tempat-tempat lain yang sering ia kunjungi. Jasadnya ditemukan tujuh hari kemudian dalam keadaan membusuk di sebuah penginapan di wilayah perbukitan Kaokasoa. Salinan percakapan nomor 002 adalah petunjuk pertama untuk mengungkap motif di balik kasus bunuh diri yang dialami Korban berinisial K. Kasus ini ditangani oleh Tim Reserse Kriminal Wilayah Kaokasoa dengan bantuan tiga orang anggota: Inspektur Polisi Satu Anton Cherliyan, Ajun Inspektur Polisi Dua Komang Adiyatama, dan Ajun Inspektur Polisi Tiga Wawan Hidayat.

Ketiganya berkumpul di ruang pemeriksaan pada pukul 10.00 WIB dan langsung membahas sasaran pertama mereka: Suharto.

Ajun Inspektur Polisi Dua yang membaca salinan percakapan itu langsung berniat membuat surat panggilan. Sambil mengisap rokoknya, ia bersiap membuat dokumen baru di Microsoft Word 2007.

Pasti ada hubungannya dengan Suharto-Suharto ini. Kok mirip namanya dengan mantan presiden,” kata Inspektur Komang.

“Sudah, tulis saja segera, Mas, biar kami bisa pergi. Bosan aku di kantor terus. Benar tidak, Pak?” ujar Inspektur Wawan. Inspektur Polisi Satu Anton Cherliyan hanya berdeham. Ia sibuk membersihkan kukunya yang kotor.

Mereka bertiga dikenal sebagai anggota yang paling malas di wilayah Kaokasoa. Ketiganya tidak tahu dan sepertinya memang tidak akan pernah tahu kalau bunuh diri terjadi bukan hanya karena masalah putus cinta atau apalah.

Sementara itu, nasib buruk mungkin sedang memburu Suharto, si pria plontos yang berhasil menyelamatkan nyawa korban satu kali, tetapi tidak untuk yang kedua kali. Kenyataannya, Bukit Bintang, atau lagu-lagu The Doors, atau film Wong Kar Wai, atau alkohol, atau bahkan hubungan baik yang terjadi di antara keduanya, tidak mampu menyelamatkan apa pun.

Tidak ada yang benar-benar tahu mengapa seseorang bisa sampai sebegitu beraninya menghilangkan nyawanya sendiri. Tidak polisi, tidak si Plontos, bahkan tidak si penulis sekalipun yang menciptakan cerita ini.

Exit mobile version