Teror Pocong Masa PKL yang Kalah oleh Loudspeaker

MOJOK.CO Karena surat Yasin kami tak mempan-mempan amat, bapak Ilham lantas meminta teleponnya untuk di­-loudspeaker demi melawan teror pocong yang tak berkesudahan.

Sebagai siswa tahun terakhir di SMK, aku dan teman-teman seangkatan mendapat giliran untuk bekerja PKL selama beberapa waktu.  Berdasarkan pembagian, aku mendapat jatah PKL di sebuah pabrik rem mobil daerah Cirebon bersama 6 orang teman sekelompok.

Mereka adalah Iko (ketua kelompok), Ferdi (si langganan juara kelas), Ilham (anak kiai ternama di daerah kami), Catur (penakut berkepala besar), Putra (preman sekolah semacam Dilan), sampai Dimas (teman yang baik tapi suka diledekin karena—well—sedikit ngondek).

Oh, dan aku? Aku Roy—anak yang biasa-biasa saja, dan hanya ingin mendapat nilai yang bagus untuk PKL 4 bulan kami.

Sejak hari pertama tiba di Cirebon, kami diarahkan untuk tinggal di sebuah perumahan di area pabrik. Rumah yang kami tempati berisi 3 kamar tidur dan 1 kamar mandi—seluruhnya terasa  normal dan menyenangkan, kecuali satu hal: perumahan itu terasa terlalu sepi. Tidak ada penghuninya selain kami yang masih kelas 12 SMK.

Kunci pintu yang diberikan terasa susah untuk membuka pintu pada hari pertama. Tak sabaran, Ferdi lantas mendobrak pintu keras-keras sampai kami bisa masuk dengan selamat. Ternyata, selain juara kelas, Ferdi juga juara karate spesialis pintu. Hmmm.

Perjalanan PKL kami biasa saja: setiap pagi, bus pabrik akan menjemput kami dari rumah ke kompleks pabrik yang jaraknya 2-3 km. Tapi, cerita aneh justru dimulai di rumah.

Dimas sering mengeluh ketakutan. Katanya, setiap kali salat, ia melihat sesuatu yang mengerikan, mulai dari pocong sampai ular. Sialnya, bukannya ketakutan, kami malah tertawa mendengar ceritanya. Monmaap, nih, soalnya kalau sama Dimas tu bawaannya pengin ngeledekin terus karena dia ngondek. Hehe.

Tapi Dimas tidak bohong. Suatu hari, ia mengambil air wudu di halaman rumah. Kala itu, Putra sedang berada di atas genting. Sebelum kamu keheranan, biar aku beri tahu: Putra memang hobi sekali naik ke atas genting untuk mbenerin yang bocor mendengarkan musik dari hapenya. Absurd memang, tapi yah, siapa sih manusia yang nggak absurd di dunia ini?

Dari atas genting, Putra bisa melihat jelas Dimas yang sedang mengambil air wudu dan bersiap-siap salat. Betapa terkejutnya ia melihat seekor ular besar mengikuti Dimas! Sontak, ia turun terburu-buru dan menyampaikannya pada kami semua.

Apakah kami ketakutan? O, tentu saja… tidak. Lagi-lagi, kami cuma tertawa dan menganggapnya bercanda. Ya gimana, coba: masa preman sekolah tiba-tiba ketakutan dan cerita kayak gitu? Duh, nggak mashooook!

Tapi sejak kejadian itu, satu per satu dari kami seakan diberi balasan. Ilham melihat bayangan pocong menjelang malam, sedangkan Catur harus terkaget-kaget saat pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Ia bahkan berkata “Assalamualaikum” saat masuk ke rumah selepas pulang kerja, lalu harus ketakutan setengah mati saat ada suara perempuan menjawab “Waalaikumusalam”.

Aku dan Iko sama sekali tidak merasakan apa pun.

Horor yang tiba-tiba terasa bagi sebagian besar dari kami ternyata mengganggu Catur secara nyata. Ia yang biasanya sok berani dan selalu ingin tampak sangar malah akhirnya memutuskan mengundurkan diri, meninggalkan kami berenam di rumah penuh misteri.

Di bulan kedua, selepas Catur mengundurkan diri, kami yang tersisa sering melaksanakan solat berjemaah. Yang menjadi imam salat adalah ketua kelompok, Iko, yang sering kami andalkan. Di rakaat kedua, tiba-tiba Iko berteriak, “Asu, bangsat!” yang membuat kami auto-istigfar, sementara Iko jatuh pingsan mendadak.

Salat langsung bubar. Kami menggotong Iko.

Setelah siuman, kami langsung meng-interview Iko. Sayangnya, ia mengaku tak ingat apa pun. Di kepalanya, ia hanya ingat ia tidur setelah salat.

Sejak kejadian Iko pingsan, kami ogah-ogahan menjadi imam. Akhirnya, Putra mengajukan diri dan memimpin salat kami. Apakah dia pingsan juga?

Tidak, tapi kali ini Dimas yang tumbang tak sadarkan diri. Tapi, tidak seperti Iko, Dimas ingat betul ia melihat pocong dari balik jendela.

Merasa kian hidup mencekam di perumahan pabrik antah-berantah, Ilham langsung berinisiatif menelepon bapaknya yang kiai. Aku heran juga kenapa ia tak melakukannya sejak awal, tapi ya sudah—toh untungnya ia kini sedang berbicara dengan bapaknya.

Bapak Ilham meminta kami membaca surat Yasin dan beberapa surat lainnya di seluruh penjuru rumah. Kami melakukannya dengan tekun, meski hati rasanya sudah lelah dan ingin kabur seperti Catur. Tapi, mau bagaimana lagi, masa PKL sudah berjalan separuh, tentu sayang kalau harus ditinggal.

Selepas yasinan, kami semua berkumpul di satu kamar. Aku merebahkan diri di sebelah Ilham yang menaruh hapenya di dadanya sendiri.

Tidak ada yang bicara sampai tiba-tiba hapeku berbunyi. Ada panggilan masuk.

Anehnya, si penelepon tadi adalah Ilham.

Padahal, Ilham jelas-jelas ada di sebelahku dan hapenya tidak dalam kondisi menelepon.

Kami berpandangan dan akhirnya aku memutuskan untuk mengangkatnya. Alih-alih mendengar suara orang, aku justru mendengar suara seseorang yang seperti sedang menyapu daun-daun kering atau berjalan di atas daun-daun tersebut. Srek… srek… srek….

Kami ketakutan dan pergi tidur. Sialnya, kami benar-benar ketakutan malam itu. Ferdi ketindihan di malam hari. Kami benar-benar ketakutan dan akhirnya tak bisa tidur sama sekali. Keesokan harinya, hanya Iko yang berangkat masuk ke pabrik.

Sorenya, Iko pulang membawa alasan kenapa perumahan tempat kami tinggal sepi dan tak dihuni orang. Beberapa tahun lalu, katanya, tempat ini sempat dipakai untuk menyelenggarakan layar tancap dengan tujuan untuk meramaikan suasana. Namun, suasana malah benar-benar jadi ramai karena ada kesurupan massal. Sejak hari itu, tak ada seorang pun yang ingin tinggal di sana.

Kami bergidik ngeri, sebelum akhirnya Ilham menelepon bapaknya lagi. Menurut penerawangan bapak Ilham, kami ternyata bersikap kurang sopan sejak awal, khususnya karena kami mendobrak pintu untuk masuk ke dalam rumah. Karena surat Yasin kami tak mempan-mempan amat, bapak Ilham lantas meminta teleponnya untuk di­-loudspeaker. Dengan bantuannya, kami memperdengarkan bacaan-bacaan yang ia bacakan dari seberang telepon ke berbagai sudut di rumah.

Mulanya, aku pikir ini tak akan berdampak apa-apa. Tapi siapa sangka—setelah hal ini kami lakukan, tak ada lagi cerita kami diganggu oleh pocong atau ular misterius. Sisa PKL dua minggu kami berjalan dengan damai dan menyenangkan.

Ah, bapaknya Ilham, kenapa dari awal kami nggak kepikiran untuk ngajak beliau ikut PKL aja sekalian, ya? (A/K)

Exit mobile version