Ngapain Ngurusin Golput? Mereka Nggak Sepenting Itu

MOJOK.CO – Untuk apa lempar kata-kata kasar macam “pengecut”, “psycho-freak”, “benalu”, dan lain sebagainya hanya untuk sesuatu yang niscaya macam golput ini?

Bisakah kita berhenti ngurusin mereka yang golput? Karena kalau kita tidak berhenti, mereka akan merasa diperhatikan, merasa mendapat tempat, dan berpikir mereka itu penting, Kakak.

Seperti para pencari kekasih yang berulang kali kita tolak, yang tahu bahwa dirinya dimaki-maki, diceritakan buruk ke teman-teman, lalu tetap merasa bahagia karena menjadi bagian dari percakapan—seburuk apa pun mereka diperbincangkan, mereka akan segera berhenti berjuang ketika diabaikan.

Anggap saja what-so-called golputers juga begitu. Diabaikan saja. Karena di dunia ini nasib paling lara adalah mereka-mereka yang tak dianggap ada. Orang-orang yang diabaikan. Karena itulah dulu Pinkan Mamboo bikin lagu “Kekasih Tak Dianggap” dan lagu itu sedih sekali.

Maksud saya, apakah dengan mengurusi golput maka Pemilu akan benar-benar berhasil melahirkan pemimpin yang benar-benar amanah dan menyelesaikan seluruh persoalan negeri, belum tentu juga kan? Atau misalnya dengan tidak mengurusi golput makan Pilpres akan berakhir seri, juga belum tentu kan?

Dengan atau tanpa golput, Pemilu akan berjalan sebagaimana biasa dan siapa pun yang terpilih akan senantiasa berjuang untuk bangsa dan negara, dan pada saat yang sama akan tetap ada golongan yang merasa aspirasinya tidak diperjuangkan dengan layak. Selalu begitu.

Lalu untuk apa buang-buang fatwa, lempar kata-kata kasar macam “pengecut”, “psycho-freak”, “benalu”, dan lain sebagainya hanya untuk sesuatu yang niscaya ada ini?

Golput itu pasti ada di setiap Pemilu. Alasannya macam-macam. Mulai dari yang menolak memilih dengan kondisi minus mallum, tidak tega jika hanya memilih salah satu saja, tokoh favoritnya Mahfud MD tidak nyapres, liburan Paskah di tempat lain, malas bangun pagi, atau yang memegang prinsip lebih baik dipilih daripada memilih.

Kita bisa apa dengan orang-orang itu?

Setiap orang punya prioritasnya masing-masing dan hanya karena mereka tidak meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan sama sekali tidak berarti bahwa mereka pengecut, Tanta.

Siapa tahu mereka justru malas karena selalu dituduh yang bukan-bukan? Atau memilih melakukan pengabaian? Sakit bukan? Bagaimana mengatasinya? Pengabaian dibalas pengabaian, Sodara. Hanya itu balasan yang setimpal.

Mengurusi mereka yang golput dengan alasan-alasan selain pengecut-benalu-bodoh-psycho-freak tadi malah menghabiskan energi; selain bahwa mereka akan merasa menjadi orang paling diperhatikan.

Tahu kan bagaimana sikap orang-orang yang diperhatikan secara berlebihan? Ngelunjak! Abaikan saja. Biar lagu Pinkan Mamboo bisa populer lagi. Bukankah bangsa ini kita sudah terbiasa melakukan pengabaian?

Kalau misalnya bapak-ibu-sodara-sodari tim sukses sekalian di mana saja berada terpaksa menyibukkan diri dengan golput karena merasa tak ada hal lain yang dapat dilakukan, izinkanlah saya menyampaikan usul-usul berikut.

Pertama, siapkan diri menerima kekalahan.

Begini. Kalah menang (seharusnya: terpilih tidak terpilih) dalam Pemilu adalah keniscayaan. Namun tak jarang banyak yang lebih menyiapkan diri untuk merayakan kemenangan.

Sewa panggung, hubungi sound system, seksi pembantaian ternak untuk makan-makan, mendatangkan berjeriken-jeriken sopi, menyiapkan kata sambutan, merancang tata cara sujud syukur, dan lain sebagainya.

Akibatnya, ketika yang terjadi adalah situasi sebaliknya, mereka ternyata kalah, mereka menangis, menyalahkan lembaga survey, dan menuduh golput sebagai biang kekalahan mereka. Tidak ada yang sadar bahwa cara kampanye mereka yang buruk lah yang membuat mereka tidak dipilih. Lalu mereka stres. Tertekan.

Situasi inilah yang harus dipersiapkan dengan lebih baik. Menyiapkan diri menghadapi kekalahan. Karena kekalahan biasanya tidak datang sendiri. Dia datang dengan olok-olokan.

Cie cie cieee… kalah ni yeeee.

Itu akan sangat menyakitkan. Lebih sakit dari perasaan golputers yang dituduh pengecut dan bodoh itu.

Sudah siap? Kalau belum, harus segera disiapkan. Beberapa hal yang mungkin diperlukan adalah akses ke petani hortikultura untuk mendapatkan stok mentimun; sayur ajaib penurun tensi.

Sedangkan khusus untuk tim sukses, berlatihlah mulai sekarang menerima tamparan dan tendangan dari junjungan Anda yang merasa telah mengeluarkan uang banyak tetapi yang sukses justru anggota tim mereka yang segera membeli mobil baru.

Latihan tampar menampar ini bisa dilakukan di antara sesama tim sukses yang sudah tahu rahasia masing-masing; tidak bekerja tetapi merasa paling banyak berkeringat.

Langkah kedua adalah memikirkan cara balik modal. Yang ini bukan untuk capres-cawapres sih. Tapi untuk mereka yang jor-joran ikut menyumbang dana kampanye.

Pikirkan cara balik modal yang halal. Karena percaya lah, mau junjungan Anda menang atau kalah, hasilnya sama saja. Uang di rekening Anda yang sudah berkurang sangat banyak tidak akan dapat dikembalikan dalam jumlah cepat.

Misalkan junjungan Anda kalah, paling kuat Anda hanya dapat pelukan mesra atau tepukan di bahu dengan sedikit mazmur penghiburan semacam: kita sudah berbuat banyak tetapi ini adalah kemenangan yang tertunda.

Kalau junjungan Anda menang, belum tentu juga bisa langsung dapat proyek. Ada mekanisme yang ribet, rumit, dan mata KPK yang setajam mata elang.

Eitsss… jangan pikir bahwa saya menuduh Anda sepragmatis itu. Anda bisa saja mendukung calon tertentu karena merasa ia sosok paling tepat bagi bangsa ini, tetapi Anda tak bisa melarang anak bangsa ini yang memberi cap bahwa sebagian besar tim sukses adalah para pencari proyek atau pencari keuntungan pribadi.

Iya. Barangkali bukan Anda. Tapi sebagian besar. Eh.

Ketiga, mencari peluang lain yang lebih aman. Ini untuk yang junjungannya akan kalah. Pikirkan peluang itu dari sekarang. Karena setelah masa kampanye yang beratnya minta ampun ini, di mana seluruh makian telah Anda kerahkan sekuat kemampuan, Anda akan dianak-tirikan.

Tidak percaya? Ya, itu sih pilihan Anda. Hm, dianak-tirikan saja mungkin biasa. Tapi kalau ditambah hujat-hujatan para maha-warganet? Beli mentimun yang banyak, Kakak.

Hemat saya, tiga hal ini penting untuk dipikirkan secara saksama dan dalam tempo yang seingkat-singkatnya.

Hal-hal lain akan kita bicarakan kemudian. Karena sekadar mengingatkan, mereka yang golput itu bukan orang bodoh. Mereka hanya tidak tahu siapa yang paling baik yang dapat dipilih membawa bangsa ini ke arah yang tepat.

Mereka bukan pengecut. Mereka hanya tidak berani memilih karena merasa tidak ada yang sanggup memikul salib pembangunan dengan beribu-ribu tuntutan ini. Beda. Bodoh dengan tidak tahu itu beda. Pengecut dengan tidak berani itu juga beda.

Hal yang sulit saya abaikan dan menjadi sedih karenanya adalah, orang-orang besar menuduh orang-orang sebangsanya sebagai pengecut yang bodoh dan benalu yang haram, dan lain sebagainya.

Jangan-jangan ini gejala bahwa pengabaian akan dianggap sebagai hal yang biasa di pulau kelapa yang amat subur ini?

Exit mobile version