MOJOK.CO – Anggota Komisi III DPR RI menganggap OTT KPK di Lapas Sukamiskin hanya cari sensasi saja. Apalagi hasil pidana suapnya juga cuma di angka ratusan saja, masih kelas ecek-ecek.
Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kalapas Sukamiskin, Wahid Husen, sebagai tersangka kasus suap mengenai fasilitas narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin, Bandung. Penetatapan ini merupakan buntut dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang menemukan ada kejanggalan dalam sel-sel penjara di Lapas Sukamiskin.
OTT ini juga mengamankan sejumlah uang tunai sekaligus kendaraan yang diduga merupakan “uang pelicin” agar beberapa fasilitas mewah bisa dinikmati oleh para narapidana korupsi. Beberapa hal yang “dijual-belikan” di antaranya pemilihan kamar sampai izin keluar lapas. Rata-rata uang yang harus dikeluarkan oleh koruptor sekitar 200-500 juta.
Menanggapi hal itu, DPR RI dari Komisi III mengajukan protes atas aksi KPK ini. “Itu adalah OTT ecek-ecek,” kata Taufiqulhadi.
Menurut anggota Komisi III ini, hal semacam ini tak perlu dilakukan mengingat masa jabatan Presiden Jokowi tinggal setahun lagi. Hal-hal semacam ini dianggap sebagai upaya KPK untuk cari sensasi saja. Di sisi lain, Taufiqulhadi juga melihat hasil dari OTT “hanya” berkisar di angka ratusan juta saja.
“OTT hanya 100 juta, OTT yang adillah. Di situ ada korupsi atau tidak? Di situ kan cuma ada sejumlah kegiatan jual-beli sel yang kemudian di dalam kamar itu ditemukan uang 100 juta mungkin. Itu kan nggak ada relevansinya,” katanya.
Menurut anggota DPR RI dari Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) ini KPK hanya sedang cari yang bombastis-bombastis saja. Apalagi menurutnya, Komisi III DPR tidak pernah memberikan anggaran KPK untuk hal-hal yang “ecek-ecek” seperti itu. Bahkan menurut Taufiqulhadi, KPK sudah berubah dari lembaga yang serius menjadi lembaga yang bikin lucu-lucuan.
Anggota Komisi III yang lain, Asrul Sani dari Fraksi PPP pun mengomentari OTT KPK ini. Menurut Asrul Sani, seharusnya KPK memperhatikan Badan Penyelenggara Negara yang merugikan negara minimal 1 miliar saja dulu.
Apalagi Asrul Sani juga mempertanyakan apakah Kalapas Sukamiskin, termasuk menjadi bagian dari Badan Penyelenggara Negara. “Saya ingin dapat pencerahan, tapi tidak dalam posisi tidak mengapresiasi OTT karena itu ikhtiar pembenahan. Tapi ada kemungkinan di-challenge di praperadilan,” jelasnya.
Ada banyak kejanggalan yang terjadi di Lapas Sukamiskin saat KPK melakukan OTT. Selain mengenai mewahnya fasilitas bagi narapidana, beberapa koruptor tidak ditemukan di selnya masing-masing. Dua nama yang “menghilang” itu adalah Fuad Amin, koruptor saat menjabat sebagai Ketua DPRD Bangkalan, dan Tubagus Chaeri Wardana (Wawan), adik Ratu Atut Chosiyah.
Setelah sebelumnya, disebutkan Fuad Amin dan Wawan sedang izin sakit, ternyata KPK tidak menemukan keduanya di Rumah Sakit. Hal ini membuat KPK berencana akan memanggil kedua narapidana untuk dimintai keterangan.
Di sisi lain, Fadli Zon merenspons bahwa penjara atau rumah tahanan harus jadi tempat yang manusiawi. “Sebenarnya memang di satu sisi penjara atau rumah tahanan itu juga memerlukan suatu tempat yang manusiawi. Jadi bukan hanya itu (napi koruptor), untuk semua,” kata Wakil Ketua DPR RI ini.
Fadli Zon juga menilai bahwa semangat yang diusung seharusnya pembinaan. Mengenai OTT KPK, Fadli Zon memilih menunggu prosesnya secara hukum. “Kita lihat nanti prosesnya, prosedurnya nanti hasil investigasinya, karena kita belum tahu apa yang sebetulnya terjadi, kita harapkan sesuai dengan aturan yang ada sajalah.”
Lagian, mau kelas ecek-ecek atau kelas miliaran, yang namanya suap dan korupsi ya tetap korupsi bukan? Kenapa harus pilih-pilih? Kalau memang sudah jadi narapidana masih bisa bermewah-mewahan sampai keluar lapas, fungsi KPK memberantas korupsi juga cuma jadi lucu-lucan dong? Lha wong, masuk penjara ternyata ternyata nggak terasa dihukum, ya bagaimana koruptor bisa kapok? (K/A)