Lomba Tujuhbelasan dan 5 Cerita Sedih di Balik Sejarahnya

MOJOK.CO Di balik deretan lomba tujuhbelasan menjelang hari kemerdekaan, ada cerita-cerita sedih yang patut kamu ketahui.

Tanggal 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia, selalu disambut dengan serangkaian lomba Agustusan atau lomba tujuhbelasan di kampung-kampung penduduk. Kamu tentu tak asing dengan permainan berhadiah di bulan kemerdekaan ini, seperti balap karung, lomba kelereng, menyusun koin, makan kerupuk, dan lain sebagainya. Tapi, tahukah kamu makna-makna dan kisah di balik lomba tujuhbelasan?

*jeng jeng jeng*

Dilansir dari berbagai sumber, Mojok Institute berhasil mengumpulkan data-data sejarah di balik beberapa nama lomba tujuhbelasan. Uniknya, kisah-kisah yang tersimpan pada masing-masing lomba ternyata merupakan kisah sedih yang menyayat hati….

1. Makan Kerupuk

Lomba yang satu ini adalah hukum wajib dalam gelaran lomba Agustusan di mana saja. Ibaratnya, selama ada penjual kerupuk, bulan Agustus pun akan berlalu dengan bahagia.

Tapi ternyata, lomba makan kerupuk ini merupkan simbol kesedihan masyarakat kita di masa penjajahan. Dulu, orang-orang misqueen kayak kita cuma bisa makan berupa nasi dan kerupuk—itu pun sudah (terpaksa) cukup nikmat. Huhuhu, sedih kan?

2. Tarik Tambang

Kekuatan otot yang menjadi pemeran utama dalam lomba ini menunjukkan bahwa tarik tambang lahir di saat orang-orang terbiasa bertanding fisik. Ternyata oh ternyata, lomba ini—lagi-lagi—lahir dari kisah sedih masa penjajahan.

Dulu, warga pribumi sering kali dimintai tenaganya untuk mengangkat benda berat menggunakan tali tambang. Untuk itulah, sebagai hiburan, para pekerja melakukan permainan dengan tali yang sama.

3. Balap Karung

Sama seperti lomba sebelumnya, lomba balap karung disebut memiliki cikal bakal masa penjajahan. Kali ini, yang menjadi sorotan adalah bahan pakaian warga pribumi.

Dulu, kakek nenek kita (atau kakek nenekknya kakek nenek kita) tidak bisa mengikuti fashion terkini dari tagar #OOTD di Instagram. Sebaliknya, mereka harus rela menggunakan pakaian dari bahan tak layak, seperti plastik, karet, atau karung goni—meski mereka jadi gatal-gatal luar biasa.

Nah, setelah Indonesia merdeka, mereka konon meluapkan kegembiraan dengan cara menginjak-injak karung. Mamam~

4. Permainan Egrang

Sedikit berbeda dengan lomba makan kerupuk dan balap karung yang lahir dari keadaan warga pribumi yang dianggap rendah, permainan egrang dalam lomba tujuhbelasan justru hadir sebagai ejekan bagi Belanda.

Seperti yang kita ketahui, bule-bule dari Belanda tentu bertubuh jangkung menjulang—berbeda dengan postur tubuh warga Indonesia yang lebih pendek. Nah, permainan egrang alias jangkungan ini pun konon sengaja dimunculkan sebagai bentuk ejekan pada postur tubuh si bule yang terlalu tinggi.

Mantap! Ngejeknya berkelas!

5. Panjat Pinang

Dalam bahasa Belanda, lomba yang satu ini dinamakan dengan De Klimmast yang berarti “panjang tiang”. Meski seru, nyatanya perlombaan ini dulu dihindari orang-orang Belanda. Pasalnya, para peserta harus rela diinjak-injak peserta lainnya demi mendapatkan hadiah.

Hal inilah yang membuat para penjajah kian kesenangan melihat pribumi ikutan lomba panjat pinang. Bagi orang Belanda, panjat pinang ini sangat menjijikkan, tapi justru sesuai dengan orang-orang Indonesia yang rela diinjak-injak hanya demi mendapatkan beras yang tergantung di atas tiang.

Ih, sejarahnya panjat pinang emang sedih, ya, ternyata? Yah kalau di zaman sekarang, sih, yang nggak kalah sedih itu pacaran udah lama, tapi belum dipinang-pinang….

Exit mobile version