7 Perjuangan Hidup dengan Sifat Pemalu yang Bikin Susah

MOJOK.CO Sebagai seseorang yang memiliki sifat pemalu, kadang-kadang saya merasa seolah-olah hidup menjadi lebih berat 32.746 kali.

Lingkungan baru sering menjadi tantangan bagi beberapa orang, khususnya kita-kita yang dianugerahi sifat pemalu. Saking pemalunya, kadang kita sampai pusing sendiri. Kenapa, sih, hidup harus seberat ini? Kenapa, sih, kita harus tertahan karena sifat pemalu yang berlebihan ini?

Dan… orang-orang lain tahu  nggak, sih, betapa kita sebenarnya harus menghadapi permasalahan-permasalahan ‘besar’ dalam hidup cuma karena kita ini malu? :(((

Secara khusus, saya jelas berharap bahwa orang-orang pemalu kayak kamu—dan saya sendiri—bisa mendapat pengertian lebih dari orang-orang lain tanpa perlu kita beri tahu dengan malu-malu. Maka, melalui tulisan ini, marilah simak bersama mengenai perjuangan-perjuangan kami—para pemalu:

1. Ditawarin Makan? Malu.

Ada teman yang datang membawa makanan. Dengan gesit, ia menawarkannya ke semua orang, termasuk kami, para pemalu. “Nih, jajan,” katanya, sambil menyodorkan santapan tersebut.

Sialnya, karena sifat pemalu yang mendarah daging itu, secara refleks kami cuma bisa menjawab, “Eh iya, nanti aja,” atau “Nggak, Mbak,” atau malah bohong, “Aku dah makan tadi,” padahal sebenernya yang mau kami bilang adalah: “AKU PENGIN AMBIL MAKANANNYA DONG, AKU LAPER BANGET, NIH.”

Tapi, yah—kami terlalu malu untuk itu.

2. Diajak Kenalan? Malu.

Jangankan mengambil makanan yang ditawarkan, wong diajak kenalan saja sudah jadi tantangan tersendiri buat kami!

Ya, ya, ya. Kecenderungan kami untuk tidak bicara banyak dan tidak berekspresi dinilai orang sebagai sikap membosankan dan jutek. Kadang-kadang kami ingin sekali bersikap lebih easy going dan membuka percakapan hangat yang menyenangkan, ta-tapi…

…kami tu malu, Kak, malu! Mbok ajakin kami ngobrol duluan aja, gitu…. :(((

3. Mau Buka Suara? Malu.

Ada kalanya, kami terlibat dalam suatu pembicaraan atau diskusi serius. Lalu, terjadilah sebuah momen: seseorang melempar sebuah pertanyaan atau masalah yang sebenarnya kami tahu jawabannya.

Sialnya, alih-alih langsung menjawab atau mengusulkan pandangan, niat kami harus berhenti di kerongkongan. Tapi, waktu tiba-tiba seorang teman buka suara dan memberi penjelasan yang kurang lebih mirip dengan apa yang sebenarnya ingin kami sampaikan, kami pun jadi gondok sendiri.

Kenapa cuma untuk ngomong kayak gitu aja kami nggak berani, sih???

4. Diikuti Pelayan Toko? Malu.

Perlu diketahui, keputusan kami untuk berbelanja di toko patutlah diapresiasi. Soalnya, kami jauh lebih merasa nyaman berbelanja di online shop atau market place saja.

Tapi, ada beberapa masa ketika kami akhirnya datang ke toko. Tapi, selagi kami memilih barang, kami sangat merasa tidak nyaman saat tahu-tahu si pelayan toko datang mendekat dan mengikuti kami—meskipun kami paham bahwa kerjanya dia ya kayak gitu :(((

Itulah kenapa waktu kami ditanya, “Mau cari apa, Mbak?” kami bakal langsung jawab, “Cuma lihat-lihat dulu, Mbak,” lalu pergi ke tempat lain….

5. Mau Ketemu Orang? Malu.

Pada suatu keadaan yang mengharuskan kami bertemu seseorang, sifat pemalu kami tidak bisa tenang. Untuk mengantisipasi ke-krik-krik-an yang mungkin terjadi, kami cenderung mempersiapkan daftar topik pembicaraan di dalam kepala.

Ah, jangankan waktu mau ketemu orang, wong waktu nggak sengaja ketemu orang yang kami kenal aja rasanya malu mau nyapa. Alhasil, kami cenderung mlipir dan pura-pura nggak lihat.

Maafin kami, Teman-Teman :(((

6. Nanya Berkali-kali? Malu.

Saat diajak bercerita panjang lebar oleh seorang teman, kadang kala kami merasa khawatir sekali. Apa pasal? Soalnya, kadang kami tak begitu jelas mendengar kata-kata si teman.

Memang, mulanya kami memberanikan diri memintanya mengulang perkataannya (“Hah? Apa?”). Tapi, kalau ternyata omongannya masih tetap nggak jelas, kami jadi malu mau nanya lagi, lalu memilih diam dan senyum-senyum aja.

Sok ngerti abis, padahal clueless.

7. Di Rumah Mau Ada Tamu? Malu.

Tiap kali orang rumah kami (bapak, ibu, kakak, adik, atau teman sekontrakan) memberitahu bahwa ia akan kedatangan tamu, kami merasa harus memutuskan satu hal: kami tidak usah menampakkan diri dan ikut menyapa si tamu. Kami malu.

“Aku di kamar aja, ya,” begitulah selalu kata kami, mengunci diri dalam kesepian karena malu tak berkesudahan. Bahkan, saat mau ke kamar mandi pun kami harus mindik-mindik agar tidak ketahuan.

Kenapa begitu? Entahlah, yang jelas kami malu. Itu saja.

Exit mobile version