Urusan Servis-Menyervis Hape dan Elektronik, Indonesia Rajanya

Android P, Google Assistant, Google I/O 2018

Android P, Google Assistant, Google I/O 2018

Di Indonesia ini, percayalah, rakyatnya lebih takut hapenya rusak ketimbang tak bisa makan. Maklum, urusan hape memang menjadi urusan yang begitu sentimentil, ia memengaruhi kehidupan sosial, budaya, politik, spiritual, bahkan seksual masyarakatnya.

Pokoknya kalau peranti elektronik yang satu ini sudah rusak, maka si empunya barang bisa bakal merasa terusir, terancam, dikucilkan dari masyarakat, merasa lemah, dan bahkan merasa tak punya sumbangsih apa-apa terhadap peradaban.

Mangkanya, jangan heran jika kemudian tukang servis hape dan elektronik adalah senyata-nyatanya penyelamat. Dan puji Tuhan, di balik segala carut marut yang ada, Indonesia ternyata dianugerahi tukang-tukang servis elektronik yang pilih tanding dan mumpuni.

Kisah-kisah kedigdayaan tukang servis di Indonesia ini sudah terkenal sampai ke ujung dunia. 

Beberapa waktu yang lalu, kisah kedigdayaan tukang servis Indonesia sempat menjadi buah bibir gara-gara ditulis oleh Nik Semenov, managing director-nya Zen Rooms.

Dalam salah satu postingannya, ia membandingkan pengalamannya saat menyervis hapenya di Singapura dan di Indonesia.

“Jakarta vs Singapore: In Spore, they have to tried to fox my phone for 1 hour, 2 people. Finally came to conclusion that I need to send it to China. It will take 3 weeks to fix and cost SDD 400. In Jakarta Ambass mall: 30 min, one guy, 17 years old, for IDK 750k (USD 50) fixed my problem in 30 min, gave 30 days warranty and free juice while I was waiting. Not that bad in big durian.” Begitu tulis Nik.

Pengalaman soal servis-menyervis di Indonesia ini juga dialami oleh Gideon Bosker, seorang dokter kenamaan Amerika yang juga menjabat sebagai Presiden CMEducation Resources.

Suatu ketika, saat berada di Bali, laptop yang ia gunakan untuk bekerja mengalami kerusakan parah.

Oleh seorang petugas hotel, ia disarankan untuk membawa laptopnya yang rusak ke salah satu tempat servis komputer di Bali.

Bosker pun menuruti apa kata petugas hotel. Ia kemudian diantarkan ke sana dan kemudian menjadi sangat sangat khawatir. Khawatir sebab tempat servis yang dituju ternyata bukan tempat servis resmi. Tempat servis tersebut tak ubahnya seperti tempat sampah komputer karena banyak hardware berserakan di mana-mana.

Bosker menyebutnya sebagai “The most out-of-control high-tech service center anywhere in the world.”

Di tempat servis tersebut, bahkan tak ada yang bisa berbicara Inggris.

Di sana, laptopnya diurus oleh seorang pemuda yang terlihat tidak terlalu kompeten dan tampangnya tidak tekno.

Bosker semakin ragu tatkala ia melihat bagaimana cara pemuda itu mendiagnosis kerusakan laptopnya. Betapa tidak, si pemuda ternyata cuma mengetuk-ngetuk laptop Bosker untuk mengetahui apa kerusakannya.

“This young man began tapping on my computer’s plastic shell with his fingers. It reminded me of how I used to check the backs of my older patients for pneumonia,” kata Bosker.

Namun nyatanya, tak berselang lama, setelah diotak-atik oleh si pemuda, Laptop Bosker itu kembali normal seperti sediakala. Ongkos biaya perbaikannya, menurut pengakuan Bosker hanya 20 ribu rupiah.

Dan bertahun-tahun setelah diservis, laptop Bosker masih bisa terus bekerja dengan baik.

Kisah tentang pengalaman Bosker menyervis laptop di Bali itu kemudian menjadi sangat terkenal setelah ditulis di New York Times. Kisah tersebut sekaligus semakin menegaskan betapa dalam urusan servis menyervis, Indonesia adalah rajanya.

Di Indonesia, tak terhitung ada berapa konter-konter hape atau gerai servis elektronik non resmi yang dengan mantap dan berani menambahkan embel-embel “Bisa ditunggu”. Dan ajaibnya, mereka benar-benar bisa memperbaikinya. Bahkan tak jarang jauh lebih cepat ketimbang servis resmi.

Rasanya memang tak berlebihan jika menyebut bahwa di Indonesia ini, reparasi dan kanibalisme hardware sudah menjadi seni tersendiri. Ia sudah berada di fase tidak dipejari, melainkan dihayati.

Amerika boleh jadi raja cipta, China boleh jadi raja produksi, tapi Indonesia tetap akan selalu menjadi raja servis.

Percayalah, Kalau bukan karena ongkos perjalanan, orang-orang di Amerika dan Eropa sana pasti sudah mempercayakan urusan servis hapenya ke tukang servis di Glodok.

Exit mobile version