Toxic Friendship: Nggak Cuma Pacaran yang Bisa Beracun

MOJOK.COKalau kita nggak bahagia dengan pertemanan kita, coba selidiki. Jangan-jangan terselip toxic friendship dalam hubungan tersebut.

Dalam menjalin sebuah pertemanan, katanya nggak boleh pilah-pilih. Pasalnya, setiap pertemanan bakal mendatangkan rezekinya masing-masing. Tapi masalahnya, kita punya teman, yang-kalau-kita-bersamanya, jutru merasa lelah. Padahal, bukankah bergaul biasanya turut serta nge-charger energi kita dengan berbagai update cerita dan pengetahuan baru? Lah, kalau memang bisa nge-charger energi, kok, malah bikin kita lelah? Ini kita yang introvert—jadi tenaganya cepat habis kalau dibuat bergaul. Atau ada sikap dia yang kurang match and link dengan kita?

Saya punya teman semacam ini. Rasa-rasanya, setiap kali ketemu dia, otak saya jadi kemebul. Lantaran, otak saya sudah nggak muat lagi untuk menerima informasi, yang sebetulnya nggak bisa saya terima. Oleh karena nggak bisa saya terima itulah, efeknya bikin saya capek sendiri setiap mendengar cerita-cerita panjangnya itu.

Selain itu, bagaimana orak saya nggak kemebul, lha wong, cerita-cerita yang digulirkan sungguh hanya mengeluarkan aura-aura negatif. Intinya: ngomongin oranggg muluk! Kalau didengerin, kok ya, nggak ada habis-habisnya ngomentari orang. Kalau nggak didengerin, kok ya, sungkan dan kayak nggak ngehargai dia yang udah ngomong sampai berbusa-busa. Pokoknya setiap orang adaaa aja salahnya. Seolah-olah, semua orang harus hidup sesuai dengan standar dirinya. Hadeeeh, emange uripe sapa?!

Kalau dia udah ngomong, “Aku bukannya apa-apa, sih. Tapi…” saya bakal mulai gondok. Pasalnya, haqqul yaqin, kalimat selanjutnya sungguh nyelekit untuk diperdengarkan. Belum lagi, kalau dia sudah mulai komentar-komentar dengan kehidupan saya. Meski sebetulnya sedang menunjukkan, betapa sempurnanya kehidupannya saat ini. Iya, sempurna banget. Sampai nggak tahu caranya menikmati, jadi lebih milih mengomentari.

Nah, inilah yang kemudian saya bilang, bahwa bersamanya justru menghabiskan energi kita. Masih untung kalau energi yang tersisa adalah energi positif. Dengan mengambil hikmah dari setiap pengalaman para teman-teman yang menjadi objek komentar. Masalahnya, yang tersisa justru energi negatif, karena mangkel dan muak dengan segala omongan dan sikapnya.

Bukan, bukannya saya nggak suka dikritik. Toh, nyatanya tidak semua kritik yang diberikan seseorang terasa menyakitkan. Ada pula kejujuran dari seseorang yang harus kita terima, sebagai pengingat supaya kita lebih baik.

Tapi, kita pernah nggak ngerasain? Menerima kritik yang sebetulnya hanya ingin menunjukkan dia sungguh sudah berada di level jauh lebih baik. Jadi pantas-pantas aja ngasih komentar, yang sebetulnya nggak diperlukan blas. Malah yang ada, cuma bikin kita demotivasi.

Nah, pertemanan semacam ini biasanya disebut sebagai toxic friendship. Atau kalau diartiin jadinya, pertemanan yang beracun. Wow, racun-racunnya lagi menjalin pertemanan gitu, po? Wqwq. Krik. Jadi toxic friendship ini, adalah sebuah pertemanan yang bukannya mendatangkan keberkahan dalam kehidupan kita. Tapi, justru membawa racun bagi kehidupan kita—yang sebelumnya udah damai-damai aja.

Toxic friendship tidak sekadar mereka yang senang mengomentari orang lain dan mencari-cari kesalahannya saja. Mereka juga mengajak kita untuk melakukan hal-hal nggak baik yang bikin kita nggak nyaman. Lebih jauh lagi, mereka seolah mengajak kita untuk mengambil keputusan yang tak elok atau nggak ada manfaat baik buat kehidupan kita. Atau, justru selama ini—tanpa kita sadari—dia diam-diam sedang menggali banyak cerita rahasia tentang hidup kita, untuk kemudian disebarluaskan. Supaya apa? Tentu saja, supaya dia jadi pusat perhatian karena punya banyak konten cerita—yang katanya rahasia.

Dia bisa bersikap begitu egois dalam pertemanan yang telah kalian jalin. Seolah dunia harus berpusat padanya. Dia selalu pengin jadi pusat perhatian, harus paling diperhatikan lebih daripada yang lain. Lantas, nggak peduli-peduli amat dengan keadaan orang lain.

Dalam perbincangan itu pun, lagi-lagi hanya dia yang banyak nyerocos. Kita betul-betul kesulitan mendapatkan kesempatan untuk turut mengemukakan apa yang kita rasakan atau yang kita tahu. Bahkan, mau nyela sediiikit omongannya buat cao ke kamar mandi aja, rasanya tak mampu. Ya bagaimana tidak? Lha wong, kalau ngomong kayak takut jika berjeda. Iya, takut jedanya nanti diselipi oleh pencuri perhatian yang lain.

Tidak hanya itu, biasanya dia juga cuma datang ke kita kalau ada perlunya aja. Kalau udah nggak, ya, bye. Apalagi kalau kita lagi membutuhkannya. Hahaha, percayalah, dia bakal punya berjuta alasan untuk mengelak. Dengan sungguh bajingan betul, dia bakal bilang, kalau dia lagi nggak bisa, nggak sempat, atau malah terang-terangan bilang nggak mau.

Omongan semacam, “Maaf ya, aku nggak bisa.” Atau, “Duh, aku lagi ada urusan nih.” Lagi-lagi kita dengar ketika kita datang dan meminta bantuan. Sungguh beda, kalau keadaanya dia yang lagi butuh. Padahal, pertemanan seperti selayaknya hubungan yang lain…

…kudu seimbang. Kebutuhan kedua belah pihak harus sama-sama terpenuhi, supaya bisa menjadi hubungan yang sehat. Nggak cuma makan hati. Untuk membebaskan diri dari sebuah toxic friendship, ada beberapa hal yang bisa kita lakuin.

Pertama, me-nya-da-ri-nya. Coba kita rasakan baik-baik. Apa yang kita rasakan ketika dia datang? Lantas, apa yang kita rasakan ketika pergi? Jika kita merasa nggak tenang ketika bertemu atau bahkan baru akan ketemu dia. Serta merasakan kelegaan kayak berhasil dapat WC setelah nahan BAB, ketika kalian berpisah. Mungkin, kita memang merasa tidak nyaman dengan pertemanan tersebut. Coba rasakan dan sadari dulu hal ini.

Kedua, jika ternyata kita merasakan hal itu terhadap salah seorang teman kita. Alangkah lebih baik, kalau kita mulai membatasi pertemanan tersebut. Tenang saja, bukankah hidup kita nggak tergantung sama dia?

Begini Sayang, baik ke teman itu nggak ada masalah. Tapi kita juga harus tahu batasnya. Jangan sampai, kerelaan kita itu justru jadi boomerang buat diri kita sendiri. Bikin kita nggak nyaman, gelisah, atau akhirnya malah pengin marah-marah karena kesel-kesel sendiri ngadepin kelakuannya. Lebih baik, batasi interaksi kalian: untuk kewarasan diri kita sendiri.

Ya, dibatasi saja. Agak-agak menjauh gitu lah, ya. Nggak perlu juga betul-betul memutus tali silaturahmi. Sambil pelan-pelan memperluas jalinan pertemanan. Percayalah, ada banyak orang-orang di luar sana, yang justru lebih mampu memberikan energi positif dalam kehidupan kita. Kita tentu tidak ingin, kan? Energi kita habis untuk orang-orang yang sebetulnya nggak worth it worth it amat?

Ah, udahlah. Gitu aja, ya. Kok jadinya, dikit-dikit toxac-toxic toxac-toxic. Haiiisssh! Ya, semoga bukan malah kita yang diam-diam justru jadi penyebar racunnya. Aminnn.

Exit mobile version