Soal “Tampang Boyolali”, Tentu Saja Prabowo Bercanda, Tapi Kenapa Banyak Orang yang Marah?

Hari ini, Minggu, 4 November 2018, ribuan warga Boyolali turun ke jalan, mereka mengadakan aksi unjuk rasa memprotes pernyataan Prabowo soal “Tampang Boyolali” yang ia katakan dalam pidatonya beberapa waktu yang lewat. Aksi warga Boyolali ini bukan sekadar aksi massa biasa, sebab Bupati Boyolali Seno Samodro, Wakil Bupati Said Hidayat, Ketua DPRD Boyolali S Paryanto, juga beberapa tokoh penting Boyolali ikut bergabung dalam aksi tersebut.

Aneka spanduk kecaman dibawa oleh segenap warga yang ikut turun dalam aksi. Baik kecaman bernada serius, maupun yang sedikit ada nuansa gojeknya.

“Prabowo Marai Musuh”

“Prabowo Harus Minta Maaf”

“Boyolali Anti Prabowo”

“Ojo Nggugah Sapi Ndekem”

Dan masih banyak lagi kecaman-kecaman yang lain.

“Sebut saja hotel mana di dunia yang paling mahal, ada di Jakarta. Ada Ritz Carlton, ada apa itu, Waldorf Astoria Hotel. Namanya saja kalian tidak bisa sebut. Ada St Regis dan macam-macam itu semua tapi saya yakin kalian tak pernah masuk hotel-hotel tersebut. Betul? Kalian kalau masuk mungkin kalian diusir karena tampang kalian tidak tampang orang kaya. Tampang kalian, ya, tampang-tampang Boyolali ini…” begitu ujar Prabowo.

Sebuah pidato sederhana yang sebenarnya tidak akan menjadi perkara jika saja tidak ada embel-embel “Tampang Boyolali”.

Prabowo tentu tak pernah menyangka dan membayangkan sebelumnya, bahwa pernyataannya yang hanya dua kata dan tak lebih dari dua detik itu akan dipermasalahkan sebegitu rupa dan bergulir menjadi bola salju yang terus membesar.

Bertahun-tahun kader Partai Gerindra berusaha untuk menarik massa dan mempromosikan partai Gerindra di Boyolali, sabuah usaha yang tentu saja bukan usaha mudah, mengingat Boyolali, dan juga daerah di sekitar Surakarta lainnya dikenal sebagai kandang Banteng (khusus Boyolali, tentu saja sekaligus merangkap kandang sapi). Dan usaha yang bertahun-tahun itu tumbang seketika hanya oleh dua kata yang diucapkan Prabowo.

Tanpa harus dijelaskan oleh pihak-pihak yang berkepentingan pun, kita semua, dengan segenap akal sehat yang kita punya, tentu saja paham bahwa apa yang dikatakan oleh Prabowo adalah candaan atau guyon semata. Prabowo tentu saja tidak punya tendensi menganggap orang-orang Boyolali sebagai representasi orang-orang miskin yang tak akan kuat masuk hotel mewah.

Namun demikian, kenapa tetap banyak orang yang marah dengan pernyataan Prabowo? Bukankah untuk sebuah candaan atau guyonan, masyarakat kita seharusnya selow-selow saja?

Nyatanya, di jaman di mana quote cantik Warkop —tertawalah sebelum tertawa itu dilarang— semakin mendekati kenyataan ini, perkara guyonan bukan lagi perkara yang sederhana. Ia sudah menjadi perkara yang begitu kompleks.

Sekarang, orang-orang selalu punya interpretasi khusus atas suatu hal yang pada titik tertentu kerap jauh dari apa yang dimaksud oleh si pembuat hal.

Islam Nusantara yang oleh para pencetusnya dimaksudkan sebagai gerakan Islam dengan pendekatan kultural di Nusantara bisa dengan mudahnya diinterpretasikan sebagai Islam yang bukan Islam.

Gerakan #2019GantiPresiden yang oleh penggagasnya dimaksudkan sebagai gerakan untuk mengalahkan Jokowi di Pilpres bisa dengan mudah diartikan begitu saja sebagai gerakan makar yang dimulai tepat pada tanggal 1 Januari 2019.

Guyon bisa menjadi bukan guyon jika ia menempati ruang perspektif yang berbeda. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat sebuah guyonan tidak bisa ditangkap sebagai guyonan.

Faktor pertama tentu saja adalah perbedaan pengartian. Faktor ini bisa kita ambil contohnya dari kasus Coki dan Muslim.

Video Coki dan Muslim yang memasak perpaduan bahan makanan antara babi dan kurma beberapa waktu yang lalu, yang oleh si pemilik aksi dimaksudnya sebagai guyon belaka, ternyata bisa dengan mudahnya dianggap sebagai penistaan agama.

Baik Coki maupun Muslim mungkin saja tidak punya maksud untuk mengolok-olok ajaran Islam. Namun penerimaan oleh masyarakat atas tafsir sebuah laku nyatanya berbeda jauh dengan apa yang mereka niatkan.

Berkaca dari hal ini, niat tak bisa lagi dijadikan sebagai sebuah tameng.

Pada kasus “Tampang Boyolali”, mau Prabowo ngomong sampai berbusa-busa bahwa ia hanya berniat guyon pun, orang-orang, utamanya orang Boyolali, akan tetap marah kepadanya, sebaba mereka punya penerimaan yang berbeda.

Faktor kedua adalah konteks.

Guyon yang dipakai oleh Prabowo memang sedikit banyak memenuhi syarat untuk bikin banyak orang tersinggung. Ya, dalam humor, sebuah guyonan bisa diterima oleh banyak orang dengan penerimaan yang berbeda. Tergantung bagaimana konteks guyon itu disampaikan dan ditangkap.

Ketika Prabowo bilang “Tampang Boyolali” banyak yang langsung marah dan bereaksi keras.

Lain halnya jika hal tersebut diucapkan oleh seorang KH. Anwar Zahid, misalnya, seorang kiai kondang yang terkenal karena kelucuan cemarahnya. Dalam berbagai ceramahnya, Kiai Anwar Zahid bukan hanya sekali dua kali nggarapi, mengejek, atau “ngece” orang-orang dari daerah yang mengundangnya.

Apakah orang-orang yang diejek oleh Kiai Anwar Zahid marah? Tentu saja tidak. Bahkan mereka malah senang senang karena kehidupannya bisa dibikin guyonan.

Kenapa mereka tidak marah? Sebab mereka sedari awal memang sudah menempatkan diri sebagai bagian dari guyonan. Mereka sejak dari rumah sudah menjadikan dirinya bagian dari roasting. Sedari awal mereka sadar, pengajian yang mereka hadiri memang akan penuh dengan humor, dan mereka bisa saja menjadi sasaran tembaknya.

Dalam hal ini, pengajian (yang lucu) dengan Anwar Zahid sebagai gongnya tentu sudah cukup untuk membangun konteks bahwa guyonan yang ia sampaikan tentu tak punya tendensi yang serius.

Faktor ketiga adalah keterikatan diri dengan humor yang disampaikan.

Komedian Ernest Prakasa, misalnya, berkali-kali dalam melalui materi stand up comedy-nya mengejek orang-orang (keturunan) cina. Ia mengeksploitasi materi fisik orang cina yang, misalnya, matanya cuma segaris, dsb. Atau ia mengolah sikap-sikap stereotipe orang cina seperti pelit, perhitungan, dan lain sebagainya.

Kalau mau melebar pada dimensi yang lain, ada sosok Gus Dur, yang sering sekali membawakan guyonan yang isinya seakan mengejek orang-orang NU. Namun, tak ada orang NU yang marah, sebab Gus Dur sendiri juga orang NU.

Guyonan yang punya unsur menyerang bisa luruh dan tidak jadi masalah ketika yang menyampaikan guyonan merupakan bagian dari apa yang ia serang. Ia menjadi semacam self criticism yang justru penting keberadaannya.

Nah, guyonan yang disampaikan oleh Prabowo tentu saja tidak memenuhi unsur yang satu ini. Prabowo tidak lahir di Boyolali. Orangtuanya bukan orang Boyolali. Ia juga tidak besar atau menempuh pendidikan di Boyolali. Kalaupun ada sedikit unsur Boyolali, itu mentok pada kemungkinan ia pernah meminum susu sapi murni dari Boyolali. Tidak lebih.

Maka, tak heran ketika ia menyampaikan guyon dengan nada mengejek (tampang) Boyolali, ada banyak orang-orang yang tidak bisa menerima hal tersebut.

Faktor keempat dan yang paling utama: faktor politik.

Ini faktor yang paling mudah diidentifikasi. Hal apa pun, kalau sudah menyangkut politik, ia pasti berpotensi menjadi masalah.

Lha wong urusan tempe saja bisa jadi masalah, apalagi urusan tampang.

Yah, memang begitulah rumitnya drama musikal Boyolali Rhapsody.

Exit mobile version