MOJOK.CO – Komunikasi tidak langsung dianggap lebih mudah. Padahal ya, nggak juga. Jauh lebih rentan apalagi kalau skill komunikasi masih awut-awutan.
Namanya manusia, pasti bakal bersinggungan sama masalah. Setiap orang, punya berbagai macam cara untuk ngadepinnya. Ada yang berusaha tampak baik-baik saja, ada juga yang menghadapinya dengan lebih emosional, dan pelan-pelan justru memunculkan masalah baru. Apa pun itu, ya namanya juga pilihan hidup orang.
Masalahnya, dengan dunia digital saat ini yang menggoda kita untuk bermain media sosial. Maka, kita jadi punya identitas double, di dunia nyata dan dunia maya. Nggak sedikit dari perilaku kita yang dipercaya karena penilaian berdasarkan aktivitas kita di dunia yang semu tersebut.
Tentang bagaimana cara kita berkomunikasi dengan orang lain melalui kolom komentar. Tentang bagaimana kita meramu caption di setiap postingan yang di-upload. Setiap aktivitas tersebut, memberikan informasi dan berbicara. Jika kita melakukan sedikit saja kesalahan atau perilaku yang tidak sesuai dengan mayoritas orang, maka ini akan sulit dilupakan. Lantaran, semua jejak digital kita sudah terekam. Sedikit kesalahan, bisa menjadi bumerang. Bahkan tidak sedikit, satu kesalahan bisa merusak karier keseluruhan.
Jika sebelumnya kita menganggap berkomunikasi tidak secara langsung dan menggunakan alat ini tampak lebih mudah dan sederhana. Sebetulnya tidak juga. Justru ini menjadi lebih sulit. Apalagi kalau kita tidak punya skill komunikasi tentang bagaimana caranya srawung atau berinteraksi dengan baik ke orang lain. Interaksi yang dilakukan secara langsung saja, bisa memunculkan kesalahapahaman, kok. Apalagi kalau nggak secara langsung. Bukankah, begitu?
Maemunah, dengan alat, kita tidak bisa betul-betul menjamin kalau kata-kata yang kita ungkapkan ke orang lain, bisa diterima sesuai dengan niat awal kita. Apalagi kalau salah dalam menempatkan tanda titik dan koma. Yang sudah ada niatan baik saja masih punya risiko. Apalagi kalau memang nggak tahu caranya berkomunikasi dengan orang lain, terus setiap ketikannya jadi ngawur dan asal-asalan. Hanya karena kita merasa nggak ketemu langsung sama si lawan bicara. Terus, bisa-bisanya kita ngasih nyeletukan,
“Otaknya dipakai, GBLK!” Tanpa betul-betul tahu apa yang dikatakan. Tanpa tahu fungsi kata GBLK itu sendiri—hanya karena sering diucapkan oleh orang lain. Tanpa tahu, siapa sebetulnya si lawan bicara. Pokoknya, kalau dia berbeda pemikiran dengan kita, serang aja!!11! Oke, cara pikir yang cukup sederhana tapi nganu banget.
Ada juga seseorang sebut saja namanya Siti, berkomentar, “Oh, diendors?” di kolom komentar seorang selebgram saat dia memposting informasi lagi ngasih info give away. Mungkin karena si selebgram ini ngerasa sebel dianggep ngedors-ngedors mulu, jadinya dia nanggepin dengan menjelaskan lebih rinci kata-kata di caption. Kalau dia sudah jelas-jelas menyampaikan nggak di-endorse.
Nah, karena ditanggepin langsung sama si pemilik akun, jadilah komentar Siti ini ramai dan akunnya diserbu oleh netizen-netizen lain yang tiba-tiba ikutan mangkel. Dengan kenyataan tidak mengenakkan itu, Siti memang tidak sampai mem-privat atau menutup akun. Namun, dia menutup kolom komentar. Mungkin karena tidak nyaman dengan banyak komentar yang masuk.
Nah, yang menurut saya agak menggelikan. Dari hasil kepo saya, di salah satu postingan Siti, ia menuliskan caption tentang pendapatnya yang nggak suka dengan cara orang berbasa-basi padahal diem-diem menyakiti. Tentang bagaimana berbicara untuk lebih hati-hati. Nah, loh, gimana, coba? Dia ngingetin orang untuk berhati-hati. Eh, malah dia sendiri yang ngelakuin sendiri. Hadeh, macam mana?
Dengan kemampuan ngetak-ngetik yang bagi kita adalah hal mudah, kadang-kadang kita jadi lupa. Kalau lawan bicara kita, juga manusia. Yang juga akan membacanya dengan rasa. Yang bisa merasa tersinggung, marah, dan kesal dengan komentar-komentar yang kasar dan nggak layak dibaca. Sayangnya, kecepatan jari-jemari kita ini jauh lebih gesit dibandingkan kemampuan otak kita untuk mengolah informasi dan mencerna dulu konteks setiap pembicaraan yang ada.
Tidak sedikit kan, masalah besar terjadi karena aktivitas kurang mikir kita di media? Mengomentari kelakuan orang dengan seenaknya. Mengata-ngatai pembully malah dengan cara membully. Yang akhirnya, justru melahirkan lebih banyak lagi orang trauma karena menjadi korban bully. Semua itu hanya atas dasar, kitalah yang paling benar. Oleh karena kita paling benar, seolah kita jadi lebih bebas untuk melakukan apa pun semau kita.
Jika kita pengin punya skill komunikasi dengan alat yang jago. Maka kemampuan berkomunikasi kita di dunia nyata, adalah modal utama yang harus kita punya. Soal bagaimana menyampaikan pendapat, berbicara dengan orang yang lebih tua, ngobrol dengan orang yang punya kecenderungan politik yang berbeda. Kita harus pelajari itu terlebih dulu.
Selanjutnya, kita perlu paham dulu, soal tanda maupun kode dalam alat tersebut. Misalnya, kita harus tahu tentang bagaimana menggunakan huruf capslock yang benar. Bagaimana menggunakan tanda titik, koma, atau tanda seru yang sesuai tempatnnya supaya tidak menyinggung orang lain. Kemampuan semacam ini, harus kita punya dulu.
Adapun yang jadi masalah, banyak orang yang belum punya kemampuan itu tapi dengan percaya dirinya berkomunikasi menggunakan alatnya. Tidak sedikit anak-anak yang belum cukup umur, sudah dipegangi gadget beserta paket internetnya, tanpa didampingi orang tua.
Lantaran belum cukup modal soal skill komunikasi tentang bagaimana cara langsung yang benar, role model nya pun aktivitas akun-akun lain. Yang sedihnya, cara berbicaranya kebanyakan sudah awut-awutan dan nggak karuan. Dan kemudian dipahami sebagai gaya bicara di media sosial yang seharusnya. Supaya bisa pansos dan terkenal dengan mudah—minimal menjadi top komen di kolom komentar salah satu postingan selebgram.
Sudah terlalu banyak masalah yang muncul hanya karena ketak-ketik di kolom komentar dengan seenaknya tanpa rasa bersalah. Sudah terlalu banyak yang merasa sedih, takut, maupun depresi karena komentar tersebut. Sudah terlalu banyak ketika komentar tidak mengenakkan tersebut dipolisikan, merasa menyesal, dan memohon maaf. Tapi sepertinya, belum ada tanda-tanda hal semacam ini akan terhenti.
Kebebasan berpendapat memang harus ada, tapi jangan sampai kita lupa caranya.