MOJOK.CO – Indonesia memproduksi sampah plastik sebanyak 175.000 ton per hari dan menjadi penyumbang sampah terbesar kedua di dunia. Lalu, dibawa ke manakah sampah-sampah ini?
Di tahun 2016, Indonesia dinobatkan sebagai negara kedua penyumbang sampah terbesar (khususnya sampah plastik ke laut) setelah Cina. Fakta ini cukuplah mengingatkan kita pada meningkatnya produksi sampah plastik di Indonesia yang mengkhawatirkan.
Mari ambil contoh di Palembang: berdasarkan data dari Geotimes, produksi sampah di sana telah mencapai angka 1.200 ton per hari, atau naik hingga 500 ton dari data sebelumnya. Angka ini pun belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan produksi sampah di Jakarta (7.000 ton per hari) dan Bali (10.725 ton per hari).
Secara umum, Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 175.000 ton per hari, dengan masing-masing orang menyumbangkan 0,7 kilogram sampah. Pertanyaannya, apakah sampah-sampah ini kemudian “diurus” dengan benar, sebagaimana mestinya?
Tahun 2012, beberapa studi dilaksanakan untuk meneliti hal ini. Hasilnya, didapati bahwa sampah-sampah yang diproduksi ini ditindaklanjuti tanpa dikelola (7%), dibakar (5%), dikompos dan didaur ulang (7%), dikubur (10%), dan—yang paling besar—ditimbun saja di TPA alias Tempat Pembuangan Akhir (69%). Yha, setelah diangkut dari timbunan sampah di depan rumah, sampah-sampah pun akan berakhir dengan ditimbun pula. Ditimbun lagi. Ditimbun melulu. Ditimbun terus. Huft.
Ibarat lingkaran setan tanpa ujung, nasib sampah, terutama sampah plastik, memanglah sungguh sampah: dibuang, ditumpuk, ditinggal. Kalau sampah bisa nulis caption di Instagram, mungkin dia bakal nulis, “Kalian semua suci, aku penuh dosa.”
Terus, gimana dong caranya agar si sampah-sampah ini tidak merasa terbuang walaupun mereka memang harusnya dibuang??? Emangnya kenapa sih kalau sampah ditimbun???
Ternyata, sampah-sampah yang ditumpuk begitu saja tanpa dipilah dan diolah dapat mengancam keselamatan jiwa dan raga, tau. Tumpukan sampah ini, kalau kena air hujan terus menerus, akan menghasilkan gas metana. Nah, dalam tumpukan tadi, gas metana pun “terkungkung” karena tumpukan sampah ini nga punya “pori-pori”. Akibatnya apa?
Gas metana yang terjebak tadi bisa menjelma menjadi percikan api hingga ledakan. Iya, meledak! Efeknya pun nga main-main. Sebagai contoh, di Filipina, kejadian ini terjadi tahun 2000 lalu dan memakan korban jiwa sebanyak kurang lebih 200 orang, sementara ratusan orang lainnya hilang. Di Indonesia, kejadian serupa pun ditemukan di Bandung tahun 2005 dengan korban meninggal sebanyak 143 orang, setelah sebelumnya 137 rumah terkubur.
Ngeri nga, bosque?
Dari kebiasaan yang ternyata berdampak cukup mengerikan ini, sudah saatnya bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk lebih memperhatikan sistem pengelolaan sampah, terutama sampah plastik. Nyatanya, ada kok beberapa cara yang patut ditiru Indonesia agar si sampah ini tidak hanya ditumpuk-tumpuk aja kayak tugas kuliah.
Pertama, penggunaan aspal campuran. Cara ini diadaptasi dari negaranya Kajol, yaitu India, dan telah diujicobakan di Bali. Aspal campuran yang dimaksud terdiri dari 90 persen aspal dan 10 persen sampah plastik. Selain memiliki vulnerability yang dinilai lebih bagus, biaya produksinya pun lebih ringan hingga 8 persen. Lumayan, daripada lumanyun~
Yaelah, lawas banget joke aing.
Kedua, pemanfaatan sampah pada keberlangsungan listrik. Cara ini telah direncanakan di Bali sejak tahun lalu dengan nama Listrik Kerakyatan. Program ini sendiri berarti menciptakan metode hybrid pembangkit energi terbarukan melalui proses gasifikasi briket sampah dan pv solar panel.
Ummm. Bacanya pelan-pelan aja, Mz, Mb, biar agak lebih mudeng.
Briket itu apa? Briket sendiri merupakan bahan bakar padat yang merupakan alternatif pengganti minyak tanah. Kalau sebelumnya kita lebih familiar mendengar “briket batu bara”, kali ini sampah pun bisa diolah sebagai briket sampah, untuk kemudian dimanfaatkan dalam program Listrik Kerakyatan tadi. Tujuannya, listrik ini dapat dengan maksimal dan merata mencapai seluruh desa yang ada.
Uwuwuw, mulia sekali~
Selain yang telah disebutkan, ada pula cara pengolahan sampah menjadi uap panas, atau disebut sebagai thermal technology yang sudah jamak ditemui di beberapa negara. Pada intinya, kunci dalam pengelolaan sampah, terutama sampah plastik, adalah konsistensi dan kesadaran diri sendiri aja, my lov. Kita pun bisa mulai dari hal sederhana, misalnya mengurangi penggunaan kantong plastik kalau lagi belanja ke Alfamart.
FYI aja nih, per tahunnya, setiap orang rata-rata menggunakan 700 kantong plastik. Kalau saja peraturan membayar 200 rupiah untuk setiap satu kantong plastik masih berlaku, itu artinya kita udah ngeluarin 140 ribu rupiah secara total. Kalau dipakai buat beli tote bag, bisa dapet banyak, Siiist, buat nemenin belanja. Lumayan, kan?
Yha, daripada lumanyun?
Ah elah, ngapa ini muncul lagi sih joke lawas aing??!
BACA JUGA Jangan Anggap Enteng Urusan Sampah di Jepang dan tulisan lainnya dari Aprilia Kumala.