Risiko Lahir di Negara Berkembang

lahir di negara berkembang

MOJOK.COMenurut Bank Dunia, Indonesia ini masuk kategori negara berkembang. Terus emang kenapa kalau kita lahir di negara berkembang?

Sebagai seorang (((sarjana))) Ilmu Hubungan Internasional yang semasa kuliah doyan untuk tidur siang melakukan analisis politik luar negeri, belakangan ini saya terpitchoe untuk ikut berkomentar tentang isu HI yang sedang ramai dibahas seperti masalah utang luar negeri, investasi asing, dan terakhir–yang bikin saya ngekek–pernyataan Prabowo yang bilang Indonesia negara berkembang yang sejajar dengan Rwanda.

Kalau kalian belum tahu, Rwanda itu negara di benua Afrika, tetangganya Wakanda wakakakakaka. Oke bercanda.

Karena di sini saya akan bahas dinamika dan teori-teori politik internasional yang ndakik-ndakik, saya sarankan bacanya sambil pegangan. Kalau misal nggak kuat boleh langsung dadah-dadah ke kamera kok (?) Eh, kok malah kayak nonton uka-uka.

Sik, sik. sebelum ngorbrol jauh-jauh, kita harus menyamakan persepsi terlebih dahulu mengenai definisi negara berkembang atau yang kerennya disebut developing country.

Jadi, menurut PBB, definisi negara berkembang adalah… tidak ada definisinya wqwq. Alias nggak ada kesepakatan bersama mengenai apa sich negara berkembang itu.

Ya jangankan bikin definisi besar, cari kesepakatan siang ini mau makan apa aja susah betul bosque~ Tapi, meskipun nggak ada definisi bersamanya, Negara berkembang itu bisa diukur dengan sebuah standar yang dibuat oleh Bank Dunia.

Katanya Bank Dunia, suatu negara disebut negara berkembang atau negara maju dilihat dari beberapa aspek. Tapi, ukuran yang paling utama adalah tingkat industrialisasi dan pendapatan perkapita (jumlah pendapatan negara dibagi jumlah populasi). Betul~ini jelas standar tapir kapitalis~

Negara maju itu, kata Bank Dunia adalah negara yang pendapatan perkapitanya di atas $12,237 per tahun. Kalau dirupiahkan, pendapatan per orang di negara tersebut harus mencapai sekitar Rp174,145,358 per tahun alias Rp14,5 juta per bulan.

Nah, itu negara maju.

Sementara Indonesia, yang pendapatan perkapitanya hanya $3,486 atau Rp49,609,440 per tahun alias Rp4,1 juta per bulan yaa sudah betul kata Prabs masuk negara berkembang.

Terus kalau Indonesia masuk kategori negara berkembang emang salah siapa? Salah gue? Salah ibu bapak gue? Helloww, satu-satunya yang harus disalahkan kalau kita misqueen sampai saat ini adalah…

Awalnya dari huruf P!

Bukan, bukan Pak Harto, tapi Penjajah! Ha ha ha.

Coba bayangkan kalau Indonesia nggak dijajah oleh Belanda. Kita pasti bakal jadi negara maju (kalau ukurannya ekonomi doang) kalau VOC nggak bawa kabur kekayaan negara yang jumlahnya 107.037,1 Triliun. Mon maap itu meskipun udah dibagi 250 juta penduduk Indonesia, saya saja masih bingung 0 nya ada berapa. Iya… saking banyak 0-nya.

Tapi ya mau gimana lagi, nasi sudah menjadi tahi di WC. Mau nggak mau, karena dosa masa lalu Orang Indonesia harus menjalani takdir sebagai orang yang lahir di negara berkembang. Ya mau gimana lagi je, mau pindah juga pada nggak punya duit buat ke luar negeri kan??

Seperti yang disesalkan Prabowo, lahir di negara berkembang itu menyebalkan. Banyak ujian dan cobaan yang harus kita jalani. Nih saya sebutin beberapa:

Pertama, karena lahir di negara berkembang, Orang Indonesia jadi terbiasa menertawakan kemiskinan yang membuat kita hobi banget ngetawain jokes receh. Padahal kan, jokes receh itu cringe banget :((

Coba kalau kita lahir di negara maju, saya yakin kita nggak akan jadi masyarakat receh karena nggak pernah dengar kata “receh” soalnya uangnya selalu dalam bentuk lembaran dolar. Kalau nggak kenal kata “receh”, logikanya kita nggak mungkin ngetawain dan ngeluarin jokes receh, kan??

Lagian, kita (hah, kita??) orang Indonesia nih saking misqueennya berkembangnya, demen banget sama receh. Uang Rp100 perak aja tetap mamak-mamak hargai dengan nasehat “Duit sejuta kagak bakal jadi sejuta kalau nggak ada 100 perak, Dul!”

Yeilah, Makk. itu duit tinggal ditambah 1000 udah jadi sejuta lebih 900!

Tapi menghargai uang receh ini kebiasaan bagus sih. Nyari uang itu susah, Dul. Harus ingat kalau kita kagak bisa berak duit, meskipun itu duit 100 perak.

Kedua, risiko lahir di negara berkembang, bikin kita jadi punya mental suka minta.

Ya lihat aja kalau ada orang jalan-jalan, kita pasti suka minta oleh-oleh. Kalau ada orang ulang tahun minta traktiran, sampai kalau ada orang punya barang aneh, itu barang pasti dikerubungin sambil bilang “Ihhh apa ituuu? Minta dong minta dong minta dong” Sampai akhirnya tu barang abis.

Dan kebiasaan suka mental ini bikin kita punya prinsipnya minta lebih baik daripada beli sendiri. Punya makanan aja dibilangin “lebih enak” kalau dapat hasil minta karena gratisss!

Katanya, makanan jadi lebih enak kalau minta karena ada rasa kebersamaan yang tidak didapatkan ketika beli sendiri, lalu makan sendiri.

MON MAAP RASA KEBERSAMAAN SIH RASA KEBERSAMAAN, TAPI YA JANGAN NGABISIN JUGA, DUL.

Risiko ketiga, lahir di negara berkembang adalah kita lebih sering sambat. Ya gimana nggak mau sambat, hidup dengan rata-rata penghasilan Rp4,1 juta per bulan bikin kita susah beli rumah, susah beli kendaraan, dan yang paling nyebelin, susah beli cangkem tetangga yang hobi amat ngomentari hidup kita. Hadehhh, sambat meneh.

Jangan jauh-jauh beli barang-barang mewah je, beli sepatu dan baju aja, kadang sengaja dilebihin ukurannya supaya bisa “kepakai lebih lama” :((.

Tapi di sisi lain, kita harus bersyukur juga sih lahir di negara berkembang. Risiko positif yang kita dapatkan adalah kita lahir di tempat yang punya kebiasaan saling membantu satu sama lain. Nggak individualis kayak orang-orang di negara maju.

Buktinya, semiskin-miskinnya orang Indonesia, hampir jarang sekali kita dengar orang mati kelaparan. Di banyak tempat, kita masih bisa menemukan orang-orang desa saling berbagi makanan.

Bahkan bukan cuman perkara makanan, mau pesta pernikahan atau bangun rumah pun, masih banyak warga desa bergotong royong untuk saling membantu. Patungan menyumbang kayu, batu-bata, hingga genteng.

Risiko lahir di negara berkembang adalah membiasakan diri saling membantu karena kita berharap orang lain akan melakukan hal yang sama ketika giliran kita yang membutuhkan bantuan. Semangat saling membantu inilah yang membuat orang Indonesia terkenal dermawan.

Mon maap nih ya, kebaikan hati jenis ini tuh nggak masuk diperhitungan kekayaan ala Bank Dunia. Coba kalau kita nggak pakai standar tapir kapitalis, saya yakin Indonesia ini masuk ke dalam negara paling maju! Lha wong, jangankan berbuat kebaikan, berbuat kejahatan kayak korupsi aja kita gorong royong kok!!1!

Exit mobile version