Ribetnya Pernikahan Sederhana Suhay Salim Jika Beliau Orang Jawa

Jika Suhay Salim orang Jawa MOJOK.CO

MOJOK.COBagi generasi milenial, sebelum mengangankan menikah secara sederhana ala Suhay Salim, mending berpikir seribu kali karena tetap ribet jatuhnya.

Ketika selebgram sekaligus vlogger kecantikan menikah, imajinansi kita terbang ke hal-hal yang mewah atau setidaknya camera-able. Mulai dari gaun mewah, serba elegan, dipenuhi tamu undangan sesama seleb, dan semarak dengan atraksi kamera yang teracung untuk nge-vlog, mengabadikan acara tersebut, lalu diunggah ke Instagram atau Youtube demi viewers, likes, comment, subscribe, dan share.

Namun yang terjadi adalah sebaliknya, di pernikahan Suhay Salim dan sang suami, semuanya justru serba sederhana. Tirto bahkan menyebutnya sebagai pernikahan kasual dambaan milenial. Oh, saya sangat setuju dengan istilah itu. Pernikahan yang sederhana, jauh dari kata ribet, bahkan kalau perlu tanpa resepsi. Karena sebenarnya seperti agama, menikah harusnya menjadi kesunyian masing-masing pasangan.

Suhay Salim menikah dengan cara paling sederhana, dari semua cara sederhana yang bisa kamu bayangkan. Ia datang ke KUA dengan mengenakan blazer warna hitam dan celana jeans. Sudah seperti mbak-mbak eksekutif muda yang janjian ngove lalu nonton film bareng pacar di mall. Sementara itu, sang suami bersenjatakan kemeja biru dan celana berwarna gelap. Pernah lihat mas-mas petugas PLN mencatat listrik di rumah kamu? Nah mirip.

Sudah begitu saja. Serba sederhana, dan Suhay Salim sangat menikmatinya. Ia bahkan bersyukur karena impiannya untuk menikah secara sederhana bisa terwujud. “I am a very private person. I just don’t like people knowing my business,” kata Suhay Salim setelah menikah.

Gaya berbusana yang jauh dari kata ribet itu menjadi perbincangan umat dunia maya. Gaya Suhay Salim dianggap terlalu kasual dan sederhana ketika menghadap penghulu. Namun perlu kamu ketahui, pilihan itu tidak salah karena KUA tidak menetapkan “seragam kawin”. Busana pengantin bebas, namun sopan.

Sudah sederhana, bersahaja, sat set cepat selesai, dan tanpa drama. Seperti kata Tirto, sebuah prosesi pernikahan yang menjadi dambaan generasi milenial. Ketika semua serba cepat dan ingin efisien, gaya sang influencer kecantikan ini bisa menjadi pilihan manis bagi calon pengantin generasi milenial.

Tapi, tunggu dulu, Paijo. Pernikahan kasual dan sederhana Suhay Salim bakal menjadi sangat ribet jika kamu orang Jawa. Eits, jangan salah, bukan hanya orang Jawa. Keribetan ini juga bisa jadi bakal dirasakan oleh orang Minang, Bugis, Bali, Padang, Palembang, pokoknya dari Sabang sampai Merauke.

Sederas apapun “jiwa milenial nan dinamis” mengalir di nadimu, aliran itu akan terbendung oleh yang namanya gengsi orang tua. Segala retorika dan landasan masalah yang kamu kemukakan di depan bapak dan ibumu soal kesederhanaan, efisiensi, dan penghematan biaya, akan mentah begitu saja. Dan hal ini, sudah saya rasakan sendiri.

Saya dan pacar, sejak jauh-jauh hari sudah mengangankan pernikahan yang sederhana. Kami sama-sama tidak suka dengan keribetan yang tidak perlu dalam hidup. Bahkan kalau perlu, cukup pemberkatan di gereja saja. Sudah. Resepsi dan segala keribetan menyiapkan undangan dan souvenir itu tak masuk dalam rencana masa depan kami.

Dengan niat yang bulat, segala retorika dan teori udah matang di dalam kepala, kami menghadap ke orang tua masing-masing. Dengan nada yang terkontrol, narasi yang sistematis, kami memberi penjelasan kepada bapak dan ibu. Kami merasa teori kami ini sangat logis. Mengapa? Karena keribetan harusnya terjadi setelah pernikahan. Nikah itu hanya titik start saja. Sama seperti suara pistol yang meletus ketika lomba lari.

Namun apa yang terjadi? Teori kami dimentahkan begitu saja. Rasanya sudah seperti Nicolaus Copernicus ketika teori matahari sebagai pusat alam semesta dibantah oleh komunitas gereja.

Atas dasar apa? Gengsi! Masak bikin acara yang mana menurut mereka sebuah perayaan besar, tidak mengundang tetangga kiri dan kanan, relasi, dan sejawat. Tentu yang dimaksud adalah relasi dan sejawat orang tua yang seumur hidup belum pernah kami kenalan, apalagi hafal wajah-wajah mereka.

Ketika kami menyampaikan soal tingginya biaya, dengan lantang dan gagah, bapak dan ibu menjawab: pokoknya jalan. Nah, sampai di sini saya paham bahwa “pokoknya jalan” adalah berutang. Siapa yang bakal menanggung cicilan utang itu? Sebagai anak yang berbakti, tentu saya tidak tega orang tua mencicil utang di usia tua mereka. Bisa-bisa dicoret dari daftar warisan. Warisan utang! Hiya hiya hiya.

Kamu catat ya. Keribetan yang melelahkan ini baru permulaan. Masih ada keribetan-keribetan lainnya yang akan menyusul. Misalnya menentukan siapa saja, teman orang tua, yang harus mendapatkan undangan.

Ordo undangan masih dibagi lagi menjadi tiga kelas: mana yang bisa dikirim, dititipkan ke orang lain, dan diantar sendiri. Tentu kamu paham pembabagan seperti ini.

Kelas seseorang ditentukan dari bagaimana cara undangan kawinan diantar. Kalau cuma dikirim via pos, kamu dianggap “teman yang cukup tahu”, nggak datang nggak masalah. Dititipkan ke orang, artinya kamu cukup dikenal, sudah akrab, kekeluargaan megang banget. Nah, kalau diantar, artinya kamu kaya dan diharapkan amplomu cukup tebal. Nggak usah geer dulu.

Keribetan dari keinginan menikah secara sederhana seperti Suhay Salim berlanjut ke pemilihan souvenir pernikahan. Mau souvenir kipas, magnet kulkas, atau mug. Identifikasi ini berpotensi menyulut perdebatan-perdebatan kecil yang konon biasa terjadi menjelang kawinan. Padahal, inilah jenis keribetan yang ingin kami hindari.

Nah, keribetan yang lebih besar adalah ketika pasangan calon pengantin berasal dari dua budaya yang berbeda. Misal orang Jawa, kawin dengan orang Manado. Mau pilih nikah pakai budaya mana? Hati-hati, salah ucap, salah pilih, bisa memicu keretakan rumah tangga bahkan ketika“rumah tangga” itu belum ada dan sah di mata agama dan hukum.

Ini masih belum membahas pernikahan beda aliran, dan yang paling horor: beda agama. Pusing pala Tayo.

Jadi, bagi kamu generasi milenial, nggak usah sok-sokan mendambakan pernikahan sederhana ala Suhay Salim karena jatuhnya malah ribet. Menundukkan orang tua itu sudah keribetan tersendiri. Kalau belum bisa memegang orang tua dan merasa tak mungkin bisa, mending nabung yang banyak sejak jauh hari. Percayalah, cara nikah karena gengsi itu mahal, bos.

Exit mobile version