Rachel Vennya dan Medina Zein Ngeributin 380 Juta, dengan Bodohnya Kita Merayakannya

Rachel Vennya dan Medina Zein terlibat utang piutang sebesar Rp380 juta di hadapan rata-rata followersnya yang nggak tahu itu seberapa banyak.

ilustrasi Nggak Ada Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Kasus Rachel Vennya kabur dari Wisma Atlet mojok.co

MOJOK.COSaya pernah begitu muak dengan artis dan influencer Indonesia yang pamer kekayaan dan bersembunyi di balik misi “memotivasi orang-orang”. Pada dasarnya di negara kita, nasib berbicara lebih lantang daripada usaha dan keuletan. Lalu, siapa sebenarnya yang benar-benar berhasil lebih kaya dari orang yang memotivasinya? Orang yang sudah punya privilese duluan? Kali ini urusan utang piutang Rachel Vennya dan Medina Zein menguar di media sosial, mereka membahas ini seolah-olah tanpa dosa. Dan, tahukah kamu apa yang lebih buruk? Netizen “merayakan” kekayaan mereka dalam bentuk pemujaan, pujian, kekaguman.

Sedikit menjabarkan konteksnya, Rachel Vennya tiba-tiba saja mengomentari unggahan Medina Zein dengan nada “menagih utang” Rp380 juta yang juga belum Medina Zein bayarkan sebagai ongkos pembelian tas mewah. Tak lama kemudian muncul klarifikasi dari Medina Zein dan Rachel Vennya yang intinya mereka telah menyelesaikan transaksi, meskipun pakai drama duluan. Mereka sempat bikin netizen mabok darat karena nominal harga tas yang lebih mahal dari harga rumah rata-rata orang Indonesia struggle. Prahara duit itu tambah runyam ketika Citra Kirana juga “menagih” Medina Zein di media sosial.

Well, apa pun yang mereka perdebatkan dengan ini saya menyampaikan bodo amat. Mau ada yang utang belom dibayar, alasan beli tas, drama limit transfer, transferannya mental balik, saya nggak peduli. Saya lebih khawatir sama mental netizen yang sedikit-sedikit memuja sosok ignorant yang bahkan nggak mengecek mutasi rekening mereka setiap bulan. Sosok yang nggak bakal merasa bersalah pamer liburan ke sana kemari, naik mobil mewah, pakai tas mewah, dan ke klinik kecantikan seminggu sekali di tengah krisis moral dan ekonomi. Iya, itu memang uang-uang mereka sendiri. Tapi, media sosial juga konsumsi informasi banyak orang. Mereka punya sekian banyak audiens yang akan “terpengaruh” dengan apa pun yang mereka katakan. Herannya, orang begini kok banyak dijadikan panutan?

Saya nggak munafik, saya juga follow banyak influencer Indonesia dan akun gosip karena saya pikir apa yang ramai dibicarakan anak muda, budaya populer baru yang mulai terbentuk, penting saya ikuti karena saya bekerja di sebuah media. Tapi, kok lama-lama ngeselin juga ya? Jangan salah paham, saya bukannya menyalahkan semua influencer dan menganggap profesi mereka sama sekali tidak ada yang berguna. Awalnya saya memang berpikir begitu, dalam hati yang senyap selalu bertanya, “Apa sih gunanya influencer?” Lalu membayangkan sosok Rachel Vennya, Awkarin, dan jajaran selebgram mahal dengan segala konten mereka yang nggak ada spesifikasinya (spesifik bergaya hidup mungkin, iya).

Lalu, obrolan ini pernah benar-benar saya lantaikan bersama beberapa redaktur Mojok di suatu hari yang terik. Agus Mulyadi sebagai orang yang juga layak disebut influencer memiliki alasan yang cukup bagus. “Influencer termasuk profesi yang bisa diraih siapa saja. Termasuk dari kalangan yang tidak berduit dan tidak berakal. Dari kalangan yang rupawan dan tidak rupawan. Kerja marketing mereka juga benar-benar berimbas ke sektor UMKM dan banyak usaha online.”

Untuk poin yang dikatakan Agus Mulyadi, saya sulit menyangkal. Namun, seseorang yang tidak kaya dan tidak rupawan akan menyusuri jalan yang jauh lebih terjal untuk menjadi seorang influencer. Kalau gaya hidupnya nggak mirip-mirip Rachel Vennya atau minimal nggak kenal dia, bakal sulit rasanya dipuja sebegitu banyak orang dan ditasbihkan sebagai orang “terkenal”. Sedangkan orang yang tidak berakal, justru jauh lebih mudah populer karena masyarakat nggak butuh ada influencer pintar, masyarakat menyenangi drama dan kontroversi, lalu dengan mudah memaafkan sosok yang sebelumnya penuh gimik.

Agus Mulyadi menjadi influencer itu satu dari sekian anomali yang pada akhirnya ia pun tidak punya tarif endorsement yang sama dengan Rachel Vennya. Udah beda lagi tujuannya.

Memperdebatkan uang Rp380 juta kayak Rachel Vennya dan Medina Zein seketika bikin orang menyadari bahwa ada “sesuatu yang nggak beres”. Sebagian ornag-orang ini lalu memilih unfollow dan sebagian lainnya bersyukur karena semenjak sebelumnya juga nggak follow mereka berdua. Saya yakin yang begini juga banyak, latang mengatakan bahwa influencer Indonesia kebanyakan memang “nggak berguna” dan marketing yang mereka jalankan juga nggak ngaruh. Tapi, tahukan kamu bahwa terkadang yang kamu lakukan adalah hal sebaliknya?

Sebuah penelitian di Australia menyajikan data bahwa hanya 3% masyarakat yang mengaku mempercayai informasi dari influencer. Tapi, yang benar-benar terjadi, influencer sangat mudah menciptakan tren yang membuat hampir sebagian besar masyarakat terlibat. Ini mungkin juga bisa terjadi di Indonesia.

Sebagian besar netizen boleh saja mengaku mereka nggak follow Rachel Vennya dkk., tapi justru dari Rachel sebuah tren bisa terbentuk. Yang terjadi adalah, kita begitu malu mengakui bahwa kita percaya influencer. Orang-orang terpengaruh atas apa yang dilakukan influencer tanpa mereka sadari. Hampir sama kayak iklan televisi dan iklan di majalah, orang selalu mengaku mereka “tidak terbeli” dengan iklan dan promosi. Padahal perilaku mereka ya sebenarnya sedang kemakan iklan itu sendiri.

Lalu apa yang selanjutnya perlu kamu lakukan buat terhindar dari jerat semu gaya hidup influencer? Ya berhenti mengonsumsi informasi soal mereka. Mulai dari unfollow, nggak ngikutin drama teman-temannya, dan sadar betul bahwa hidup ini tak semudah Instastory Rachel Vennya.

BACA JUGA Ternyata Alasan Rachel Vennya Lepas Hijab Bisa Saya Pahami karena Saya Juga Alami Hal yang Sama atau artikel AJENG RIZKA lainnya. 

Exit mobile version