Proses Hukum Prabowo Subianto soal Tampang Boyolali Agak Berlebihan

MOJOK.CO – Pelaporan Prabowo Subianto karena kasus “tampang Boyolali” ini akan bikin kita terbiasa untuk dikit-dikit lapor, dikit-dikit pidana, dikit-dikit ke polisi. Musyawarahnya mana?

Seorang warga Boyolali melaporkan Prabowo Subianto ke Polda Metro Jaya beberapa waktu silam. Sebagai warga Boyolali, Dakun—nama pelapor—merasa tersinggung dengan ucapan Prabowo.

“Saya asli dari Boyolali. Kami merasa tersinggung dengan ucapan Pak Prabowo, bahwa masyarakat Boyolali itu kalau masuk mal atau masuk hotel itu diusir karena tampangnya itu tampang Boyolali,” kata Dakun usai melakukan laporan ke kepolisian.

Respons Dakun ini merupakan salah satu tanggapan dari beberapa warga Boyolali yang tersinggung dengan ucapan Prabowo—selain aksi demonstrasi beberapa waktu silam yang diikuti juga oleh beberapa pejabat daerah.

Bermaksud bercanda dengan tim kampanyenya di Boyolali, Prabowo memang lumayan keblabasan ketika menyinggung warga Boyolali—yang ironisnya justru merupakan pendukungnya sendiri—sebagai tampang “tidak kaya”.

Masalahnya, video yang tersebar di media sosial itu memang tak utuh. Ada saja tangan-tangan orang jahil yang memotong video sehingga menghilangkan substansi apa yang hendak Prabowo sampaikan. Jika melihat video secara utuh, kita sebenarnya bisa saja memahami bahwa maksud Prabowo adalah ada bias ekonomi di masyarakat kita—wabilkhusus bagi warga kelas menengah ke bawah.

Apa yang disasar Prabowo sebenarnya soal keadilan dan kemakmuran yang merata. Paling tidak usai mengucapkan mengenai tampang Boyolali, Prabowo lalu melanjutkan, “Saya sebagai prajurit, saya lihat kok negara saya bukan milik rakyat saya?”

Ada kegetiran yang ingin disampaikan. Narasinya kira-kira begini: Kalian nggak bisa masuk di mal atau hotel karena kalian miskin dan punya tampang Boyolali, nah, sebagai seorang prajurit saya jadi bertanya, untuk apa saya berjuang kalau negara ini tidak bisa dimiliki oleh warganya sendiri?

Lalu pertanyaannya: apakah warga Boyolali nggak berhak marah kalau dijadikan sebagai “contoh” kemiskinan tersebut?

Jawabnya: ya, sangat berhak.

Kalau kemudian Prabowo beralasan bahwa ucapan ini disampaikan cuma bagian dari bercandaan apakah bisa diterima?

Yah, sebagian orang bisa saja menerima, tapi akan lebih banyak orang yang nggak terima.

Alasannya sederhana, karena Prabowo memberi batas antara “aku” dan “warga Boyolali”. Dalam proses bercandaan itu terasa fatal karena Prabowo tidak menempatkan diri sebagai bagian dari yang dijadikan contoh. Tidak meleburkan dirinya sebagai bagian dari orang yang merasakan masalah yang dialami oleh warga pemilihnya, tapi malah mengambil jarak jadi semacam: aku bisa masuk hotel, kalian tidak.

Hal-hal yang sebenarnya juga dilakukan oleh Sandiaga Uno ketika blusukan ke pasar. Jika Sandi secara fisik sudah melebur dan mencoba membaur dengan masyarakat, akan tetapi mental elite-nya masih betul-betul kelihatan. Tempe setipis atm dan sebagainya jadi pagelaran paripurna bahwa Sandi sering salah tingkah menempatkan mentalitas “orang kaya”-nya menghadapi calon pemilihnya yang rata-rata orang miskin itu. Padahal bisa jadi Sandi cuma berupaya bikin materi lucu-lucan saja.

Pada akhirnya, jika Prabowo di wilayah salah omong, Sandi malah berada di wilayah salah tingkah. Duet yang jelas begitu sempurna untuk digoreng untuk para lawan politiknya.

Masalah akan semakin runyam karena batasan kelas sosial ini tidak juga dileburkan dengan apik oleh tim sukses Prabowo-Sandi. Pada beberapa situasi malah jadi rawan dianggap melecehkan. Tentu saja karena pihak yang bercanda posisinya betul-betul kelihatan “lebih tinggi” ketimbang bahan yang dikomentari.

Saya bisa kasih analogi seperti ini: bagi orang tampan, mengejek atau bercanda ke orang jelek itu bisa jadi masalah besar. Itu seperti halnya orang kulit putih membercandai orang kulit hitam. Bisa jadi pertengkaran hebat kalau hal semacam itu terjadi.

Tapi jika dibalik, semua akan baik-baik saja pada titik tertentu. Misalnya; ada orang kulit hitam bercanda dengan ngejek orang kulit putih, orang bodoh bercanda mengejek orang pintar, atau orang gendut bercanda dengan ngejek orang kurus.

Arie Kriting atau Abdur yang merupakan komika dari wilayah Indonesia Timur akan baik-baik saja kalau dia mengejek infrastruktur di Jawa lebih bagus ketimbang di kampung halamannya. Tapi jika Pandji Pragiwaksono yang notabene orang Jakarta, mengejek kondisi di wilayah Timur, nah itu yang akan jadi masalah besar. Dan untuk contoh paling bombastis tentu saja Ahok, yang bercanda di ranah yang secara endemik dia tidak ada di sana dengan memakai materi ayat Al-Maidah dari kelompok Islam.

Uniknya, ada gejala yang sama antara kasus Ahok dengan Prabowo saat ini. Ada pidato yang kontroversial, lalu video dipotong pada bagian paling kontroversial kemudian disebar di sosial media. Bagi saya, bila nanti Prabowo memang harus diproses secara hukum, pemotong video juga harus punya porsi yang sama seperti Buni Yani. Karena dia adalah sosok yang dengan sadar memotong sebuah konten keluar dari konteksnya—meski kontennya sendiri sudah benar-benar bermasalah.

Sama seperti Ahok, Prabowo membercandai orang yang berbeda wilayah dengan dirinya. Lebih parah wilayah ini dicitrakan punya “kasta” yang lebih rendah dari dirinya. Sekarang saya coba tanya, mana ada ceritanya Prabowo pernah diusir dari hotel berbintang karena dianggap miskin atau karena punya tampang Boyolali (juga)?

Terlepas dari hal itu, membawa salah omong bercandaan Prabowo ke ranah hukum sebenarnya adalah upaya yang agak berlebihan juga—kalau kita mau berpikir baik-baik. Sebab, pihak yang melaporkan seolah sudah mengamini bahwa perkara apa saja di Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan baik-baik dan musyawarah lebih dulu.

Saya khawatir, hal semacam ini akan membuat kita terbiasa untuk dikit-dikit lapor, dikit-dikit pidana, dikit-dikit ke polisi. Seolah segala macam persoalan tidak bisa dibicarakan baik-baik terlebih dahulu dan hanya palu hakim yang bisa menyelesaikannya. Tentu saja ini akan jadi pengecualian kalau—misalnya—Prabowo tidak mau minta maaf dan bersikeras tidak merasa bersalah karena merasa sebagai korban dari isu yang dipelintir secara politis.

Kalau pun akhirnya Prabowo nanti minta maaf, paling pihak lawan juga bakal komentar, “Iya kita maafkan, tapi biarkan proses hukum tetap berjalan.”

Exit mobile version