PSI, PBB, dan Politik “Percaya Diri”

MOJOK.COOver percaya diri yang diperagakan PSI dan PBB bukan tanpa alasan. Sejarah membuktikan, percaya diri itu salah satu modal terbesar dalam politik.

Sesaat setelah acara Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) yang digelar oleh Partai Bulan Bintang (PBB), sang ketua umum Yusril Ihza Mahendra ditanya oleh para wartawan, salah satu pertanyaan yang mendarat adalah apakah Yusril siap jika harus bersanding dengan Joko Widodo. Jawaban Yusril cukup ndlogok: “Ya Pak Jokowi harus jadi wakil presiden, saya yang calon presidennya.”

Walau semua orang paham bahwa jawaban Yusril tadi adalah kelakar, namun dari jawaban tersebut kita bisa meraba, dalam politik, percaya diri adalah salah satu modal terbesar.

Ini serius. Betapa tidak, sebagai sebuah partai yang tak punya kursi di parlemen dan bisa lolos sebagai peserta pemilu 2019 dengan langkah yang, meminjam istilah Ebiet G. Ade, terseret tertatih-tatih, PBB berani mengajukan ketua umumnya sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.

Tak jauh berbeda dengan PBB, si partai baru PSI yang oleh banyak orang dianggap sebagai partai bau kencur bahkan berani membuat poling dan menawarkan usulan tentang calon wakil presiden dan nama-nama menteri bagi Jokowi.

PKS tak kalah pede, dengan modal suara yang hanya 6 persen, PKS berani menginisiasi gerakan #2019GantiPresiden. Ia bahkan dengan mantap menawarkan 9 tokoh terbaiknya untuk tampil menjadi calon wakil presiden.

Mau lihat contoh kepercayaan diri yang lebih ekstrem? Lihat sosok Muhaimin “Cak Imin” Iskandar. Ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa ini berani mendeklarasikan diri sebagai cawapres tanpa harus tahu siapa capresnya. Ia bahkan sudah mendirikan Posko Join (Jokowi-Cak Imin), padahal Jokowi belum tentu memilihnya sebagai pendamping. Kurang pede apa itu?

Yang paling gila tentu saja Sam Aliano. Sosok yang “hanya” pernah tergabung dalam partai besutan Wak haji Oma Irama itu sudah sampai tahap menawarkan dirinya sebagai calon presiden. Janji kampanyenya dahsyat: melunasi utang Indonesia dan mengumrahkan seluruh muslim Indonesia.

Serangkaian bukti di atas tentu sudah sangat cukup untuk menunjukkan bahwa pede memang sebuah senjata yang begitu ampuh.

Toh, pada kenyataannya, kepercayaan diri dalam berpolitik ini beberapa kali memang terbukti mampu membawa si empunya tampil sebagai pahlawan. Ia mampu mengesampingkan banyak faktor politis, termasuk jumlah kursi di parlemen.

Di tahun 2004, sebagai sebuah partai baru, PKS tampil dengan mendapatkan 7,34% perolehan suara secara nasional, dan 24% di DKI Jakarta. Dengan modal itu, di pilgub DKI 2007, PKS berani tampil mengajukan Adang Daradjatun sebagai penantang Fauzi Bowo yang sebelumnya adalah petahana wakil gubernur.

Kala itu, PKS maju sendirian. Ia menjadi satu-satunya partai pengusung Adang Daradjatun yang berpasangan dengan Dani Anwar. Sedangkan Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Prijanto diusung oleh 20 partai.

Ya, 20 partai. PPP, PD, PDIP, Partai Golkar, PDS, PBR, PBB, PPNUI, PPDK, PKPB, PPDI, PBSD, PPIB, Partai Merdeka, PKB, PAN, PPD, Partai Patriot Pancasila, PKPI, dan Partai Pelopor.

Pertarungan pilgub pun kemudian tak ubahnya seperti pasukan Sparta melawan Persia. Dan memang hasilnya sama. Pada akhirnya, Adang Daradjatun-Dani Anwar memang kalah oleh Fauzi Bowo-Prijanto. Namun, perlu diingat, kemenangan Fauzi Bowo kala itu adalah 57,87% berbanding 42,13%.

Bayangkan, satu partai, sendirian, melawan 20 partai, dan bisa mendapatkan hampir separuh suara.

Yang lebih nracak lagi tentu saja pilpres 2004.

Di pemilu 2004, Demokrat punya suara 7,45%. Dengan modal tersebut, Demokrat kemudian mengusung jagoan mereka, Susilo Bambang Yudhoyono, yang kala itu berpasangan dengan Jusuf Kalla. Walau didukung oleh dua partai lain, yakni PKPI dan PBB yang kemudian mendongkrak jumlah kursi mereka mencapai 12%, jumlah tersebut jelas masih kalah jauh bila dibandingkan dengan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi yang diusung PDI (19,8%) atau pasangan Wiranto-Salahudin Wahid yang diusung oleh Golkar (21,5%)

Namun kemudian, kita semua tahu, SBY menang dengan gemilang dan berhasil menjadi presiden, walau kelak ia justru lebih dikenal sebagai musisi ketimbang politisi.

Yah, sekali lagi, dalam berpolitik, kepercayaan diri adalah modal yang begitu besar. Yang penting percaya diri saja dulu, yang lain bisa diurus belakangan. Sebab, dalam politik, yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin.

Kalau kata Nikita Khrushchev, “Politicians are the same all over. They promise to build bridges, even when there are no river.”

Exit mobile version