Menghilangkan Kebimbangan Sederhana

Menghilangkan Kebimbangan Sederhana - MOJOK.CO

Saya dan Kalis kesayangan saya baru saja selesai berbelanja buku di Gramedia jalan Sudirman. Ada beberapa buku yang kami beli, buku yang kemungkinan besar hanya akan kami buka plastiknya, kami baca beberapa lembar yang menurut kami menarik, kemudian kami tinggalkan begitu saja di rak untuk kemudian mengjadi penghias ruangan. Hal yang sebetulnya mubazir, tapi entah kenapa selalu saja membuat kami berdua bahagia.

Tepat di dekat pintu keluar (yang sekaligus juga menjadi pintu masuk), perhatian saya mendadak terarah pada stan Casio. Stan yang menjual beragam jenis kalkulator.

Kalau tertarik pada ponsel pinter, itu wajar. Tertarik pada sepeda, itu lumrah. Tertarik pada stationary, itu juga biasa. Tapi tertarik pada kalkulator? Ah. Entahlah, saya tak tahu apa sebabnya, yang jelas, begitu melihat deretan display kalkulator di stan Casio tersebut, kaki saya reflek melangkah dan mampir.

“Mas, ngapain sih, ke tempat kalkulator, Mas mau beli?” Tanya Kalis.

“Lihat-lihat saja, ya kalau nanti beli, ya nggak papa, kan?”

Saya kemudian melihat-melihat beragam model dan bentuk kalkulator yang dipajang. Mbak penjaga stan tampak dengan ramah mempersilakan saya untuk melihat dan bahkan menawari saya untuk mencoba.

“Mbak, lihat yang ini, dong,” kata saya seraya menunjuk salah satu kalkulator.

Kalkulator yang saya tunjuk adalah kalkulator model flip. Bisa dilipat. Ukurannya kecil dan tipis. Sangat handy, atau kalau dalam bahasa Jawanya: cemekel.

Saya buka, kemudian saya pencet-pencet tombolnya untuk tahu seberapa empuk tombolnya. Saya lantas mencoba untuk menghitung penjumlahan sederhana. 4 + 4 = 8. Mantap. Hasilnya benar. Saya coba lagi dengan angka yang lebih besar. 40.000.000 + 40.000.000 = 80.000.000. Mantap, dipakai untuk menghitung bilangan puluhan juta, hasilnya tetap akurat dan tidak nge-lag apalagi nge-hang.

“Lis, aku beli ini, ya?” Tanya saya pada Kalis.

Kalis tampak agak syok. “Kamu mau beli, mas?” tanyanya agak berbisik. “Kan di hape Mas sudah ada kalkulatornya.”

“Ya kan biar lebih mantap, lebih marem. Kamu kalau baca buku kertas juga pasti ngerasa lebih puas kan ketimbang baca e-book?”

Kalis agak cemberut, tapi ia kemudian tetap memperbolehkan saya untuk membeli kalkulator tersebut. “Kalau memang Mas pengin, ya beli aja.”

Saya kemudian langsung menanyakan harga kalkulator tersebut pada mbak penjaga stan. “130 ribu, jawabnya.”

Saya agak terperanjat. 130 ribu bukan uang yang besar bagi saya. Tapi untuk sebuah kalkulator, yang saya pernah beli di kios fotocopy dengan harga tak lebih dari dua puluh ribu, 130 ribu jelas angka yang fantastis.

Tapi saya kemudian sadar, ini bukan kalkulator biasa. Ini Casio. Kalkulator bermerek terkenal. Terbaik di kelasnya. Wajar kalau harganya 130 ribu.

Saya kemudian mencoba melihat-lihat kalkulator yang lain.

“Kalau yang itu, Mbak?” Tanya saya sembari menunjuk kalkulator berukuran agak besar dengan keyboard yang Tampak sangat kokoh.

“Yang ini agak murah, 70 ribu.”

“Coba lihat yang itu deh, Mbak.”

Mbak penjaga kemudian mengambilkan kalkulator tersebut untuk saya. Kalkulator yang sangat gagah. Desainnya memang sederhana, plain, tapi sangat mantap. Ketika saya coba tombolnya, ternyata sangat nyaman dan anti selip. 

“Wah, aku jadi bingung, Lis, mau beli yang mana. Yang 130 apa yang 70, ya?”

“Terserah,” kata Kalis dengan wajah yang agak cemberut.

Saya bingung setengah mati. Yang satu harganya lumayan mahal, tapi enak dan flip. Sudah pasti nyaman dibawa ke mana-mana. Saya merasa butuh karena kadang saya harus ngitung laporan keuangan toko buku online yang saya kelola. Sedangkan yang satu tidak flip, tapi mantap dan tampak lebih kokoh.

“Enaknya beli yang mana, ya, Mbak?” Tanya saya pada Mbak Penjaga.

“Ya kalau buat mobile enak yang ini, Mas. Kalau buat inventaris, enak yang ini,” terangnya.

“Ya sudah deh, Mbak. Saya beli dua-duanya.”

“Oke, Mas.”

Kalis Tampak sangat syok. Jauh lebih syok dari syok yang tadi saat saya mendadak mampir ke stan kalkulator.

“Kenapa harus beli dua?” Katanya protes.

“Kalis. Hidup itu tujuannya cari bahagia. Dan kebahagiaan bisa datang ketika kita bisa menghilangkan kebimbangan. Kalau aku beli dua, rasa bimbangku hilang, aku bahagia. Lagian cuma 200 ribu ini.”

Kalis tampak merengut.

Ingin sekali saya bilang, “Biar kalkulator saja yang penghitungan, kita jangan,” namun buru-buru saya urungkan. Saya takut, ia nanti jadi memperhitungkan rasa cintanya pada saya.

Exit mobile version