Mengenang Klub 27 di Usia 27: Selamat Datang di Usia Paling Stres Sedunia

MOJOK.CO Sebentar lagi, saya masuk ke usia 27 tahun. Bayangan soal “menjadi dewasa” dan teori konspirasi Klub 27 mulai membayangi: apakah saya bakal mati muda?

Kematian Jonghyun SHINee di usia 27 pada tahun 2017 lalu adalah tamparan keras. Pasalnya, kini, menjelang usia 27 tahun, saya jadi teringat teori Klub 27 yang sempat heboh diberitakan. Teori ini muncul karena banyaknya musisi meninggal dunia di usia 27 tahun, mulai dari Kurt Cobain hingga Amy Winehouse. Penyebabnya beragam; ada yang karena kecelakaan, overdosis, hingga bunuh diri.

Bukan, bukan—saya sedang nggak berusaha bilang bahwa saya punya rencana bunuh diri atau firasat mati muda di usia 27 tahun nanti. Itu kan rahasia Tuhan, saya nggak dapat spoiler-nya sama sekali. Yang ingin saya soroti di sini adalah: seberapa “menyeramkannya”, sih, usia 27 itu? Apa yang sebenarnya bakal terjadi di hidup kita saat masuk ke usia 27?

Maksud saya—apakah ia bakal jauh lebih menyiksa dibandingkan quarter life crisis? Atau sesungguhnya, quarter life crisis (QLC) memang bakal terus berjalan sampai usia 27 tahun?

Dilansir dari Tirto.id, seorang peneliti dan pengajar Psikologi dari University of Greenwich, Dr. Oliver Robinson, menyebutkan bahwa QLC terjadi pada usia antara 25 hingga 35, sementara ia paling banyak terjadi di usia 30. Artinya, usia 27 memang masih menjadi masa-masa QLC, Gaes-gaesku.

Seolah-olah belum cukup, sebuah survei memberitakan hasil penelitiannya dengan lebih epic: konon, perempuan akan terlihat paling menarik di usia 31 tahun dan paling stres pada usia 27 tahun.

A-a-apa???!!! Paling stres???!!! Pantesan aja!!!11!!1!!!

Setidaknya, dari hasil berkontemplasi dan mengunjungi beberapa bacaan sebagai literatur, ada banyak hal yang mendorong saya memahami kenapa usia 27 ini patut disebut sebagai usia paling absurd. Saya menyarankan kamu—atau saya—menghayati tulisan ini dengan baik, terlebih kalau kamu adalah anak-anak kelahiran 1992 yang bakal berusia 27 tahun ini.

Sini, sini, tos dulu!

Pertama, menyebut angka 27 tentu mengingatkan kita—lagi-lagi—pada teori Klub 27. Gara-gara itu, kita pun jadi bertanya-tanya: memangnya, usia 27 tahun itu usia yang mendominasi angka kematian di seluruh dunia, ya? Apakah kita patut khawatir dan gelisah—siapa tahu setelah selesai membaca ucapan “selamat ulang tahun” dari ibu, kita bakal langsung terbang ke alam yang tidak berujung?

Situs BMJ pernah menuliskan sebuah rilis berjudul “Is 27 a Dangerous Age for Famous Musicians? A Retrospective Cohort Study”. Di sana, pihaknya meyakini bahwa Klub 27 hanyalah sebuah kebetulan yang didramatisasi.

Sebuah penelitian  digelar untuk membuktikan teori ini. Dipimpin oleh Adrian Barnett (Queensland University of Technology), penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa risiko kematian para musisi sesungguh tidak “mentok” di usia 27 tahun. Barnett meyakini bahwa usia 20-an akhir memang memiliki tekanan tersendiri, termasuk soal gaya hidup dan ketenaran.

Agar lebih teruji, Barnett menghitung jumlah kematian 1.046 musisi, mulai dari death metal hingga rock and roll. Hasilnya?

Hasilnya, puncak jumlah kematian bukan berada di usia 27 tahun, tuh. Nyatanya, angka kematian memang menyebar, meski rentang usia 20-30 tahun—di mana angka 27 ada di dalamnya—menduduki peringkat pertama.

Jadi, yaaah, untuk poin ini, kita bisa sedikit bernapas lega. Bagaimanapun, akhir usia kita hanya Tuhan yang tahu~

Kedua, dari bantahan teori “usia 27 adalah usia rentan untuk tewas” di atas, mari kita kembali mengingat hasil survei yang menyebutkan “perempuan akan terlihat paling stres pada usia 27 tahun”. Hampir mirip dengan pernyataan “paling stres” ini, sebuah penelitian lain juga menyebutkan bahwa manusia-manusia berusia 27 tahun cenderung akan mengalami…

…kemunduran mental.

[!!!!1!!1!!1!!!!]

Usia 27 diyakini menjadi usia pergolakan. Konon, seseorang bakal mengambil keputusan besar di usia ini, baik dalam hal karier, asmara, atau kesehatan. Kalau nggak kuat, pergolakan dan pengambilan keputusan ini bisa berakhir menyedihkan: penurunan kondisi mental hingga gangguan yang berupa perasaan sedih, gelisah, dan…

stres itu sendiri. Hehe. Mamam~

Ketiga, usia 27 adalah usia di mana kamu merasa cukup dewasa—atau “tua”—tapi juga masih pantas disebut muda.

Dibandingkan dengan usia 26, ada perbedaan kondisi psikologis saat seseorang memasuki usia 27. Angka 7 disebut-sebut memberi kesan “dewasa, tua”, dan sangat berbeda dengan angka 6 yang dianggap “lucu, muda, bebas”. Nggak ada penelitian ilmiah soal impresi yang diberikan oleh angka, tapi jelas “berjarak 4 tahun dari usia 30” terdengar lebih menyenangkan daripada “berjarak 3 tahun menjelang usia 30”, bukan?

Usia 27, dengan kata lain, adalah usia di mana kamu menyadari waktu berjalan cukup cepat. Rasanya, sepanjang tahun, kamu hanya ingin mengafirmasi dirimu sendiri dengan kalimat semacam, “Nggak, nggak, aku tuh nggak tua, nggak, nggak. Aku cuma akhirnya sadar bahwa aku akan jadi semakin tua dan kayaknya waktu menuju ke sana sudah berjalan lebih cepat. Duh, aku butuh waktu untuk mempersiapkan diri!”

Keempat, di usia ini, kamu menyadari “regenerasi” bukanlah kata lelucon.

Coba lihat sekelilingmu: semua orang sudah lamaran. Semua orang sudah menikah. Semua orang sudah hamil anak pertamanya—bahkan anak ketiganya! Sahabat-sahabatmu mulai berhenti memanggilmu dengan nama karena mereka sibuk memanggilmu dengan julukan “Om” atau “Tante” demi memberi contoh pada anak-anak mereka.

Sementara itu, kamu menyadari regenerasi terjadi pada hidupmu sendiri: kekasih yang berkhianat, kekasih yang visi dan misinya kian hari kian berbeda, perpisahan, orang baru, pertengkaran, air mata, teman dekat yang menjadi asing, dan lain sebagainya.

Maksud saya, waktu usiamu masih 22, kamu nggak pernah membayangkan hal-hal di atas bakal terjadi, kan?

Sama, saya juga.

Exit mobile version