Menganalisis Puisi “Hair Dryer” Dian Sastro Pakai Metode SWOT

MOJOK.COMenganalisis puisi “Hair Dryer” Dian Sastro pakai teori sastra mah udah biasa. Kali ini kita akan gunakan analisis SWOT untuk membedahnya.

Tak ada yang berbeda dari Dian Sastrowardoyo saat tampil sebagai bintang tamu dalam program Tonight Show NET TV. Cantik, cerdas, dan kaya seperti biasa. Senin malam itu (9/9) kecantikan Dian Sastro semakin memancar sampai bikin mata kelilipan ketika dirinya diminta membuat puisi spontan.

Sebelum Dian Sastro, Vincent dan Desta memberi contoh tentang ketentuan “puisi spontan” di program Tonight Show malam itu. Tentu dengan peforma yang sangat luar biasa amburadul. Ketika giliran Dian Sastro, Hesti memilih sebuah barang secara acak untuk dibikin puisi. Dan kebetulan barang itu adalah hair dryer.

Dengan tenang, Dian Sastro langsung merapalkan puisi spontannya berjudul “Hair Dryer”.


Tanggal 7 Mei 1995…

Saya baru saja menguburkan seorang bapak

 

Sekarang kita masuk ke tanggal 9 Mei 1995

Saya kembali ke sekolah sebagai murid SMP kelas 2 di Vincentius (sekolahnya Pak Vincent)

 

Rasanya berangkat ke sekolah hari itu ada yang berbeda ya

Kalau dulu saya berangkat, enggak, enggak, enggak, bukan dulu, beberapa hari yang lalu

Saya berangkat ke sekolah sebagai anak yang punya orangtua yang lengkap

Tapi kayaknya itu berbeda ya hari ini

 

Saya sudah enggak bisa bilang hal yang sama lagi tentang hal itu

Bukan, saya bukan seorang anak dengan orangtua yang lengkap

 

Saya punya ibu, tapi apa saya punya bapak?

Mungkin sudah enggak lagi ya hari ini

 

Sekolah tetap sama

Teman-teman tetap sama

Mereka namanya sama

Perannya sama

Masuk ke kelas yang sama

Tempat duduk saya tetap sama

Guru tetap sama

Pelajaran tetap sama

Tapi berbeda banget ya hari ini

 

Apa terus semuanya harus terasanya beda?

Mungkin enggak juga

 

Saya pulang hari itu

Pulang sekolah, saya mandi

Saya basahin seluruh rambut saya

Sampai pada akhirnya… saya harus keringin

 

Mau sampai kapan rambut ini basah?

 

Saya ambil hair dryer…

Keluar anginnya, szzzzzz…

Keluar anginnya bising sekali! bising sekali!

Szzzz ilang enggak ya rasa bedanya?

Enggak sih, szzzz, ilang enggak, ya?

 

Masih enggak enak rasanya

Enggak apa-apa deh

Yang penting rambut saya kering

Dan saya enggak bisa mendengar kepala saya sendiri.


Sudah jadi hal biasa kalau sebuah puisi—apalagi puisi sekeren Dian Sastro ini—dianalisis menggunakan teori analisis puisi. Oleh karena itu, untuk melihat sebagus apa puisi “Hair Dryer” ini, perlu kiranya kita ulik dengan cara lain. Soalnya kalau pakai teori sastra ya udah bagus je, mau diapain lagi?

Maka guna menganalisis puisi “Hair dryer” Dian Sastro ini saya ingin menggunakan metode perencanaan strategi yang digunakan untuk mengevaluasi strengths (kekuatan), weaknesses (kelemahan), opportunities (peluang), dan threats (ancaman) alias SWOT. Saya bahkan berani mengklaim bahwa tulisan tak berfaedah ini merupakan sebuah analisis puisi pertama di dunia menggunakan metode SWOT.

Metode SWOT yang dibikin Albert Humphrey ini normalnya digunakan untuk mengevaluasi perencanaan strategis sebuah perusahaan bisnis. Akan tetapi, karena puisi “Hair Dryer” Dian Sastro ini dibikin secara spontan dan dipikirkan dengan ala kadarnya (meski hasilnya menakjubkan), maka analisis ini tentu akan dibikin dengan spontan pula dan jauh lebih ala kadarnya.

Oke, agar kita nggak perlu berlama-lama lagi, mari kita kaji satu demi satu.

Pertama: strengths (kekuatan).

Salah satu kekuatan kenapa puisi “Hair dryer” ini bisa menyentuh sekaligus menggemaskan adalah karena yang bikin Dian Sastro, serta dibacakan oleh Dian Sastro (ya iyalah, Bambaaang). Reputasi Dian Sastro yang mampu menghipnotis orang melalui kemampuan baca puisi sudah dipupuk sejak bertahun-tahun silam—terutama sejak film Ada Apa Dengan Cinta? (2002).

Periode yang cukup untuk membangun aura kharismatik seorang Dian Sastro di hadapan penonton. Bahkan Vincent dan Desta yang biasa ngebanyol mendadak terdiam seribu bahasa.

Cukup berdiri diam saja nggak ngapa-ngapain, keberadaan Dian Sastro sudah memunculkan atmosfer intimidatif. Tiba-tiba orang bisa mendadak jatuh cinta lagi. Padahal Mbak Dian Sastro belum ngomong apa-apa, saya aja udah langsung jatuh cinta.

Apalagi kalau Mbak Dian sampai ngomong dan merapalkan sebuah puisi. Yawla, ini kenapa orang enaknya bisa luar dalem kayak wafer Tango gini sih.

Sudah begitu, puisi ini punya kesan yang sangat personal. Identitas puisinya begitu jelas. Hanya Dian Sastro yang bisa bawain. Magis puisinya akan hilang kalau dibaca orang lain. Bahkan jika “orang lain” itu adalah Rangga sekalipun.

Kedua: weaknesses (kelemahan).

100% nggak ada. Sori. Lain kali aja ya, Beb.

Ketiga: opportunities (peluang).

Ada banyak peluang yang bisa didulang dari puisi “Hair Dryer” Dian Sastro ini. Meski puisi ini bercerita soal kesedihan seorang anak yang ditinggal almarhum ayah, namun puisi ini jelas sangat layak untuk dijadikan iklan untuk sebuah produk sampo. Hm, mungkin pemilihan topik hair dryer ini ada kaitannya dengan sponsor acara di Tonightshow kala itu, yakni sampo Dove.

Kalau Dove jeli, seharusnya mereka memanfaatkan puisi ini untuk iklan-iklan produk sampo-nya ke depan. Ini jelas peluang yang harus dimanfaatkan. Nggak setiap hari lho ada puisi soal rambut tapi bisa menyentuh hati pada saat yang bersamaan. Kalau iklan yang nyentuh emosi sih, udah banyak.

Keempat: threats (ancaman).

Ancaman terbesar dari puisi “Hair Dryer” Dian Sastro ini berpeluang hadir dari youtuber-youtuber tanah air yang ingin memanfaatkan momentum. Melihat semua orang belingsatan bahagia denger puisi “Hair Dryer”, bukan tidak mungkin puisi ini bakal di-remake untuk lucu-lucuan.

Lho, lho, ancaman ini bisa aja muncul. Nama-nama besar dari Atta Halilintar atau Ria Ricis bisa aja iseng bikin “cover” pembacaan puisi “Hair Dryer” Dian Sastro. Tapi itu mending sih daripada naskah puisi ini dibikin lagu rap sama Young Lex.

Akan tetapi, ancaman paling nyata sebenarnya bukan itu. Ancaman paling nyata adalah ketika puisi “Hair Dryer” Dian Sastro tiba-tiba dianalisis pakai analisis SWOT kayak tulisan ini. Dan kamu masih aja betah baca tulisan ini sampai akhir.

BACA JUGA Analisis Puisi “Petruk Jadi Raja” Karya Fadli Zon atau artikel Ahmad Khadafi lainnya.

Exit mobile version