Menabok Anak Sendiri dan Pertentangannya dengan Teori Parenting Kontemporer

nama bayi 9 Larangan Nama Anak yang Harusnya Semua Orang Sudah Tahu mojok.co

nama bayi 9 Larangan Nama Anak yang Harusnya Semua Orang Sudah Tahu mojok.co

MOJOK.CODi masa kecil, kita akrab dengan cubitan, jeweran, sampai tabokan orangtua. Dan kini, teori parenting kontemporer datang dengan membawa kebaruan: melarang orangtua menabok anak. 

Saya sedang nongkrong di salah satu kedai kopi bersama kawan-kawan saya. Kami sedang asyik ngobrol hingga kemudian seorang kawan kami yang lain datang dan ikut bergabung. Ia datang bersama anaknya yang masih kecil.

“Kelas berapa sekarang dia?” tanya saya kepada kawan saya itu.

“TK besar,” jawab dia.

Selayaknya lelaki dewasa, saya dan beberapa kawan saya yang lain mencoba mengakrabkan diri dengan anak kawan saya itu. Kami mencoba menarik perhatian dia. Dari seluruh upaya yang kami lakukan, tampaknya hanya saya yang berhasil.

Saya perlihatkan kepada dia trik menyembunyikan bagian berwarna hitam pada mata saya sehingga yang tampak kemudian hanya yang berwarna putih saja. Trik ini adalah salah satu kelebihan yang saya punya. Kelebihan yang, sialnya, hanya mungkin saya perlihatkan kepada anak kecil. Saya tak mungkin memperlihatkan kelebihan saya itu kepada HRD saat saya wawancara kerja atau kepada calon mertua saat saya melamar anaknya.

Terhadap trik menyembunyikan bagian hitam pada mata itu, anak kawan saya ternyata menyukainya. Ia bahkan meminta saya melakukannya lagi untuknya.

Saya tentu agak girang. Usaha saya untuk mencoba mengakrabkan diri ternyata berhasil. Keberhasilan kecil yang rasanya layak untuk saya rayakan. Dari sekian banyak trik yang dipakai oleh sekelompok laki-laki, hanya trik saya yang berhasil menarik perhatian lelaki kecil itu.

Keberhasilan itu sempat membuat saya merasa jumawa sekaligus bahagia, hingga kemudian, saya harus menerima kenyataan, bahwa saya menyesali keberhasilan itu.

Si anak, sebut saja Fulan, terus menerus meminta saya melakukan trik itu. Sekali dua kali, mungkin tak apa. Tapi berkali-kali, menyebalkan juga rasanya.

Hingga kemudian, ada satu momen yang membuat saya amat geram. Ketika saya menolak untuk melakukan trik itu, karena saya sudah melakukannya berkali-kali, si Fulan kecil ini mendadak memukul perut saya. Pukulan anak TK besar tentu tak sekeras itu, namun tentu saja, setidak keras apa pun pukulan itu, tetap bikin mangkel.

Jauh lebih mangkel lagi saat saya tahu, bapak si anak ini ternyata tidak memberikan “hukuman” yang sepadan atas sikap kurang ajar yang dilakukan oleh anaknya yang masih kecil itu.

“Hei, jangan mukul begitu, nanti Mas Agus sakit, lho,” kata kawan saya.

Si anak tidak menurut, ia masih tetap berusaha memukul perut saya saat saya berusaha berpaling dan menghiraukan permintaannya untuk melakukan trik mata itu.

Pukulan kedua melayang. Dan kawan saya masih tetap tak bertindak lebih jauh.

“Jangan gitu, Fulaaaaaan. Mas Agus sakit itu.”

Padahal dalam hati, saya amat berharap kawan saya itu memarahi anaknya dengan keras, kalau perlu sambil disertai dengan cubitan, sekadar sebagai pengobat hati saya yang mangkel karena anaknya bersikap tidak sopan. Dan pada kenyataannya, itu tak terjadi.

Apa yang saya rasakan itu kemudian mengingatkan saya pada kawan saya yang lain, Rusli. Ia pernah mengalami hal hampir sama dengan saya, namun dengan kadar mangkel yang tentu saja jauh lebih besar.

Sebagai seorang sopir profesional, ia senantiasa berusaha memanjakan pelanggannya. Ia selalu berusaha menjaga sikap. Kalau pelanggannya galak dan menyebalkan, ia akan menyabar-nyabarkan diri. Kalau pelanggannya banyak tingkah dan banyak maunya, ia berusaha untuk tetap bersikap baik. Kalau pelanggannya kentut di sebelah dia dan bau kentutnya serupa bau tahi busuk, ia akan berusaha untuk menahan napas dan bersikap seolah tak ada apa-apa, semata agar pelanggannya itu tak merasa nggak enak hati karena silitnya tak bisa diajak kompromi.

Namun kejadian yang satu itu amat berbeda. Ia sedang menyopiri pelanggan lengkap dengan keluarganya. Ketika istirahat di minimarket, Rusli duduk di kursi depan minimarket sambil menunggu pelanggannya belanja. Saat keluarga pelanggannya selesai berbelanja itulah adegan yang kelak akan terus diingat oleh Rusli terjadi.

Anak si pelanggan itu mendadak mendekati Rusli dan tiba-tiba meludahi Rusli.

Rusli tentu saja emosi. Namun ia berusaha menahannya semata sikap profesionalnya sebagai sopir yang mencoba untuk menjaga perasaan pelanggannya.

Dalam hati, ia pun berharap orangtuanya akan langsung memberikan hukuman kepada anaknya yang bersikap tidak sopan dengan meludahi orang lain.

Namun yang terjadi ternyata tak seperti yang Rusli harapkan. Ketika melihat festival pelecehan dan ketidaksopanan itu terjadi, orangtua si anak ternyata hanya menegur ringan.

“Eh, nggak boleh gitu. Nggak baik.”

Tidak ada bentakan yang singgah, tak ada jeweran yang mampir, pun tak ada cubitan yang mendarat pada kulit si anak tak tahu diuntung itu. Hati Rusli mencelos.

Aksi kurang ajar level 10 itu ternyata hanya diganjar dengan imbauan “Nggak boleh gitu.”

“Kalau itu anakku, sudah aku jewer dia, kalau perlu, aku suruh anakku berlutut dan meminta maaf,” kata Rusli saat menceritakan kejadian itu kepada saya.

Apa yang saya alami, dan pengalaman buruk Rusli itu kemudian membuat saya menjadi agak gamang dengan konsep pengasuhan anak masa kini.

Saya tak paham banyak tentang apa saja dampak buruk yang bisa timbul kalau memberikan hukuman fisik kepada anak kecil yang nakalnya keterlaluan menurut teori parenting kontemporer yang banyak sekali genrenya itu. Namun yang jelas, diam-diam, dalam hati, saya kagum juga dengan orang tua yang cukup tega melakukannya.

Saya sendiri tak tahu apakah saya bakal tega kalau harus “menyakiti” anak sendiri karena kenakalannya, sebab saya sendiri belum punya anak. Namun yang jelas, saya pasti tega kalau disuruh menggampar orangtua yang saat anaknya meludahi orang lain, ia cuma bilang “Nggak boleh gitu. Nggak baik.”

BACA JUGA Partai Ummat Memang Lucu dan Menggelikan, Namun Mereka Layak untuk Didukung dan tulisan AGUS MULYADI lainnya. 

Exit mobile version