Mempertanyakan Fungsi Tanda Tangan yang Belakangan Semakin Memudar

ilustrasi Mempertanyakan Fungsi Tanda Tangan yang Belakangan Semakin Memudar mojok.co

ilustrasi Mempertanyakan Fungsi Tanda Tangan yang Belakangan Semakin Memudar mojok.co

MOJOK.CO – Fungsi tanda tangan itu buat apa sih? Kalau cuma untuk menunjukkan identitas, tentu sangat mudah dipalsukan.

Saya memiliki sebuah buku berwarna abu-abu dengan gambar sampul Fido Dido yang saya anggap sebagai buku sakti ketika saya SMP. Bukan karena isinya catatan RPUL, melainkan buku itu berisi banyak sekali tanda tangan penulis dan orang-orang terkenal yang kebetulan saya temui di berbagai acara. Di dalamnya banyak sekali kalimat motivasi untuk menulis, yang paling saya ingat adalah kalimat “Jika lelah menulis, istirahat, lalu menulis lagi. Jangan berhenti.” diiringi dengan sebuah coretan super besar. Walau saya tidak ingat penulis mana yang memberikan saya pesan begitu, setidaknya nasihat itu masih saya amalkan. Minimal saat menyusun tesis.

Buku berisi kumpulan tanda tangan dan kutipan itu sekarang sudah hilang. Sebab, semakin zaman bergerak menuju kebiasaan digital, saya jadi merasa bahwa ketika twit saya dibalas oleh terkenal, itu lebih penting ketimbang buku Fido Dido abu-abu. Bahkan, kita tidak lagi kerap menemui fans yang meminta tanda tangan kepada idolanya. Seringnya, fans zaman sekarang minta swafoto.

Saya juga seperti kebanyakan bocah-bocah lain yang menciptakan tanda tangan ketika SD, lalu bergonta-ganti bentuk sampai mendapatkan tipikal coretan yang paling bagus. Ada fase-fase menggambar bintang pada tanda tangan karena nama saya diawali huruf “A”. Saya juga sempat berpikir panjang, mengapa kebanyakan orang tanda tangan itu bentuknya seperti tulisan latin ya?

Fungsi tanda tangan sebenarnya untuk menunjukkan identitas. Bentuk ini paling sering dipakai untuk surat menyurat dan absensi kehadiran. Sayangnya, fenomena titip absen di perkuliahan membuat saya menyadari bahwa bentuk yang sudah sedemikian rupa kita buat sebagai “identitas” itu sangat mudah dipalsukan. Tinggal meluangkan waktu lima menit untuk corat-coret di lembaran kosong, maka jadilah versi bajakannya. Jarang sekali orang punya kemampuan luar biasa dalam menelisik, mana yang asli dan mana yang palsu sulit dibedakan. Lagian gimana caranya kita menerka-nerka coretan tanpa arti itu? Kecuali Anda Sherlock Holmes, saya baru percaya.

Jika fungsi corat-coret itu dimaksudkan untuk menunjukkan identitas yang unik, tentu ini tidak tepat. Cap tiga jari lebih akurat. Keasliannya bisa dibuktikan. Tapi, bentuk coretan yang kita buat dari kecil itu justru terus-terusan dipakai saat kita dewasa. Fungsinya macam-macam, untuk diletakkan di KTP, untuk surat menyurat, untuk menyatakan persetujuan, bahkan versi digitalnya juga banyak dipakai. Di antara fungsi tersebut, saya justru melihat sebuah benang merah dari persyaratan pembuatan tanda tangan, yaitu formalitas dan kebiasaan. Kita mensyaratkannya karena kita terbiasa, bukan karena kita butuh.

Menulis nama di buku tamu, menulis nama di absensi, mengurus pengambilan dana, hingga buku Ramadhan, dan lain sebagainya masih perlu menggunakan tanda tangan. Sebuah simbol yang menunjukkan bahwa kita memang secara sadar “hadir” dalam dokumen tersebut. Padahal, ia hanyalah sekumpulan corat-coret iseng yang bahkan tidak mengandung makna filosofis.

Jika ditelusuri, kebiasaan membubuhkan identitas pada dokumen ini memang sudah jadi kebiasaan nenek moyang. Peradaban Mesir, Romawi, dan Yunani setidaknya mengenal piktograf sebagai sebuah simbol untuk meninggalkan jejak. Hal ini menjadi wajar, sebab di masa lalu, tulisan tangan dan piktograf bukan hal yang bisa seenaknya dibuat sehari-hari. Sekarang, asalkan punya pena dan media tulis, bisa corat-coret sepuas jidat.

Munculnya tanda tangan digital juga sebenarnya cukup aneh dan semakin mengaburkan fungsi identitasnya. Corat-coret ini mudah sekali dipalsukan dalam satu langkah: Copy paste. Kalau au agar repot sedikit, kita juga bisa pakai tanda tangan seseorang dari sebuah kertas, mendigitalisasinya, menyuntingnya, kemudian mendistribusikannya secara tak terbatas. Sungguh sebuah fungsi yang semakin banal.

Ironinya memang begitu. Tanda tangan dibuat secara tidak sengaja, tidak bermakna, lalu dipakai di mana-mana sampai kita dewasa. Padahal bisa saja kita mengatur ulang penggunaannya yang kelewat berkhianat dari fungsi sebelumnya. Pembuktian identitas yang serius tidak bisa sekadar dengan coretan dan penulisan identitas yang tak perlu pembuktian tidak usah pakai tanda tangan.

BACA JUGA Waktu SD Merasa Tanda Tangan Keren, Sudah Besar Malah Pengin Ganti atau artikel AJENG RIZKA lainnya. 

Exit mobile version