Mbak Titiek Soeharto dan Romantisme “Piye Kabare? Isih Penak Jamanku, Tho?”

titiek soeharto

Ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya, Titiek Soeharto (atau mungin biar lebih akrab, kita sebut dengan Mbak Titiek saja, yes) dalam beberapa hari terakhir membuat manuver sederhana yang cukup menghebohkan dunia persilatan politik tanah air.

Melalui cuitan di akun Twitternya, Mbak Titiek menyebut bahwa Indonesia sudah saatnya kembali seperti masa pemerintahan Bapak Harto.

“Sudah cukup… Sudah saatnya Indonesia kembali seperti waktu era kepemimpinan Bapak Soeharto yang sukses dengan swasembada pangan, mendapatkan penghargaan internasional dan dikenal dunia.” Begitu kata Mbak Titiek.

Dalam beberapa cuitan yang lain, Mbak Titik juga menyoroti soal masalah pengangguran dan ekonomi yang di masa pemerintahan Jokowi ini dianggap semakin buruk.

Hal tersebut tentu saja langsung mengundang banyak komentar miring dari para netizen. Maklum saja, urusan ekonomi, kemiskinan, juga pengangguran memang hal yang sensitif, terlebih jika hal tersebut kemudian diperbandingkan antar rezim.

Pernyataan Titiek tentang pengangguran jaman sekarang yang semakin tinggi dibandingkan dengan jaman pemerintahan ayahnya sedikit banyak memang debatable.

Di masa akhir pemerintahan Soeharto sebelum krisis, tingkat pengangguran di Indonesia adalah sebesar 5,46 persen, sedangkan di masa pemerintahan Jokowi, naik turun di kisaran 5,13 persen sampai 5,70 persen. Itu artinya, tingkat pengangguran di era pemerintahan Soeharto dan Jokowi sebenarnya tak beda-beda amat.

Tingkat kemiskinan lebih bisa dibantah lagi. Tingkat kemiskinan di periode terakhir kepemimpinan Soeharto berkisar antara 13,7 persen sampai 17,47 persen. Sedangkan di masa pemerintahan Jokowi, per bulan Maret kemarin, berada di tingkat 9,82 persen. Menurut BPS, itu adalah angka yang terendah sepanjang masa.

Jadi, kalau ada orang yang bilang bahwa angka kemiskinan di era Jokowi meningkat, itu bisa dianggap omong kosong belaka.

Pernyataan Mbak Tutiek yang jauh lebih sensasional adalah saat ia mengomentari insiden Ratna Sarumpaet beberepa waktu yang lewat.

“Mosok emak-emak, nenek-nenek, dianiaya. Itu kan perbuatan biadab. Biadab banget ini,” ujar Mbak Titiek. “Dulu di zaman Orde Baru, dibilang otoriter. Tapi apakah dengar ada aktivis wanita dianiaya. Coba dibandingkan siapa yang otoriter?”

Pernyataannya ini mendapatkan nyinyiran jauh lebih nylekit, sebab, untuk tidak menyebutnya sebagai naif atau pura-pura lupa, pada masa pemerintahan Soeharto nyatanya banyak sekali aktivis yang mendapatkan perlakuan represif dari aparat.

Beberapa netizen yang menanggapi pernyataan Mbak Titiek tersebut menyebutkan nama Marsinah, sosok aktivis perempuan di jaman orde baru yang tewas karena dibunuh.

Yah, Pemilu, utamanya Pilpres memang membuat banyak orang jadi sukar mengingat masa lalu dan sulit menangkap fakta.

Tapi tak apa, anaknya Pak Harto, bebas.

Lagipula, pada titik tertentu, saya setuju dengan Mbak Titiek. Pada titik tertentu, saya memang harus mengakui kalau memang lebih enak jaman pak Harto. Lha gimana, jaman Pak Harto, kerjaan saya cuma nonton dragon ball sama kartun tamiya.

Dan pula, jaman pak Harto, masalah terbesar saya cuma PR Matematika, bukan patah hati, dikhianati teman, atau terjerat hutang.

Ah, saya kok jadi inget sama dialog lucu suami dan istri soal rezim Soeharto.

“Memang enak jaman Soeharto ya, Dik?” tanya suami pada istrinya.

“Ah, kok bisa tho, Pakne, enaknya di mana?”

“Ya enak, soalnya jaman Soeharto, kamu masih muda, mulus, lincah, dan lentur, nggak tua dan gembrot kaya sekarang.”

“Lambemuuuuuu…”

Exit mobile version