Livi Zheng Adalah Tommy Wiseau dan Carson Clay-nya Indonesia

MOJOK.COFilm karya Livi Zheng jelas tidak seburuk itu. Kita sebagai penonton film dari Indonesia saja yang belum paham dengan kualitas beliau.

Penikmat film itu macam-macam. Tak semuanya mau nonton film bermutu doang, kadang ada juga yang demen banget sama film aneh. Salah satunya teman saya, Yandri namanya.

Bayangin aja, ketika film Rafathar rilis Agustus 2017 silam Yandri sampai khawatir tak kebagian tiket karena nyaris telat datang di pemutaran hari pertama film yang dibintangi putra Raffi Ahmad dan Nagita Slavina itu. Untuk itu dia coba cek ke pacarnya via pesan singkat.

Yandri   : Kira-kira masih dapat tiket nggak ya?

Pacar     : Halah, se-Indonesia ini yang semangat nonton Rafathar paling cuma kamu.

Yandri   : Hm, bener juga. Optimis lah ya kebagian.

Silakan baca blognya di sini kalau kamu mau tahu cerita komplet dan review puanjangnya soal film Rafathar. Sebuah film yang meraih rekor sebagai film Indonesia paling mahal sepanjang tahun 2017 (mungkin juga sepanjang masa). Rumah produksinya harus menghabiskan biaya 15 miliar untuk mendapatkan bintang 1,5 di IMDb.

Tak cuma sekali saja Yandri ngotot dengan film-film aneh (wabilkhusus untuk film Indonesia), sebelumnya saya tahu betul teman kos saya di Jakarta ini juga tergila-gila dengan film Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita (2013).

Kamu juga bisa lihat review film berjudul ala berita koran lampu merah itu di sini. Film itu disebut Yandri sebagai “salah satu film paling menghibur di Indonesia selama 10 tahun terakhir”. Diksi “menghibur” di sini terserah mau kamu artikan bagaimana.

Maka, ketika seorang bertanya, “Kamu ngikutin Livi Zheng nggak?” saya seperti tertohok. Mampus saya, memang dia siapa?

Lalu saya dihujani hujan meteor informasi soal Livi Zheng. Sampai kemudian saya berhenti sejenak di depan layar laptop dan harus berterima kasih kepada Limawati Sudono, karena sudi menulis tentang siapa Livi Zheng di Geotimes (sampai lima biji) dengan cukup nggatheli.

Citra sebagai sutradara dan aktor asli Indonesia yang berkiprah di Amerika Serikat dan bahkan filmnya masuk kategori film Hollywood (ya kalau di Uganda namanya jadi film Uganda lah) ke seleksi Oscar, bikin saya makin merasa bersalah. Sekuper inikah saya sampai tidak tahu ada anak bangsa berprestasi sehebat ini?

Sampai akhirnya liputan soal Livi Zheng keluar. Kemarin, Tirto menayangkan tiga tulisan soal Livi Zheng. Dari soal peran tersembunyi keluarga untuk memoles citranya, omong kosong klaim menembus Hollywood Livi Zheng, sampai wawancara yang menunjukkan kalau Livi Zheng tak tahu apa pun soal film.

Entah kenapa jiwa solidaritas anak bangsa saya segera membuncah. Kenapa sih, pada dengki amat sama prestasi anak bangsa kayak Livi Zheng gini? Tak mungkin deh kalau beliau sebegitu ambyarnya sampai dikorek-korek habis oleh media berbasis data macam Tirto itu.

Kalau kita ngecek di IMDb, setidaknya Livi Zheng punya jejak 12 film yang dia produseri. Dan salah satu yang lagi anget-angetnya adalah Bali: Beats of Paradise. Sebuah film yang digadang-gadang menunjukkan kepiawaiannya sebagai produser, sutradara, sekaligus pemeran. Hm, kurang peran penulis naskah aja sih kalau mau selevel dengan Raditya Dika.

Sekali lagi, saya harus berterima kasih kepada Candra Aditya yang dengan ciamik bikin review menawan soal film Bali: Beats of Paradise. Dari sana saya mengerti kekesalan banyak penonton film Indonesia soal film Livi Zheng ini. Yang kalau memakai kata-kata ala seniman di Sewon, Bantul: Jelek saja belum.

Jelas saja uring-uringan kalau nonton film diawali dengan pernyataan pejabat-pejabat negeri lalu di tengah-tengah film muncul soal kenarsisan sang produser dan sutradara. Mana film ini digadang-jadi nomine Oscar lagi.

Melihat kenyataan itu, saya pikir itu bukan karena kualitas film Livi Zheng benar-benar bencana, tapi karena selera film kita sebagai masyarakat Indonesia saja yang belum sampai. Sama seperti premis saya di awal tulisan tadi, penonton film itu motifnya macam-macam. Ada yang demen film superbagus, ada juga yang justru tergila-gila dengan film jelek. So bad movie it’s good.

Paling tidak kamu bisa melihat James Franco (pemeran Harry Osborn di film Spider-Man) ketika tergila-gila dengan Tommy Wiseau dalam film The Room (2003).

Film The Room adalah kombinasi antara buruknya akting, dialog nggak nyambung, efek green screen yang masih bagusan sinetron azab Indosiar, adegan ranjang yang vulgar, sampai dengan jalinan cerita yang ambyar. Semua itu bikin The Room jadi salah satu film terburuk sepanjang masa dalam sejarah industri perfilman Amerika Serikat.

Saking buruk dan ganjilnya, The Room malah menjadi film cult di Amerika—bahkan mungkin dunia. Digilai karena begitu rusaknya. Film peraih Oscar mungkin masih dibicarakan sampai 5 tahun ke depan, tapi The Room bahkan 16 tahun sejak kemunculan tetap saja dibicarakan.

Keanehan film ini sebenarnya sudah bisa kamu lihat sejak detik ke-4. Di layar kamu akan menyaksikan film ini dibikin oleh Wiseau Films, diproduseri Wiseau, disutradarai Wiseau, dan dibintangi oleh Wiseau. Paket komplet.

Kenarsisan yang beyond ini sama seperti tokoh sutradara Carson Clay (diperankan dengan luar biasa oleh William Defoe) yang tampil dalam film Mr. Been’s Holiday (2007). Saya tak perlu menjelaskan macam-macam. Kamu cukup tonton saja sendiri di bawah ini seberapa absurd itu si Carson Clay.

Melihat kenarsisan Carson Clay yang cuma ada di cerita fiksi, lalu mengetahui ada Tommy Wiseau di dunia nyata membuat saya harus berterima kasih betapa menariknya industri film. Hal itu yang mungkin bikin James Franco akhirnya mau repot memfilmkan proses pembuatan film The Room dengan judul The Disaster Artist (2017). Film keren yang bercerita soal film terburuk sepanjang masa.

Entah kebetulan atau tidak, secara cerita, film The Disaster Artist ini punya sedikit kemiripan dengan jalan cerita film dokumenter Bali: Beats of Paradise karya Livi Zheng. Filmnya sendiri bercerita soal kru film. Bedanya, kalau The Disaster Artist cerita soal pembuatan film, Bali: Beats of Paradise ini bercerita soal proses pembuatan video klip.

Hal ini yang kemudian bikin saya jadi memandang karya-karya Livi Zheng dengan penuh curiga. Bukan kecurigaan seperti Tirto yang mengobok-obok sampai urusan dapur produksi, kecurigaan saya malah muncul karena saya yakin Livi Zheng tidak mungkin sebodoh itu.

Jangan-jangan Livi Zheng sudah khatam soal fenomena film cult. Livi Zheng sadar, kalau begitu sulitnya membuat film yang bagus untuk dikenal, apa salahnya membuat film yang buruk untuk dikenal? So bad movie it’s good, right?

Kenapa seperti itu? Sebab orang-orang seperti teman saya Yandri di awal cerita tadi, jelas jadi pihak paling dimanjakan dengan keberadaan film Livi Zheng. Itu sama saja memberi pakan ikan ke kolam mujair yang belum dikasih makan berhari-hari.

Livi Zheng mungkin tidak sedang bikin film untuk dinikmati oleh penggemar film yang serius, kritikus film dengan kapasitas mumpuni, atau anak-anak muda dengan jiwa kritis, melainkan memang menarget ke penonton film kayak teman saya Yandri atau mungkin orang kayak James Franco.

Lalu sambil berharap, suatu saat nanti ada orang yang kayak James Franco di Indonesia. Rela menghabiskan duit, tenaga, dan waktu untuk bikin film tentang Livi Zheng dalam proses pembuatan Bali: Beats of Paradise.

Lalu film ini akhirnya yang dapat Oscar betulan. Plot twist.

BACA JUGA Dunkirk dan Dua Problem Kambuhan Nolan atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.

Exit mobile version