Bilangnya “Let’s Confuse Kids Nowadays” Padahal Kamu Cuma Mau Nostalgia

MOJOK.CO Meski dibumbui kalimat “Let’s confuse kids nowadays”, saya yakin bahwa kamu-kamu itu cuma lagi pengin nostalgia. Ngaku aja, deh!

Beberapa hari belakangan, “Let’s confuse kids nowadays” menjadi kalimat populer di media sosial Twitter. Sebenarnya hal ini bukan hal yang baru, mengingat kalimat yang sama telah muncul sejak akhir tahun 2018 dan berkonsep sama: memunculkan gambar atau apa pun yang berkaitan dengan hal-hal yang dulu sempat booming dan kini telah hilang bagaikan ditelan bumi kayak gebetanmu yang nggak jelas itu.

Sebagai pemanasan, nih saya kasih contoh-contoh ke-confuse-an yang diupayakan muncul oleh sebagian pengguna Twitter:

…ini juga…

…atau ini…

…dan jangan lupakan masa-masa perjuangan ini.

https://twitter.com/catuaries/status/1107218609489612800

Gimana? Sudah bisa sedikit flashback dan mengenang masa-masa di mana tontonanmu adalah sinetron Inikah Rasanya? alih-alih sinema azab Indosiar???

Meski dibumbui kalimat “Let’s confuse kids nowadays”, saya yakin bahwa siapa-siapa saja yang mengunggah gambar-gambar kenangan tadi—dan juga yang me-reply-nya—adalah orang-orang yang sesungguhnya tengah menceburkan diri sendiri ke dalam lembah nostalgia. Mereka mengingat-ingat kenangan dengan bahagia—bukannya benar-benar mau bikin anak-anak zaman sekarang kebingungan, karena…

…ya apa faedahnya coba??? Kok repot-repot amat, Bang, ngurusin anak orang???

Apalagi, FYI aja nih, nyatanya, kita-kita ini (hah, kita???), manusia-manusia penuh dosa di dunia, memang sangat menyukai kenangan yang muncul gara-gara nostalgia.

Wow wow wow~

Coba ingat-ingat: munculnya film Dilan 1990 dan Dilan 1991, selain karena pesona gantengnya Iqbaal Ramadhan yang nggak-ngerti-lagi-apa-formulanya-sampai-bisa-setampan-itu, didukung pula dengan setting lawas 90-an. Jadi, selain menarik minat anak-anak masa kini, orang-orang jadul pun merasa terpanggil karena nostalgia yang dibawa Dilan dan Milea: betapa berkasih di tahun 90-an terasa begitu hangat dan sederhana.

Nostalgia ini terasa bagai candu yang sulit dihentikan. Waktu lagi nonton film konser Super Junior di sebuah bioskop beberapa tahun lalu, misalnya, saya diberikan kacamata hitam oleh petugas untuk dikenakan sepanjang film berlangsung, mengingat film ini adalah film 3D yang memiliki beberapa efek khusus. Saat saya memakai kacamata tadi dan merasa jauh lebih dekat dengan Kyuhyun, Yesung, Siwon, dan member-member lainnya, pikiran saya juga mendadak melayang ke…

…kacamata 3D yang terbuat dari kertas dengan lensa berwarna merah-biru, dan saya pakai untuk menonton sinetronnya Joshua di SCTV waktu saya masih duduk di bangku SD!!!

Ya, ya, ya, semudah itu nostalgia dan kenangan bekerja, Gaes-gaesku. Memori bisa saja terpacu untuk muncul karena banyak hal, mulai dari aroma, rasa makanan atau minuman, hingga perasaan khusus terhadap obyek tertentu. Pada kasus saya tadi, perasaan yang saya punya pada film 3D-lah yang mendorong ingatan saya pada sinetron Joshua.

Ah, jangankan masa-masa yang jauh kayak sinetron Joshua, lah wong sekarang ini kalau kamu buka WhatsApp aja masih suka nyeri gara-gara keinget betapa kamu dulu suka mengirim pesan pada seseorang sambil bertanya, “Sayang, lagi apa?”, tapi sekarang udah nggak bisa gitu, kan???

Atau, kalau kamu lagi jalan-jalan naik motor, lalu melewati penjual durian yang sontak mengirimkan bau durian ke hidung, kamu bisa saja tiba-tiba teringat momen-momen makan durian untuk pertama kali dengan seseorang yang penting untukmu—iya, kan??? IYA, KAN???

Nah, Saudara-saudara, itulah yang disebut dengan kenangan sialan involuntary memory, alias ingatan yang muncul mendadak karena beberapa hal yang menjadi pemicu. Namun, dasar manusia, sudah tahu kenangan itu nggak melulu membawa perasaan menyenangkan, nostalgia yang terjadi kemudian tetap dinikmati begitu saja.

Eh, memangnya, rasa nostalgia itu gimana?

Nostalgia tentu membawa perasaan campur aduk: kita mungkin bisa bahagia setengah mati saat nggak sengaja mendengar musik soundtrack telenovela lama, Amigos X Siempre, lantas mengingat-ingat persahabatan Ana dan Pedro di Sekolah Vidal. Namun, di satu sisi, bisa saja kita merasa super sedih saat melewati jalan yang dulu dilewati berdua dengan seseorang sambil bergandengan tangan, tapi sekarang bahkan orangnya sudah menghilang entah ke mana.

Tapi, tapi, tapiiii, ada satu kesamaan umum yang dihasilkan dari perasaan campur aduk ini: nostalgia memberikan perasaan hangat jauh di dalam diri masing-masing dari kita.

Ya!!! Itulah sebabnya banyak sekali manusia yang hobi bernostalgia, bahkan rela memutar otaknya demi mengingat-ingat kenangan masa lalu, atau menghasilkan voluntary memory—lawan dari involuntary memory.

Kecanduan bernostalgia hingga menempuh metode voluntary memory ini pun muncul lewat aksi “Let’s confuse kids nowadays”. Itulah sebabnya saya rasa bahwa para pengunggah foto dengan topik ini tidak benar-benar bermaksud membuat bingung anak-anak zaman sekarang—mereka cuma mau nostalgia sendiri. Hadeeeeh!

Perasaan hangat dan nyaman yang dimunculkan oleh proses nostalgia memang tak ada duanya. Saat  kita sedang lelah memikirkan deadline pekerjaan, menyembuhkan luka karena patah hati berturut-turut, bosan ditanya “Kapan nikah?”, hingga menyisihkan uang gaji untuk bayar kosan dan BPJS, tentu saja rasanya jauuuuuh lebih menyenangkan untuk duduk manis di depan layar laptop, memandangi gambar-gambar yang muncul bersama tulisan “Let’s confuse kids nowadays”, lantas mengenang betapa hidup terasa jauh lebih mudah saat kita masih berseragam putih merah dan masalah terbesar dalam hidup hanyalah PR Matematika.

Ah, sudahlah, mendingan situ ganti kalimat “Let’s confuse kids nowadays” jadi “Let’s celebrate the past together” saja!

Exit mobile version