Kualitas Tersembunyi Sinetron Indosiar yang Diketawain Kelas Menengah Terdidik

Kualitas Tersembunyi Sinetron Indosiar yang Diketawain Kelas Menengah Terdidik

Kualitas Tersembunyi Sinetron Indosiar yang Diketawain Kelas Menengah Terdidik

MOJOK.CODalam setahun ini sinetron Indosiar hampir semua saya tonton atau minimal saya dengar sayup-sayup dialognya karena simbok saya nonton secara istikomah.

Jauh sebelum pandemi melanda, sinetron Indosiar sudah jadi tontonan wajib di rumah saya. Saya bahkan mengalami sensasi bayangan adegan yang bisa nongol sendiri di kepala saya ketika boker atau ngelamun.

Kayak tiba-tiba saya bisa membatin tanpa niat, “Haha, akan aku racuni minumanmu ini,” atau, “Akan aku hancurkan keluarga ini,” atau, “Akan aku rebut perusahaan keluargamu.”

…..

..

Iya. Saya tahu apa yang kamu pikirkan. Kadang saya juga khawatir, apa saya ini udah masuk tahap kecanduan sinetron Indosiar ya? Hadeeeh.

Kalau kamu tanya kenapa itu bisa terjadi ya karena simbok saya merupakan fans garis keras dari program “Kisah Nyata Spesial Indosiar” dengan judul-judul episode yang mirip judul berita koran kuning. Dari episode yang berjudul Karena Gajiku Kecil Istriku jadi Durhaka sampai yang absurd kayak Suamiku Menikahiku karena ingin Menikahi Ibuku.

Semua terpaksa saya tonton atau minimal saya dengar sayup-sayup dialognya karena simbok saya selalu nonton itu dengan volume yang kencang sekali. Jadi bisa dibilang, saya cukup expert kalau mau ngomongin mahakarya sineas anak muda Indonesia itu.

Sampai kemudian Muhadkly Acho, stand up komedian senior, menyentil editing film sinetron Indosiar yang memperlihatkan orang buntung tapi tangannya tiba-tiba mecungul keluar, kayak gini:

Followers Acho dan kelompok terdidik kelas menengah terdidik jelas bakal ngetawain sinetron Indosiar. Apalagi blunder lolos editing kayak gini. Namun mereka melupakan satu hal bahwa sinetron ini punya dampak fundamental bagi kehidupan ibu-ibu rumah tangga di Indonesia—paling tidak di kehidupan rumah tangga simbok saya.

Setidaknya, sinetron Indosiar telah menyelamatkan persepsi banyak ibu rumah tangga akan tontonan televisi dan kehidupan para artisnya.

Kalau kamu rutin nonton sinetron ini kayak saya, kamu bakal sering lihat artis-artis mentereng masa lalu tapi lupa-lupa inget siapa namanya saat ini. Kayak suatu kali, saya pernah lihat Ihsan lulusan Indonesian Idol memerankan karakter miskin di salah satu episode.

Hal kayak gini tanpa diduga, jebul bisa menyadarkan banyak ibu rumah tangga bahwa nasib artis terkenal pun juga kayak roda. Kadang di atas, kadang di bawah.

Ketika melihat seorang artis yang familiar di sinetron Indosiar, tak jarang bakal muncul komentar, “Wah, kasihan, udah nggak laku ya sekarang. Sampai sinetron beginian mau dijabanin.”

Jadi para ibu-ibu rumah tangga itu sadar betul kalau kasta pemeran di sinetron Indosiar itu emang rada bawah. Kalau secara klasemen ya kayak kita lihat Juventus di Serie B lah. Kena degradasi gitu. Dan jangan salah, pemandangan ini menyadarkan buibu di Indonesia kalau artis pun kehidupannya ada jatuh-bangunnya. Nggak yang mulus-mulus aja.

Sirna sudah kesan glamor para artis di mata ibu-ibu rumah tangga. Ternyata para artis pun ada yang harus rela menurunkan gengsi agar tetap bisa diterima di industri tipi Indonesia.

“Nggak apa-apa, yang penting halal,” kata buibu kompleks kasih pemakluman. Dan dari sana pula bakal muncul benih-benih perasaan bersyukur sambil ngasih doa. “Sekarang ngilang tahu-tahu keluar di sinetron kek gini. Semoga terkenal lagi ya? Makin laku. Amin.”

Hal semacam ini juga menjadi tanda bahwa seambyar apapun rangkaian plot cerita sinetron Indosiar, para ibu-ibu sebenarnya TIDAK PEDULI AMAT.

Hawong pernah simbok saya komentar pada salah satu adegan, “Kok tahu-tahu udah 4 tahun ya?” ketika ada adegan cerita yang ujug-ujug kepotong lalu keluar tulisan… “4 tahun kemudian”.

Toh meski protes begitu, nyatanya simbok saya tetep lanjut nonton sampai kelar tuh. Nggak terganggu sama gambar kepotong tiba-tiba kayak suka-suka editornya itu.

Di sisi lain, editing yang suka-suka dalam sinetron Indosiar dan akting lebay para artisnya juga berdampak positif bagi para ibu-ibu rumah tangga. Paling tidak, saya menyadari kalau banyak ibu-ibu yang nonton sinetron Indosiar jadi nggak ikutan baper. Sekalipun adegannya udah yang mengharu biru banget. Simbok saya—misalnya—biasa aja kalau nonton. Dingin.

Pernah ketika adegan di sinetron Indosiar rumah tokoh protagonisnya dibakar sama tokoh antagonis. Ada api menyala-nyala hebat. Reaksi ibu saya? Biasa aja, malah minum teh sambil ketawa-ketawa. Sama sekali nggak tegang babar blas.

Ini jelas pemandangan yang jauh berbeda ketika setahun lalu tayangan drama Turki atau India di ANTV lagi tren. Saya inget betul kalau orang rumah pada ketagihan drama Turki atau India itu, wah bisa jadi perang dunia kalau sampai saluran tipi tiba-tiba kepencet keganti.

Bahkan ketika tayangan drama turkinya kelar, masih dibahas adegan per adegannya. Beneran kayak lagi ghibah tokoh yang beneran ada di dunia nyata. Seolah-olah karakter di drama itu adalah tetangga saya!

Oleh karena itu, meskipun sinetron Indosiar editingnya suka awur-awuran, jalan ceritanya suka nggak sinkron, lompat plot sering terjadi, aktingnya lebay pol-polan, make-up yang ketebelan, sampai judul yang absurd, pada kenyataannya sinetron tersebut selalu bisa menghibur dengan caranya sendiri. Tetep dapet ceritanya, tapi nggak bikin emosi betulan kayak sinetron lainnya.

Apalagi dasar ceritanya sebenarnya sangat relate dengan ibu-ibu rumah tangga karena problemnya begitu dekat.

Mulai dari rebutan warisan, rebutan tanah, orang ketiga dalam rumah tangga, gaji suami yang kurang, korupsi pejabat desa, persaingan antar-toko kelontong, santet-pelet, utang rumah kontrakan, dijodohkan karena orang tua punya utang, semua konflik yang begitu dekat dengan kelas menengah-bawah di Indonesia.

Sangat jauh berbeda dengan FTV sebelah yang isinya soal pacaran sama orang kaya, gebetan sama orang kampung, PDKT sama anak culun. Problem-problemnya orang-orang “kota” dan orang punya duit.

Jadi nggak perlu mencak-mencak pula kalau kamu doyannya nonton (kayak) Netflix terus jadi suka nyacat sinetron Indosiar. Soalnya kalau emang seleramu di sana, ya itu karena kamu punya rejeki lebih buat langganan siaran di sana, dan sekolah tinggi-tinggi sampai bisa relate dengan konflik di series-series Netflix.

Sedangkan bagi ibu-ibu rumah tangga biasa menengah ke bawah, melihat ada adegan keluarga diusir dari rumah kontrakannya di sinetron Indosiar itu bukan hanya soal relate aja, melainkan udah merasa diwakili. Dan dalam dunia cerita, perasaan bisa “diwakilkan” itu adalah perasaan yang sulit ditandingi.

Selain itu, hebatnya sinetron Indosiar lagi, perasaan terwakilkan itu bisa didesain tak sampai bikin baper para penontonnya. Entah karena ambyarnya teknik penceritaan atau alur yang kayak kepepet sama durasi jadi datar-datar aja gitu emosi gambaran adegannya.

Makanya, saya jadi curiga, semua keambyaran dari sinetron Indosiar ini jangan-jangan emang disengaja, agar masyarakat bawah kita punya tontonan menghibur yang bisa mewakili tapi tanpa perlu bikin baper penontonnya.

Barangkali pihak Indosiar sadar, hidup ini udah susah buat penonton mereka, kok ya tega mau kasih tontonan baper ke penontonnya.

Oleh karena itu, biar lah tontonan yang bisa betulan bikin baper itu untuk mereka-mereka yang tajir dan yang bisa langganan tipi kabel aja. Persoalan hidup mereka ini kan dikit, wajar kalau rela bayar mahal agar bisa punya masalah-masalah baru untuk dipikirin. Eh.

BACA JUGA Pemirsa Televisi Indonesia Dikasih Sampah, Eh, Minta Nambah atau tulisan POJOKAN lainnya.

Exit mobile version