Kenapa Ahsan dan Hendra Jago Banget Main Badminton?

MOJOK.COIndonesia dikenal sebagai “Brazil”-nya badminton. Kira-kira apa ya rahasianya? Terutama kehebatan Ahsan dan Hendra yang tak pernah lekang oleh usia.

“Di permainan ganda, khususnya melawan Ahsan dan Setiawan. Unggul tiga poin itu bukan apa-apa. Mereka bisa mengubahnya hanya dalam satu menit.”

Morten Frost, komentator yang menemani Gill Clark agak sesumbar memberi pujian kepada dua ganda putra legendaris Indonesia. Padahal situasi Mohamad Ahsan dan Hendra Setiawan sedang tertinggal 14-17 dalam pertandingan final BWF World Tour Finals 2019 saat itu.

Gill Clark hanya membalas… “Yeaah.”

Saya tersenyum. Sepanjang pertandingan melawan pasangan Jepang, Hiroyuki Endo dan Yuta Watanabe, Gill dan Morten memang mencoba untuk bersikap “adil” dalam berkomentar. Tapi, kalau diperhatikan betul-betul, Gill dan Morten terdengar terlalu menaruh respek lebih untuk Hendra Setiawan dan pasangannya.

Sebagai orang Indonesia, tentu saja saya menyukainya. Hal yang membuktikan bahwa Ahsan dan Hendra tidak hanya disukai oleh orang-orang di negaranya, melainkan penggila badminton di seluruh dunia.

Semakin mudah lagi menyukai Ahsan dan Hendra ketika ramalan “dukun” Morten mendadak beneran terjadi satu menit kemudian. Yah, satu menit lebih-lebih dikit lah.

Ketika Gill dan Morten masih berbincang, situasi di lapangan berubah jadi 16-17 begitu cepat. Pasangan ganda putra Jepang dibuat mati kutu. Di akhir pertandingan Endo dan Yuta seolah tak bisa memahami bagaimana mereka bisa kalah dari ganda putra “sepuh” dari Indonesia ini?

Kemenangan pun dirayakan secara “biasa” oleh Ahsan dan Hendra. Maklum, mereka hampir pernah menjuarai segala macam kejuaraan. Khususnya Hendra Setiawan, sang juara Olimpiade Beijing 2008. Begitu jagonya Indonesia di ranah ganda putra ini memunculkan pertanyaan usil di hati saya.

Kenapa kita jago banget bandmintoon? Terutama di ganda putra?

Mengingat selain Hendra dan Ahsan, kita masih punya “raja trik” Kevin Sukamuljo dan Marcus Gideon.

Ada beberapa faktor tentu saja. Selain pembinaan atlet yang luar biasa, regenerasi tanpa henti, serta kompetisi badminton dalam negeri yang bejibun jumlahnya untuk segala macam usia, saya pikir Indonesia punya pelatih yang sangat jago.

Oke, oke, bisa jadi ini terlihat klise. Tapi saya akan bagikan apa yang saya dengar ketika Herry IP, pelatih ganda putra Indonesia, memberi intruksi ke pemainnya saat final awal Desember 2019 itu.

“Yang depan begitu aja. Jangan terlalu maju. Mereka main panjang semua….” kata Herry IP.

“Mereka main silang-silang semua,” kata Hendra.

“Iya, jadi kalau main di sini, jaganya sebelah…” tambah Herry IP

Diskusi antara pemain dan pelatih terjadi. Maklum, Hendra dan Ahsan kan pemain senior. Kalau saja mereka berdua memperkuat negara lain, bisa jadi mereka malah harus merangkap jadi pelatih juga. Diskusi semacam ini pada kenyataannya justru membuat Hendra dan Ahsan juara.

Lalu saya coba bandingkan intruksi Herry IP dengan pelatih ganda putra Jepang. Beruntung pelatih mereka dari Cina, jadi dialog yang terjadi tidak menggunakan bahasa Jepang, tapi dikit-dikit ada yang bahasa Inggris.

Satu hal yang bisa saya simpulkan, pelatih Jepang kasih intruksi khusus ke Yuta Watanabe untuk selalu menyerang Hendra dengan dropshot. Hanya gitu doang. Tak ada penjelasan detail kenapa Yuta harus melakukan itu.

Yah, akhirnya kita tahu ceritanya. Yuta dan Endo memang sempat memberi perlawanan yang impresif, meski pada akhirnya keok juga.

Lee Young Dae, pemain ganda putra legendaris mengaku menemukan jawaban kenapa pelatih Indonesia hebat-hebat. Salah satunya karena pelatih-pelatih ini dulunya adalah pemain yang sangat hebat pada zamannya.

“Bahkan atlet-atlet asal Indonesia (dulu) adalah para atlet yang saya kagumi. Saya suka sekali dengan atlet Tony Gunawan,” kata Lee Yong-dae tanpa malu-malu. Kamu bisa lihat wawancara komplitnya di sini.

Bahkan Lee Yong-dae mengingat kalau dirinya sering kalah dari Hendra. Baik ketika berpasangan dengan Ahsan, maupun ketika masih berpasangan dengan Markis Kido.

“Aaah, intinya pemain Indonesia itu jago di permainan ganda. Titik,” kata Lee Yong-dae sambil terkekeh.

Dari analisisnya, Lee Yong-dae melihat ada beberapa negara yang mengandalkan teknik dasar dalam bermain badminton. Seperti Korea Selatan, Jepang, atau Cina, tapi Indonesia ini punya cara bermain berbeda yang lepas dari teknik-teknik dasar seperti tiga negara tersebut.

“Pemain Indonesia itu paling pintar menembak ‘kok’ yang nggak bisa ditebak. Jadi pergelangan tangannya pemain Indonesia ini berbeda. Bisa dibilang lentur sekali. Saya pikir apa ini efek iklim (di Indonesia) ya?” kata Lee Yong-dae berkelakar.

Dengan kelenturan pergelangan tangan tersebut, maka cukup bisa dipahami kenapa pemain badminton Indonesia begitu jago main tipis-tipis di depan net.

Selain Hendra yang sangat andal dalam urusan permainan tipis-tipis di bibir net, jangan lupakan juga Anthony Sinisuka Ginting di tunggal putra yang ahli juga soal permainan kayak gini.

“Net-play mereka luar biasa dan permainannya itu, detail, ditambah lembut banget. Sudah begitu, powernya juga sangat kuat. Drive-nya juga hebat sekali,” kata Lee Yong-dae.

Lee Yong-dae juga berbagi pengalaman, bahwa dirinya kalau melawan pemain Indonesia tidak pernah merasa capek. Staminanya tak terkuras banyak, tapi tetap saja sering kalah. Bisa jadi hal ini terjadi ketika Lee Yong-dae sedang menghadapi Hendra Setiawan.

“Alasannya karena permainan halus itu tadi. Mereka pintar dalam mencetak skor. Kalau pemain Korea suka cetak skor setelah lari sana-sini, tapi Indonesia gayanya berbeda.”

Gaya ini yang sebenarnya merupakan gaya Hendra dan Ahsan bermain. Kalem, pasti.

Lagipula, kalau boleh jujur, menyaksikan Hendra itu tak semenarik ketika menyaksikan Kevin dan Gideon. Minions itu selalu berapi-api, sehingga seru sekali menyaksikannya. Belum dengan permainan nakal Kevin yang suka memancing emosi lawan.

Yah, dibandingkan Kevin, harus diakui, permainan Hendra itu kelewat dingin. Ahsan dulunya memang pemain yang suka meledak-ledak, tapi sekarang jadi jauh lebih kalem.

Hendra dan Ahsan jarang sekali bermain rally panjang. Dikit-dikit, poin. Dikit-dikit, mati. Hanya satu atau dua kali saja terjadi momen-momen keren. Selebihnya ya gitu. Agak membosankan. Meski ya, situasi ini harus dimaklumi karena untuk ngakali faktor usia juga.

Legenda ganda putra Indonesia Tony Gunawan pun punya pandangan yang tak jauh beda. Terutama kalau membandingkan perubahan besar badminton pada eranya bermain dengan era saat ini. Menurut Tony, badminton sekarang lebih fokus pada aspek menyerang. Kecepatan dan fokus jadi peran penting.

Dulu, badminton di arena ganda adalah soal pembagian peran, Tony sebagai pemain bertahan, sedangkan Candra Wijaya (tandemnya ketika juara Olimpiade 2000) lebih menyerang. Sekarang? Semua pemain harus sama-sama jago untuk menyerang.

Itulah kenapa Tony menganggap kalau pemain bertahan seperti dirinya tak akan dapat tempat pada model permainan badminton seperti sekarang. Kecuali…

…Hendra Setiawan.

Sebab, ketika diminta untuk membandingkan dalam sebuah interview (kamu bisa tonton di sini), siapa pemain era sekarang yang paling mirip dengannya? Tanpa pikir panjang Tony Gunawan menjawab…

“Aku pikir aku melihat diriku sendiri—sedikit banyak—seperti Hendra Setiawan. Kalau seperti Kevin (Sukamuljo), kayaknya terlalu eksplosif dan agresif… maksudku setiap reaksinya terlalu cepat. Aku pikir, aku melihat diriku ada pada Hendra.”

“Karena Hendra lebih taktikal, lebih sering menunggu untuk mengantisipasi. Sedangkan Kevin jenis yang terlalu hebat kecepatan reaksinya. Jadi itu sangat berbeda,” kata Tony menilai kehebatan Hendra yang bisa saja tak akan pernah lekang oleh usia.

Paling tidak untuk menggenapi gelar legendanya, sampai Olimpiade Tokyo 2020 mendatang.

BACA JUGA Tak Kenal Jenis Raket Badminton Tanda Tak Sayang atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.

Exit mobile version