Kebijaksanaan Pengeluaran Driver Gocar

driver gocar

“Mas, bisa nggak kalau kira-kira nanti sebelum ke Kafe, nanti saya diampirkan dulu buat jemput kawan saya,” kata saya melalui telepon pada driver Gocar yang baru saja saya pesan.

“Waduh, maaf, Mas. Nggak bisa. Harus sesuai aplikasi je, Mas,” balas driver di seberang sana.

“Nanti ongkosnya saya tambahi, Mas…”

“Oh, kalau begitu bisa.” jawabnya. “Jemput kawannya di daerah mana, Mas? Sejalur enggak?”

“Enggak sejalur sih, Mas. Di daerah Clumprit, deketnya Pasar Rejodani”

“Hah, pasar Rejodani yang Jalan Palagan?”

“Iya, Mas.”

“Wah, jauh itu Mas, nggak bisa kalau gitu.”

“Nanti Mas mau minta tambah berapa, saya kasih, Mas.”

“Oh, kalau begitu bisa.”

Driver yang tampangnya tampak tanggung (nggak tua nggak muda) itu mulai memacu mobilnya untuk menjemput saya.

Saya memang berencana pengin nonton performing band di salah satu kafe langganan saya di bilangan Mantrijeron Jalan Parangtritis bareng pacar. Orang yag bilang kawab saya itu sebenarnya adalah pacar saya. Biasanya kami motoran, tapi karena hujan saat itu tak bisa diajak kerja sama, mangkanya saya putuskan buat nanti Gocar.

Abang driver kebanggaan kita akhirnya datang dengan kecepatan yang tiada diduga-duga.

“Mas Agus Mulyadi?”

“Iya, Mas…”

“Mari…”

Saya masuk dan langsung duduk di kursi depan. Mobil kemudian mulai membelah aspal Jalan Kaliurang. Hujan yang turun semakin deras membuat saya semakin mengagumi keputusan saya untuk naik taksi online.

“Asli mana, Mas?” Kata saya mencoba membuka percakapan.

“Asli Jogja, Mas. Belakang Amplaz.”

Kami kemudian mulai ngobrol soal pekerjaan kami masing-masing. Ia bercerita tentang pengalaman-pengalaman menarik selama menjadi seorang driver Gocar. Sementara sebagai timbal balik, saya bercerita tentang kesibukan saya sebagai seorang penulis dan pemimpin redaksi di sebuah media online.

Obrolan mengalir lancar, sampai tak terasa, kami sudah sampai di kontrakan pacar saya. Pacar saya sengaja saya suruh duduk di belakang dan saya di depan, semata agar suasana tidak menjadi seperti seorang supir yang mengantarkan pasangan bapak dan nyonya majikannya.

Saya kemudian melanjutkan obrolan kami tentang kesibukan menjadi driver Gocar.

“Njenengan nge-Gocar sudah lama, Pak?”

“Yah, sudah lama, Mas. Sudah dua-tiga tahunan ini, lah.”

“Wah, berarti sudah mengalami masa-masa kejayaan Gocar dong, Pak?”

“Lha iya, Mas…”

Ia kemudian mulai antusias bercerita tentang masa-masa kejayaannya sebagai seorang driver Gocar. Seperti diketahui, dua-tiga tahun lalu, atau saat jumlah armada Gocar masih belum banyak, penghasilan Driver Gocar memang sangat mengesankan dan menjanjikan. Saking menjanjikannya, sampai banyak orang yang kemudian berani kredit mobil dan memutuskan gabung jadi driver.

“Dulu pas masa-masa awal katanya nge-Gocar bisa dapat banyak ya, pak?”

“Walah Mas, dulu itu, seminggu saya bisa dapat lima juta. Sebulan itu minimal pegang lima belas,” ujarnya bersemangat.

“Edian, buanyak banget, Pak.”

“Iya, itu dulu, sebelum jumlah armadanya banyak, lha sekarang drivernya semakin membanjir, penghasilannya jadi semakin sedikit. Sekarang cari tiga-empat juta aja susahnya setengah modiar.” Kata driver kebanggaan kita ini. “Dulu, uang dua ribu atau lima ribu itu cuma saya taruh meja. Lha kalau sekarang, Mas… Heeeeem, lecek pun saya rawat.”

“Beda banget ya, Pak. Dulu saya dengar saking banyaknya driver yang merasa bisa dapat banyak duit, sampai banyak yang kemudian berani kredit mobil sendiri.”

“Lha saya ini salah satunya!”

“Oalah, sampeyan juga kredit, Pak?”

“Iya, dan sekarang belum lunas.”

“Padahal kreditannya berapa, Pak, per bulan?”

“Lima juta,” jawabnya sembari mengacungkan lima jarinya.

Saya menengok pacar saya sebentar. Ia tampak sibuk main hape sebab saya memang sibuk sendiri dengan obrolan saya dengan Pak driver.

“Tapi walau begitu,” kata pak Driver, “Saya ndilalah kok ya tetap bisa bayar cicilan. Ya pokoknya bagaimana caranya.”

“Kok bisa, Pak? Katanya cicilannya lima juta. Tapi penghasilan sampeyan kan cuma tiga-empat juga, itu pun katanya sulit.”

“Ya ndilalah ada saja caranya. Mbuh istri dapat proyek masak lah, mbuh dicarter sama orang lah, pokoknya ada saja caranya.”

“Wah, Gusti Allah ki memang dahsyat ya, Pak.”

“Rumusnya satu, Mas.”

Saya penasaran dengan yang satu ini. Saya memasang kuping saya dengan seksama. “Apa, Pak, rumusnya?”

“Jatah belanja istri jangan pernah dikurangi, kalau perlu ditambah. Itu yang membuat saya jadi semangat kerja, semangat cari obyekan yang lain.”

Saya mantuk-mantuk dan langsung menengok pacar saya. Berharap semoga ia tidak mendengar apa yang baru saja Pak Driver katakan.

Alhamdulillah, ia ternyata sibuk dengan hapenya.

Exit mobile version