Kasus Anak Rohis Teror Siswi Tak Berjilbab, Cocok Dijuduli ‘Senjakala si Kompas Moral’

rohis jilbab sma sragen teror intoleransi radikalisme agama islam mojok.co

rohis jilbab sma sragen teror intoleransi radikalisme agama islam mojok.co

MOJOK.CO Kasus intoleransi naik dari waktu ke waktu. Tapi kasus intoleransi yang dilakukan anak Rohis di SMA Sragen ini unik dan ironis.

Untuk memahami kasus intoleransi di Sragen ini, sekarang duduk dan coba bayangkan skenario ini di kepalamu.

Kamu baru pulang dari kerja ketika mendapati anak perempuanmu menangis. Pelan-pelan kamu bertanya, ada apa?, dan dia menunjukkan isi chat di hapenya. Kamu terkejut, anakmu diteror orang anonim hanya karena tidak mengenakan jilbab di sekolah.

Kamu berusaha tenang dan meminta anakmu mengabaikannya. Tapi makin hari teror makin gencar. Apa kamu akan tinggal diam? Mestinya sih tidak. Lalu kamu mencoba berkomunikasi dengan si pengirim pesan. Alih-alih menemui pencerahan, justru kapasitasmu sebagai orang tua malah dihujat.

Sudah bisa membayangkannya? Kayak gitu kira-kira yang dirasakan Agung, orang tua siswa SMAN 1 Gemolong, Sragen, Jawa Tengah yang tidak terima anaknya diteror semata karena tidak mengenakan jilbab. Yang menjadi pelaku kasus intoleransi di Sragen? Teman satu sekolahnya, anak-anak di organisasi masjid sekolah Rohis (Rohani Islam).

Sebagai anak sekolah, dirundung teman sendiri itu sialnya sial.

Agung melabrak ke sekolah karena tidak terima anaknya diteror pesan bernada pemaksaan menggunakan jilbab. Ia mulai kehilangan kesabaran semenjak dibilang orang tua tidak tahu aturan dan tidak paham dalil agama oleh si pengirim pesan.

Agung sempat mengajak si pengirim pesan untuk ketemuan, namun malah dibilang, “Buat apa ketemu orang tua yang tidak paham dalil agama.” Akhirnya Agung memilih membawa semua bukti percakapan ke sekolah dan minta masalah ini diselesaikan para guru.

Pertemuan diadakan. Yang hadir, kepala sekolah, pengurus Rohis, kepala dinas pendidikan. Agung menyampaikan semua yang ia alami. Si pengurus Rohis mengaku memang mereka yang mengirim pesan tersebut. Kepala sekolah cuma bisa bilang kalau mereka kecolongan.

Saya jadi teringat masa SMA. Selalu saja ada orang atau gerombolan yang dianggap preman di sekolah. Orang-orang yang dianggap penguasa sekolah tersebut sering berbuat seenaknya dan memaksa orang lain menuruti keinginan mereka hingga di titik yang di luar nalar. Saya bahkan masih ingat, mau ngambil tendangan bebas aja harus minta izin daripada kena masalah.

Anak-anak Rohis ini nggak berbeda dengan preman sekolah saya jaman dulu. Mereka memaksa orang menuruti apa yang mereka yakini benar. Bedanya, preman sekolah memakai kekerasan, anak Rohis pakai dalil dan modal keras kepala.

Dulu sih saya menaruh respek tinggi pada anak-anak Rohis. Mereka tetap bisa membaur dengan siswa yang dianggap nakal dan tidak memaksakan pandangan mereka. Bahkan anggota band masa sekolah saya anak Rohis. Preman-preman sekolah pun punya hubungan baik dengan mereka.

Di situ tuh ironinya. Anak Rohis yang dianggap kompas moral sekarang malah jadi preman itu sendiri.

BACA JUGA Google Memata-matai dan Menjual Data Kita tapi Kita Merasa Baik-baik Saja dan artikel menarik lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version