Jurus Mempertahankan Harga Diri di Era Konsumtif

Jurus Mempertahankan Harga Diri di Era Konsumtif

Jurus Mempertahankan Harga Diri di Era Konsumtif

Bagi manusia, harga diri adalah hal yang sangat penting untuk dijaga. Itulah kenapa, manusia selalu punya seribu kecakapan dan cara untuk melindungi harga dirinya dari berbagai serangan.

Di era yang sangat konsumtif ini, salah satu serangan bagi harga diri manusia yang acapkali telak, tak bisa disangkal, adalah berupa barang-barang bagus dan menarik yang sayangnya kerap tak bisa dijangkau harganya.

Bayangkan, ketika teman-teman sebaya semuanya punya hape smartphone dan bisa saling berbagi jokes di grup wasap, kita harus menerima kenyataan bahwa hape kita ternyata masih berupa hape jadul yang bahkan tidak bisa untuk wasapan. Tentu bakal ada secuil harga diri yang terasa tercongkel begitu saja. Sejenis harga diri yang terluka karena tuntutan pergaulan anak muda.

Atau ketika seorang lelaki sedang berusaha mendekati perempuan idamannya. Ia berusaha melakukan banyak hal, termasuk mengantar-jemput si perempuan berangkat kerja naik motor. Dan pada suatu ketika, si perempuan menolak untuk dijemput karena ternyata ia sudah mendapat tumpangan dari rekan kerjanya yang rupa-rupanya bermobil kinclong lengkap dengan jok mobil yang empuknya ngaudubillah setan. Walau itu adalah hal yang sebenarnya lumrah, namun tetap saja ada harga diri yang tercoreng gara-gara perkara sepele tersebut.

Ada banyak contoh cerita tentang bagaimana kondisi dan ketahanan ekonomi seseorang memengaruhi harga dirinya.

Kendati demikian, ada pula banyak kisah tentang bagaimana seseorang bertahan mempertahankan harga diri dari gempuran serangan barang-barang yang ia tak sanggup membelinya.

Namanya juga manusia, mereka selalu punya cara yang ulet dan unik untuk bisa melindungi harga diri mereka, salah satunya tentu saja dengan menerapkan jurus membo-membo, alias berpura-pura.

Saya jadi ingat dengan salah satu materi lawakannya Cak Lontong tentang kemesraan keluarga.

Komedian jebolan ITS itu, dalam sebuah show, pernah mengaku jika dirinya selalu menggandeng mesra istrinya kalau mereka sedang bepergian ke mana saja, termasuk saat jalan-jalan ke mall.

“Istri saya itu saya gandeng terus kesannya memang romantis, padahal sebenarnya bukan karena saya romantis, tapi karena saya pengin ngirit. Sebab kalau istri saya saya biarkan lepas dari tangan saya, maka dia bakal belanja nggak karu-karuan,” terangnya yang kemudian disambut tawa para penonton yang mendengarkan lawakannya itu.

Kendati dalam bentuk humor, namun jurus berpura-pura ala Cak Lontong tersebut toh nyatanya kerap digunakan oleh banyak orang.

Kita tentu saja tak asing dengan kelakuan orang-orang yang masuk ke outlet pakaian di mall untuk sekadar melihat-lihat koleksi pakaian yang dijual, berharap siapa tahu bakal tertarik dengan salah satu item untuk kemudian membelinya.

Ketika ia tanya harganya kepada penjaga outlet dan disebutkan bahwa harganya lima juta rupiah per stel-nya, si pengunjung tentu saja kaget. Ia tentu saja tak menyangka bahwa harganya semahal itu. Kondisi tersebut membuat ia pasti tak akan mampu membelinya. Namun tentu saja ia akan menyembunyikan kekagetannya dan pasang tampang biasa. Padahal jantungnya kembang-kempis.

Dan alih-alih meninggalkan outlet, ia justru berpura-pura berkeliling melihat koleksi yang lain sembari sok-sokan membandingkan item yang tadi harganya lima juta dengan item yang lain padahal ia paham betul bahwa ia tak punya uang sebanyak itu.

Barulah saat si penjaga lengah, ia dengan perlahan beringsut mendekat ke pintu keluar sambil pasang tampang seolah tak tertarik dengan item-item yang dijual, tak butuh waktu lama sampai kemudian ia benar-benar melenggang keluar dari outlet.

Saya yakin, Anda juga pernah melakukannya. Hahaha. Itu hanya sebagian kecil dari kecakapan manusia untuk mempertahankan harga dirinya.

Namun, ada pula kisah-kisah orang yang terpaksa harus bertarung dengan keras karena salah strategi dalam menghadapi gempuran masalah harga diri ini. Dan itu pun masih tetap kalah. Saya salah satunya.

Suatu kali, saya ke Alfamart. Maksud hati mau beli nugget sama pemotong kuku. Begitu masuk, langsung lihat ke pojokan, celingak-celinguk, dan ternyata memang hanya ada freezer buat es krim, tiada freezer buat nugget.

“Mas, nuggetnya ndak ada ya?” tanya saya kepada mas kasir

“Wah, nggak ada je mas,” jawabnya ramah

“Kalau pemotong kuku, ada nggak?”

“Ada mas, tapi maaf, harganya mahal,”

Dalam hati, saya mangkel, jengkel, merasa dihinakan. Dikiranya saya ini miskin banget apa, sampai mau beli pemotong kuku saja sampai harus diultimatum kalau harganya mahal.

“Memangnya berapa sih, mas?” Tanya saya agak jengkel dengan nada yang cukup menantang. Mau bagaimana lagi. Sekali harga diri ditantang, pantang surut ke belakang.

“Dua puluh tiga ribu, Mas.”

Saya kaget, mak jenggirat. Wah, Bajingan. Ternyata memang mahal harganya. Saya pikir semahal-mahalnya itu nggak bakal lebih dari sepuluh ribu. Ternyata kok malah dua puluh tiga ribu. Trembelane. Tentu saya nggak jadi beli. Lha dua puluh tiga ribu masa cuma buat pemotong kuku, sangat tidak ekonomis dan pro kerakyatan, padahal dengan harga yang sama, duit segitu sudah dapat beras dua setengah kilo.

Pada akhirnya, saya jadinya beli satu buah es krim plus wafer merk Superman. Dua item yang sebenarnya sama sekali saya tidak berniat untuk beli. Total habis 14 ribu. Item yang seharga 14 ribu itu terpaksa harus saya beli sebagai perisai harga diri saya. Mosok sudah masuk Alfamart, tapi nggak jadi beli apa-apa, kan malu-maluin.

Saya keluar dari Alfamart dengan tampang lesu dan emosi. Hari itu, harga diri saya dikalahkan oleh satu unit pemotong kuku.

Exit mobile version