Jangan Suka Ngebut, Nenek Moyang Kita itu Pelaut, Bukan Pembalap

ngebut

Saya tak pernah paham dengan jalan pikiran orang yang suka memacu motornya dengan sangat kencang di jalan raya. Ini mungkin pendangan yang sangat konvensional, namun, memang sejak pertama kali bisa mengendarai motor hasil belajar pakai motor teman sampai akhirnya bisa beli motor sendiri, saya hampir tak pernah memacu motor di atas kecepatan 100 km per jam.

Sejauh ingatan jernih saya, kecepatan tertinggi dalam rekor berkendara saya adalah 90 km per jam. Itu pun saya tempuh dari Magelang ke Jogja dalam keadaan jalanan yang sangat sepi karena masih sangat pagi.

Saya terbiasa melaju dengan kecepatan antara 40-70 km/jam. Kecepatan tersebut seperti sudah menjadi default bagi saya dan motor saya.

Boleh jadi, saya memang pria yang pengecut. Saya mengakuinya. Entah kenapa, tiap kali saya memacu motor dengan kecepatan lebih dari 80 km per jam, jantung saya langsung berdegup dengan sangat kencang.

Kadang, dalam keadaan terburu-buru, misal sedang mengejar jam tayang film bioskop, pacar saya menyindir saya karena kepengecutan saya yang tak berani memacu motor lebih kencang.

“Kamu nggak malu po, Mas, sama bapak-bapak gojek di depan?” Ujarnya sembari menunjuk driver Gojek yang dengan mudahnya menyalip saya dengan kecepatan yang sebenarnya bahkan tak terlalu kencang.

Salah satu hal yang paling membuat saya tak berani melaju kencang tentu saja adalah perkara takut bakal celaka. Dari dulu, saya meyakini bahwa berkendara dengan kencang adalah jalan pintas paling cepat menuju kecelakaan.

Dengan kondisi yang demikian, saya menjadi sangat mudah benci dengan orang-orang yang suka mengebut di jalanan, utamanya orang-orang yang biasanya bermotor cc besar yang merasa bahwa jalanan adalah sirkuit pribadinya.

Tentu ini bukan soal saya cemburu dengan keberanian mereka (atau kebodohan mereka?), ini lebih pada rasa ketakutan saya kalau-kalau saya bisa ikut kena celaka karena kendaraan mereka yang melaju kencang.

Saya berkali-kali mendapati kawan yang kena celaka karena sebab yang satu ini. Entah menabrak, entah ditabrak, entah menyerempet, entah diserempet.

Di sebuah ruas jalan tak jauh dari kosan saya, beberapa waktu yang lewat, seorang mahasiswi meninggal dunia karena ditabrak oleh pengemudi Ninja 250 yang dikemudikan dengan kecepatan tinggi oleh seorang anak SMP. Saking dahsyatnya kecelakaan, motor Ninja yang dikendarai oleh si anak SMP sampai terbelah dua.

Baik si mahasiswi maupun si bocah SMP sama-sama meninggal dunia.

Setiap kali saya melewati jalan tersebut, kemantapan saya untuk selalu berhati-hati di jalan dan untuk selalu melaju dengan kecepatan yang wajar semakin menebal.

Sayang, seringkali itu tak cukup. Kita sudah hati-hati, tapi kalau orang lain tidak, maka potensi kecelakaan tetaplah ada.

Saya beberapa kali hampir terserempet bahkan tertabrak oleh pengendara motor besar yang memacu motornya dengan kecepatan yang susah dinalar, lengkap dengan suara knalpotnya yang provokatif itu. Dan itu semakin menmbah kebencian saya pada pengendara model begitu.

Di grup ICJ (Info Cegatan Jogja), saya pernah menemukan postingan tentang kecelakaan yang disebabkan oleh pengendara yang memacu motornya dengan sangat kencang.

Banyak anggota grup yang menulis komentar menggoblok-goblokkan si pengendara. Dan entah kenapa, saya bahagia membaca komentar-komentar tersebut. Saya merasa seperti punya banyak kawan.

Seorang anggota kemudian memberikan komentar yang membuat saya susah untuk tidak membalasnya.

“Rasah nyalah-nyalahke sing kecelakaan, jenenge we alangan,” begitu tulisnya.

Tak butuh berpanjang-panjang, saya pun langsung membalas komentar tersebut dengan balasan yang agak panjang. 

“Ngene lho, nde… Sing jenenge alangan ki nek sing kecelakaan wis berusaha tertib, berusaha patuh, nganggo helm, le mlaku alon-alon ngati-ati, ora banter. Tapi ndilalah tep iseh ketemu kecelakaan, mbuh le keblender pasir po kejeglong dalan.

Lha nek sing kecelakaan kuwi seko awal wis ngebut ugal-ugalan, rumongso dalan raya kuwi sirkuit sentul, kuwi jenenge hudu alangan. Tapi nggolek memolo.”

Saya memang meyakini, bahwa orang yang ngebut ugal-ugalan itu sedari awal memang cari celaka. Jadi kalau ndilalah mereka jatuh atau kecelakaan, bawaannya jadi bingung, mau nolongin apa enggak, sebab sejatinya, mereka memang sedang menemukan apa yang mereka cari.

Takutnya kalau kita nolongin, kita malah dianggap mengganggu.

Atau mungkin mereka memang sedang mencoba mendekatkan diri dengan Tuhan. Sebab, dalam berkendara, semakin ngebut, semakin dekat ia dengan Tuhan.

Saya jadi ingat dengan kalimat yang begitu lucu dan menggelitik.

“Di Indonesia ini, hanya orang goblok yang suka ngebut, sebab dia nggak paham, bahwa nenek moyang orang Indonesia itu pelaut, bukan pembalap.”

Atau kalimat lain yang sering dipasang di plang jalan kelurahan:

“Boleh ngebut asal dituntun.”

Exit mobile version