Jangan Ajari Anak Bahaya HIV/AIDS, Ajari Mereka Selibat demi Agama

Kandhani Sex Education Mojok

Kandhani Sex Education Mojok

[MOJOK.CO] “Kalau anak-anak yang diajari pemakaian kondom bisa seks bebas, anak-anak yang diajari pakai helm bisa balapan liar.”

Mencemaskan! Kasus HIV/AIDS di Indonesia meroket cepat. Perilaku dan gaya hidup bebas telah membuat kasus ini melaju kencang di Indonesia. Ini adalah salah satu berita pembuka yang saya baca di situs Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Saya membacanya dua kali, tidak, tiga kali untuk kemudian bisa manggut-manggut, meresapi betapa bijaksananya kalimat itu.

Kasus HIV/AIDS di Indonesia meroket karena perilaku dan gaya hidup bebas.

Hanya orang-orang dengan makrifat tinggi yang bisa mencerna kalimat itu. Bahwa sesungguhnya, persebaran dan pertumbuhan kasus HIV/AIDS di Indonesia berkembang luas bukan karena minimnya pemahaman tentang penyakit ini dan upaya pencegahannya, tapi karena gaya hidup bebas. Cuma hidup bebas ini yang belum dijelaskan, hidup bebas seperti orang-orang Amerika sana atau hidup bebas seperti orang-orang tanpa utang di pedalaman Afrika?

Bukan apa-apa, orang-orang di Afrika sana yang sering dianggap primitif tapi sebenarnya mundur karena dijajah kolonial itu, juga merupakan masyarakat yang rentan terhadap penyebaran HIV/AIDS. Sudah banyak betul kampanye tentang pemakaian kondom, bahkan pendiri Microsoft Pak Bill Gates mendorong penemuan penggunaan kondom yang tepat guna, murah, dan enak dipakai untuk menekan angka penderita HIV/AIDS.

Apa ya ngefek? Tidak, kata Paus Benediktus XVI. Pada 2009 ia mengatakan bahwa penggunaan kondom akan membuat penyebaran penyakit itu semakin parah. Padahal Afrika memiliki 67% populasi global penderita HIV atau sekitar 32,9 juta orang. Pada 2007 tiga perempat kematian akibat AIDS terjadi di benua itu. Lha terus apa dong cara mengatasi HIV? Dengan hidup selibat dan menjaga diri sampai pernikahan, kata Paus. Ini … benar belaka.

Di Indonesia gimana? Diestimasikan pada 2014 akan terdapat 501.400 kasus HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS sudah tersebar di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Penderita terbanyak ditemukan pada usia produktif, yaitu 15 sampai 29 tahun. Ya Ampun, apa jadinya kalau generasi penerus bangsa seperti ini? Gimana mereka jadi muhajid ISIS kalau kena AIDS?

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Papua tidak lagi menjadi provinsi yang memiliki jumlah kasus HIV/AIDS paling banyak, meski untuk prevalansi per penduduk masih yang tertinggi. Justru di Jawa Barat jumlah kasus penderita HIV/AIDS menduduki peringkat pertama. Jabar mencapai 3.213 kasus, disusul DKI Jakarta 2.810 kasus, Jawa Timur 2.753 kasus, kemudian keempat Papua dengan 2.605 kasus.

Ini jelas penghinaan terhadap umat. Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur itu kan kantung-kantung umat. Berapa banyak pesantren, ulama, agamawan, sampai ustadz-ustadz yang tiap hari teriak bahaya seks bebas? Bayangkan, kita bisa mendatangkan tujuh juta orang untuk melawan penista agama, eladalah, malah halaman belakang sendiri diisi penderita HIV/AIDS. Kita harus mengganyang perilaku seks bebas, lawan komunis liberal yang mengajarkan paham seks sebelum nikah. Masak kalah sama provinsi yang diisi sama orang-orang kafir yang kasus HIV-nya bisa ditekan lewat kondom?

Jangan sampai ya nanti kasus HIV ditekan karena sosialisasi kondom, bukan karena iman dan takwa. Apa coba kata dunia nanti kalau misalnya di acara WHO perwakilan Indonesia ngomong, “Di negara kami HIV/AIDS bisa dilawan melalui pendidikan kesehatan reproduksi yang baik dan sosialisasi seks yang aman menggunakan kondom.” Apa kata dunia nanti, negara dengan umat terbesar di dunia, melawan penyakit dengan kondom, bukan dengan iman dan takwa? Malu sama Turki.

Gini nih kalau nggak nurut. Udah dibilangin penyebaran penyakit kaya gini obatnya iman dan takwa. Padahal dulu pada 2012, Ketua DPR Marzuki Alie menyarankan agar sosialisasi penggunaan kondom tidak dilakukan secara terbuka di depan publik. Menurutnya, yang juga penting dari sosialisasi kondom adalah pendidikan iman, akidah, dan hukum. “Jangan sampai tanggapan anak-anak kita: wah ini, kita bebas. Kan begitu tanggapannya nanti.”

Pada 2013 Majelis Ulama Indonesia menentang kampanye penggunaan kondom bagi kalangan umum maupun pelaku seks berisiko yang akan digalakkan oleh Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi saat itu. “MUI tidak setuju dengan adanya penyelenggaraan Pekan Kondom Nasional itu. Hal itu bisa disalahgunakan, dikhawatirkan terjadinya seks bebas pada remaja,” jelas dia.

Pada 2015, Pemerintah Surabaya melalui Dinas Perdagangan dan Industrinya mengeluarkan surat edaran pembatasan peredaran alat kontrasepsi. Langkah dilakukan, menyusul laporan penjualan paket Valentine’s Day berupa cokelat serta kondom. Dalam surat disebutkan, pembatasan merupakan “upaya untuk menjunjung tinggi nilai luhur kebudayaan Indonesia, serta menjaga calon penerus bangsa.” Lantas bagaimana sebenarnya persebaran kondom di Indonesia?

Bupati Luwu Andi Mudzakkar pada 2015 mengatakan, penjualan kondom secara bebas dapat disalahgunakan. “Ditakutkan bisa dibeli bebas oleh remaja-remaja kita sehingga kami putuskan untuk melarang kondom dijual bebas, khususnya di toko-toko ritel,” katanya. Ini bukan pertama kalinya kondom dianggap sebagai penyebab atau mendorong perilaku seks terbuka. Untuk itu saya percaya pelarangan sosialisasi kondom harus dihentikan untuk mencegah seks bebas, yang nantinya berujung pada berhentinya penyebaran HIV/AIDS.

Gimana nggak, orang-orang kalau diajari pakai kondom, nanti malah pengin seks bebas. Sama dengan orang kalau diajari pakai helm, walah, bisa ngebet balapan liar. Ini kenapa saya kira kita perlu menghentikan pendidikan agama, khususnya bagian perilaku setan. Jangan sampai sosialisasi tentang akhlak yang baik malah berujung mendorong anak-anak untuk berperilaku seperti setan. Lha kan bisa runyam.

Exit mobile version