Jadi Pegawai atau Pengusaha, Dilema dalam Quarter Life Crisis

MOJOK.COMenjadi pegawai atau pengusaha adalah dilema dalam quarter life crisis. Tidak perlu mendaku mana yang terbaik, toh semuanya ada fungsinya masing-masing.

Seleksi CPNS, yang katanya dibuka dengan lowongan terbanyak sepanjang masa itu, plus quarter life crisis yang sedang dialami oleh kita yang berusia 25 tahunan, sukses membuat kebimbangan. Sebab, bagi kita yang sedang dalam usia meniti karier dan sedang mengalami kebingungan jalan mana yang akan kita tapaki dengan serius, berbagai jenis pekerjaan di depan mata memang terasa semakin tidak jelas. Mana yang sepantasnya akan kita pilih.

Pasalnya memilih pekerjaan itu seperti sedang memilih jalan kehidupan. Eaaak. Apakah kita akan bekerja yang sekedar sesuai passion, ataukah kita juga membutuhkan pengakuan dari orang lain bahwa pekerjaan yang kita pilih adalah life goals banget. Nasihat dari keluarga maupun rekan sejawat pun turut mengusik pikiran kita. Kita kalut, lantas memilih membaca buku, “Cara Cepat Menjadi Kaya Raya.” Biar segera bisa pamer kekayaan pas reuni SMA. Lalu, kebutuhan eksistensi kita terhapus sudah.

Katanya sih, kalau bisa usaha sendiri, hidup kita akan lebih santai. Tapi, katanya juga, kalau kita mau jadi pegawai, bakalan terjamin penghasilannya. Duh, bingung. Atau gimana kalau kita kerja jadi pegawai dulu, biar punya modal dan pengalaman yang cukup untuk mulai membuka usaha? Hayoloh, bingung kan? Iya? Ho oh? Jadinya, pilih jadi pegawai atau pengusaha?

Dalam situasi yang masih bingung dan rindu penghasilan tinggi supaya cepat kaya raya dan bisa memberi santunan di mana-mana tersebut, akhirnya kita berusaha memutuskan sesuatu. Memutuskan satu pekerjaan yang kita rasa adalah jalan terbaik menuju kesuksesan kita. Tidak sekedar sukses dalam materi, namun juga berhasil menjadi inspirasi bagi generasi penerus bangsa. Masuk majalah Forbes. Uh, sungguh sebuah pencapaian yang paripurna.

Lantas, ketika kita telah memilih satu pekerjaan yang dirasa telah memberi jalan untuk mencapai life goals tersebut, kita berusaha memantapkan diri sendiri, bahwa pilihan pekerjaan yang kita pilih bukanlah sesuatu yang salah. Salah satu hal untuk meyakinkan diri sendiri adalah dengan menganggap pekerjaan yang dipilih oleh teman kita yang lain adalah tidak sebaik yang kita pilih.

Lebih jauh lagi, lantas kita menjelek-jelekkan pilihan hidup orang lain. Hanya karena, kita ingin menenangkan diri sendiri, memberi kepercayaan diri sendiri, memberikan kekuatan bahwa pilihan tersebut bukan sesuatu yang salah. Iya, pokoknya yang lain salah jalan, hanya kita yang pantas meraih kemenangan.

Untuk kita yang memilih untuk merintis sebuah usaha, berusaha meyakinkan diri kita bahwa jalan menjadi pengusaha adalah kita banget. Sebuah passion dan bakat yang telah mengalir dalam darah kita. Bahwa dengan menjadi pengusaha, kita bakal membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Mengamini perkataan—yang diucapkan berulang—Prabowo dan Sandiaga bahwa lapangan kerja di Indonesia sangat minim sehingga mengakibatkan banyak pengangguran.

Ntah disadari atau tidak, lantas mengolok-olok teman sejawat kita yang memilih menjadi pegawai. Ntah PNS, BUMN, atau pegawai swasta. Menganggap bahwa hidup mereka akan sangat kasihan sekali. Sebab, bakal dirundung oleh aturan yang dibuat orang lain. Tidak bebas dalam menentukan kehidupannya. Sebuah kehidupan yang dianggap sangat membosankan dengan rutinitas yang itu-itu saja dan akan dilalui sepanjang hidupnya hingga usia pensiun tiba.

Sebaliknya, bagi kita yang memilih menjadi pegawai, untuk meyakinkan diri kita sendiri, kita menganggap dengan menjadi pegawai kita akan memiliki kestabilan penghasilan serta jenjang karier yang jelas. Toh, pada dasarnya kita memang berkepribadian dengan superego tinggi misalnya. Sehingga mudah taat dengan aturan yang ada. Lagian, kita juga suka dengan situasi yang minim risiko dan ada kepastian—meski kepastian darinya tidak dapat lagi diharapkan.

Lantas, tanpa disadari kita menganggap bahwa seseorang yang memilih menjadi seorang pengusaha adalah orang yang kasihan sekali. Sebab, mereka tidak memiliki penghasilan yang pasti setiap bulannya—tergantung usaha serta kondisi pasar. Selain itu, mereka pun tidak benar-benar memiliki waktu untuk beristrirahat, sebab dianggap tidak memiliki pembagian jam kerja yang jelas.

Gimana, enak jadi pegawai atau pengusaha?

Begini, Sayang. Kita tidak dapat membandingkan, mana yang lebih baik antara menjadi pegawai atau pengusaha. Lha mbok kira, kalau semuanya jadi pengusaha, lah yang ngurusin negara nanti siapa? Yang ngurusin KTP mu pas hilang siapa kalau bukan pegawai catatan sipil? Yang ngurusin pas kamu nikah nanti siapa kalau bukan pegawai KUA? Lagian, kamu kira kalau jadi pengusaha, kamu kira nggak butuh pegawai buat bantuin usahamu itu?

Begitu pula sebaliknya. Kalau semuanya jadi pegawai, lantas siapa yang bakalan jualan gorengan—yang enak dicemil sambil kerja itu? Siapa yang bakal nyediain baju-baju kita yang style-nya cepet banget berubahnya? Ya kali, negara mau ngurusin masalah-masalah sedomestik itu? Lagian, kalau nggak ada pegusaha, nanti siapa yang bakal membuka lapangan kerja baru? Masak semuanya mau jadi PNS?

Udah, ya, nggak perlu juga menganggap kalau jadi pegawai pasti bakal makmur sampai hari tua. Tak perlu juga mengganggap bahwa menjadi pengusaha itu ya pasti berhasil, kaya raya dan hidup bergelimang harta. Semua tetap punya enak dan nggak enaknya masing-masing.

Gitu ya, Sayang. Kita nggak bisa men-judge pekerjaan mana yang lebih baik. Selama itu memang memberikan kebermanfaatan bagi orang lain. Lagian, sudah saatnya kita berhenti berpikir bahwa pegawai—apalagi yang negeri—lebih baik dari pengusaha. Ataupun seorang pengusaha lebih baik dibandingkan menjadi pegawai—apalagi yang swasta di start up nggak jelas lagi. Karena sejatinya pekerjaan itu adalah baik asalkan dihasilkan dengan cara yang halal. Sebab, sejelek-jeleknya pekerjaan, adalah mereka yang memilih untuk menipu, mencuri, dan tidak bekerja.

Eh, ngomong-ngomong apa kabar yang jadi pegawai sekaligus pengusaha, ya?

Exit mobile version