Prinsip ‘Parenting’ versi Gus Baha: Bikin Anak Mengidolakan Orang Tuanya

Bikin Anak Mengidolakan Orang Tuanya

Bikin Anak Mengidolakan Orang Tuanya

MOJOK.COAda yang unik dari cara Gus Baha dalam mendidik anak-anaknya. Prinsipnya sederhana: buatlah situasi agar anak mengidolakan orang tuanya.

Apa pencapaian terbesar orang tua terhadap anaknya? Bisa ngumpulin duit 100 juta sebelum ulang tahun ke-25? Keterima PNS? Atau lolos Tes Wawasan Kebangsaan?

Kalau kamu menanyakan itu pada KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau biasa disapa Gus Baha, maka jawaban yang bakal kamu dapat tidak bakal muluk-muluk. Sederhana.

Ketika anak bisa salat sendiri, mengucap takbir untuk mengawali salat, atau bisa melantunkan bacaan-bacaan ketika salat, itu semua sudah menjadi pencapaian spesial bagi Gus Baha.

“Saya melatih anak saya salat. Sudah salat, ‘Allahu Akbar’. Dan bagi saya ‘Allahu Akbar’ itu kalimat yang spesial. Anak saya sujud. Ya sudah, membaca subkhana robbial a’la, itu bagi saya spesial,” kata Gus Baha seperti dilansir dari Santri Gayeng.

“Sesuatu yang spesial itu harus dipertahankan,” terang Gus Baha lagi.

Nah, cara mempertahankan keimanan atau kebiasaan seperti ini harus diperhatikan betul oleh orang tua. Tidak hanya oleh orang tua yang muslim, tapi orang tua seluruh dunia. Untuk mendidik anak yang baik, orang tua jangan sampai menciptakan rasa kecewa ke anak.

“Minimal, seorang anak jangan kecewa sama bapaknya. Kalau anak itu suka jajan, maka belikan jajan. Kalau dia suka makan enak, ya kasih makan enak,” kata Gus Baha.

“Tapi semuanya ini demi mengawal kalimat tauhid dan kebenaran-kebenaran Islam yang (sedang) kamu tanamkan,” tambah Gus Baha.

Bukan bermaksud memanjakan anak, dalam usia yang masih sangat dini, sangat berbahaya jika seorang anak sampai punya pikiran merasa kecewa dengan bapaknya, atau orang tuanya.

“Jangan sampai kamu jadi kiai zuhud, anak dikekang, kemudian anak ini pertama naik sepeda motor dipinjemi temannya yang nggak salat. Pertama kali nonton tv juga dipinjemi tetangga yang nggak salat. Sampai anak ini mengidolakan keluarga yang tidak salat,” jelas Gus Baha.

Hal ini bisa saja terjadi ketika anak dikekang luar biasa oleh orang tuanya. Bermain dibatasi, menonton tv dilarang sama sekali, jajan tidak pernah diperbolehkan. Pada tahap seperti itu, seorang anak bisa merasa trauma dan kecewa dengan keluarganya—terutama kalau si anak pernah mencicipi hal-hal begitu dari orang lain.

Dan ketika seorang anak merasa kecewa dengan keluarganya, omongan orang tuanya bakal tidak didengar, justru omongan orang lain bakal lebih diperhatikan, dituruti, dan dijalankan.

“Kalau udah besar, (ketika) anaknya nakal, itu semua bisa terjadi karena sejak kecil tak pernah mengidolakan bapaknya sendiri,” kata Gus Baha.

Bahkan Gus Baha menceritakan riwayat bagaimana Nabi Muhammad diam saja ketika Hasan dan Husein, cucunya, sering menaiki punggung Nabi ketika salat. Bahkan Nabi Muhammad masih bisa melanjutkan salat meski tubuhnya dijadikan arena bermain untuk cucu-cucunya.

“Bahkan semua ulama rawi mengatakan, ketika Malaikat Jibril janjian dengan Nabi, Jibril tidak bisa masuk karena di kolong tempat tidur Nabi ada jirwan. Jirwan itu anak anjing. Karena Hasan Husein itu main sama anjing,” kata Gus Baha.

Itulah kenapa Gus Baha mengaku tidak mempermasalahkan anaknya bermain ayam, bermain dengan kambing, apalagi sampai membawa binatang-binatang masuk kamar. Gus Baha tak pernah memarahi anak-anaknya karena itu.

“Ini masih enteng, dulu Hasan Husein itu main-mainnya sama anjing,” terang Gus Baha yang disambut tawa hadirin pengajian kitabnya.

Meski begitu, Gus Baha mengakui bahwa konsep parenting yang dia lakukan membuatnya sering dicibir. Apalagi kebiasaan agak melonggarkan anak itu tidak lazim di Indonesia.

“Anak kok dimanja, bikin ngelunjak,” kata Gus Baha menirukan orang yang mencibirnya.

Padahal apa yang dimaksud Gus Baha itu bukan memanjakan anak, “Pikiran saya itu sederhana, saya itu pasti mati. Setiap saat saya bisa mati. Dan yang meneruskan tauhid itu pasti anak saya, karena saya sudah mati.”

“Karena santri itu siapa sih? Orang lain. Paling ketika haul mereka kirim alfatihah, atau ketika hatinya sumpek, santrimu ingat lalu dicari kuburanmu, itu pun nunggu sumpek dulu. Tapi kalau anak, mau dia niat kirim al-Fatihah ke bapaknya atau tidak, asalkan anakmu beramal saleh, otomatis kamu dapat kiriman amal.”

Bahkan Gus Baha menemukan dalam kitab Mizan Kubro, “Di antara adab para nabi ialah memuliakan anak, tapi di Jawa itu tidak populer. Lho kalau memang pantas, saya itu boso (bahasa Jawa alus) ke anak kok. Anakku tidak boso ya nggak apa-apa,” kata Gus Baha.

Kenapa adabnya para nabi adalah memuliakan anak? “Karena anak lah yang kelak lebih panjang waktunya untuk membawa tauhid.”

BACA JUGA Yang Unik dari Cara Gus Baha Melihat Ramadan dan tulisan soal Gus Baha lainnya.

Exit mobile version