MOJOK.CO – Garuda, influencer, dan Baiq Nuril adalah sama-sama makhluk yang menuntut. Dan si sana, berbagai “maksud” saling bertumbukan.
Generasi manusia yang saat ini berjalan di permukaan bumi mengaku diri sebagai keturunan dari Homo sapiens. Arti dari istilah ini pun luar biasa sekali. Homo sapiens termasuk dalam spesies sapiens atau ‘bijak’, sementara Homo sendiri adalah genus manusia. Manusia yang bijak? Sombong betul.
Bagaimana KBBI menyusun pengertian Homo sapiens? KBBI menyusun pengertian sebagai berikut: “Manusia yang hidup di bumi pada masa kini; manusia yang berpikir; manusia berakal.” Sombong betul.
Suka atau tidak, kita ini adalah kera besar. Kerabat paling dekat simpanse, gorilla, dan orangutan. Yang membedakan Homo sapiens dengan kera hanya lingkar otak saja. Otak Homo Sapiens hanya 2 hingga 3 persen dari berat tubuh. Namun, otak mengonsumsi energi paling besar, yaitu sekitar 25 persen ketika tubuh beristirahat.
Oleh sebab itu, simpanse nggak bakal menang ketika debat soal pindah agama itu kejahatan atau bukan dengan kamu. Namun, simpanse bisa merobek perutmu dengan mudah. Makanya, jangan sombong betul.
Well, rangkuman dari bab-bab awal buku Sapiens karya Yuval Noah Harari itu sukses memberi saya gambaran yang jelas. Gambaran bahwa kita ini makhluk yang masih sangat muda, tetapi sok berkuasa dan sok bisa melakukan semuanya. Padahal, masing-masing Homo Sapiens saja punya ciri otak yang berbeda. Masing-masing punya kehendak yang berbeda. Masing-masing punya “maksud” yang berbeda pula dan kerap menjadi sumber masalah.
Kisruh soal Garuda dan ketidakadilan yang menimpa Baiq Nuril itu contoh yang bagus. Dua peristiwa yang bisa menggambarkan tumbukan dua maksud secara paripurna.
Baiq Nuril dan Garuda: manusia yang menuntut
Baiq Nuril menjadi pesakitan karena dianggap menyebarkan konten pornografi. Sementara itu, Garuda dirundung banyak orang karena membuat keputusan yang konyol betul. Garuda melarang orang selfie di dalam tubuh pesawat. Larangan itu muncul setelah viralnya menu makanan Garuda yang “cuma” berupa selembar kertas.
Kenapa kok menu makanan Garuda cuma selembar kertas? Mereka menjelaskan kalau proses mencetak menu baru belum selesai. Ada yang salah? Seharusnya sih tidak. Menjadi sangat wagu ketika ada influencer yang “merekam” peristiwa itu dengan “maksud” membuat konten. Di sinilah tumbukan maksud terjadi.
Sekelas Garuda kok nggak bisa bikin buku menu yang cantik dan cepat jadi? Kalimat tanya yang sangat masuk akal. Namun, yang bekerja menghidupi Garuda adalah manusia, Homo sapiens, yang katanya makhluk bijak berakal. Namun ternyata, spesies ini pun penuh kelemahan: lalai, malas, salah, dan lain sebagainya.
Ya mirip-mirip juga dengan influencer. Mereka ini mungkin spesies baru yang kadang punya maksud bikin konten dengan gairah tinggi, tetapi gagal menyampaikannya dengan baik. Apalagi ketika mereka menyangka sudah menemukan hal baru, aneh, tidak biasa, dan “jelek”; misalnya mengomentari tulisan tangan pramugari di selembar kertas binder.
Maksud awal ingin jadi “yang paling utama” dengan melaporkan kebijakan Garuda, berkembang menjadi bola liar. Tak pernah terbersit di kepala influencer kalau industri dan bisnis penerbangan sedang panas-panasnya. Masalah keamanan, hingga tingginya harga tiket. Homo sapiens yang bekerja di Garuda meresponsnya dengan keras.
Maksud Garuda ingin sebisa mungkin menutupi kelemahan maskapai. Buku menu yang hanya digoreskan di atas kertas binder (mungkin) dianggap sebagai aib. Oleh sebab itu, foto-foto dan ambil video di dalam pesawat pada awalnya dilarang, sebelum diralat menjadi imbauan. Saya sih memandang itu bukan aib, yang penting masakannya enak dan layak disajikan. Habis perkara.
Pernahkah kita untuk mendahulukan bertanya sebelum menghakimi? Lalu, apakah kita pernah puas dengan jawaban lawan bicara tanpa membatin ngerasani mereka?
Tumbukan maksud pun dialami oleh Baiq Nuril. Baiq Nuril merasa dirinya sudah dilecehkan, dan saya setuju sepenuhnya. Sayangnya, ketika Baiq Nuril melaporkan pelecehan itu, maksud dirinya bertumbukan dengan maksud “bahasa hukum”. Di dalam hukum, menggunakan UU ITE, Baiq Nuril dianggap punya maksud mempermalukan seseorang dengan menyebarkan konten pornografi.
Sebuah ranah abu-abu menjadi tempat Baiq Nuril berenang mencari keadilan. Namun, Baiq Nuril berenang di ranah di mana “rasa hati” tak punya tempat. Undang-Undang sudah berkata A dan A yang akan kamu dapat. Amnesti bisa meralat hukuman Baiq Nuril. Namun, pada akhirnya, meskipun mendapat pengampunan, Baiq Nuril mendapat cap “bersalah” ketika ia menunjukkan maksud melawan dan mencari keadilan.
Homo sapiens katanya makhluk yang bijak? Lantas mengapa bahasa hukum yang tertuang dalam UU yang karet dan abu-abu itu masih dipakai dan dibiarkan? Mengapa, ketika UU ITE justru dimanfaatkan untuk menjerat orang yang tak bersalah, tak segera dihapus? Sama seperti UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak kunjung disahkan padahal kekerasan seksual itu sama jahatnya seperti kekerasan fisik dan psikis.
Garuda, influencer, dan Baiq Nuril adalah sama-sama makhluk yang menuntut. Menuntut nama baik tetap terjaga, menuntut kepada diri untuk membuat konten terbaik meski gagal memahami lingkungan, dan menuntut keadilan. Semuanya punya maksud dan saling bertumbukan.
Pada akhirnya begini. Homo sapiens, sebagai makhluk yang berpikir, sudah selayaknya mau peka dengan keadaan lingkungan dan sesama. Influencer boleh saja bikin konten soal kertas menu Garuda, tetapi sampaikan secara berimbang dan konteksnya utuh. Garuda, sebaiknya tidak gegabah membuat sebuah larangan karena jepretan kamera netizen itu bisa sangat jahat.
Baiq Nuril? Terus semangat, Bu. Meski Ibu dicap “bersalah”, kita semua tahu kok Homo sapiens mana yang bajingan betul.