Film Paranoia Angkat Tema KDRT yang Kompleks Meski Nanggung

Konon, pandemi jadi kendala pembuatan film ini dan bikin segalanya terasa kurang. Tapi, upaya mengangkat tema KDRT layak diapresiasi.

ilustrasi Film Paranoia Angkat Tema KDRT yang Kompleks Meski Nanggung mojok.co

MOJOK.COFilm Paranoia sebenarnya berusaha menyampaikan nilai yang penting tentang KDRT dan keluarga. Bukan sekadar thriller yang endingnya kentang.

Film Paranoia (2021) jelas bukan satu-satunya tayangan yang menceritakan KDRT dan baru rilis belakangan. Serial berjudul Maid yang bisa kamu tonton di Netflix juga punya tema yang hampir mirip. Keduanya kurang apple to apple untuk dibandingkan memang. Namun, setidaknya sama-sama memuat “ketakutan” yang dialami perempuan dalam upayanya terlepas dari pasangan abusive.

Nirina Zubir yang berperan sebagai tokoh bernama Dina diceritakan telah dihantui ketakutan selama bertahun-tahun. Ia memiliki seorang anak perempuan yang sepanjang empat tahun selalu dibawa “berlari”. Ketakutan yang dialami Dina adalah inti cerita. Lukman Sardi berperan cukup baik menjadi Gion, suami Dina yang kehadirannya tampak lebih mengerikan ketimbang hantu.

Ada satu scene yang begitu bagus dan sayangnya hanya selintas diperlihatkan. Adegan itu menceritakan bagaimana Dina menjadi sangat tidak berdaya di hadapan suaminya sendiri. Pujian dan kata sayang adalah hal yang justru paling bikin tegang. 

Keinginan laki-laki yang dipaksakan kepada perempuan dalam hubungan rumah tangga bisa jauh lebih mengerikan dan mengancam. Secara emosi, perempuan diikat dalam hubungan pernikahan yang memuat berbagai nilai, di antaranya tuntutan untuk menuruti suami. Jika tidak menurut, konsekuensinya macam-macam. Mulai dari kekangan ekonomi, penyiksaan fisik dan emosional, sampai hal-hal kecil menyangkut KDRT yang terasa kompleks.

Sialnya, entah bagaimana ceritanya, Dina menikah dengan Gion. Perempuan baik-baik menikahi seorang kriminal yang brutal. Pihak berwajib di film Paranoia rasanya tidak ada, tidak terlibat. Entah apakah ini bentuk satire bahwa kehadiran yang berwenang seringnya lepas tangan, atau memang luput saja.

Tokoh seperti Dina yang diceritakan sangat mandiri, tangguh, dan berhati-hati menjadi begitu lemah di hadapan Gion. Penonton mungkin akan gemas dan ingin turut melawan, tapi lagi-lagi ini adalah masalah Dina dan ketakutannya terhadap Gion. Dia menjadi tak berdaya, tak bisa menolak perintah, bahkan sudah berusaha memukul pun tak kena. Ketakutannya sendiri membuatnya tak bisa berbuat banyak. Ini dia yang disebut paranoia.

Meskipun respons penonton terhadap film Paranoia tak begitu menyenangkan, sebenarnya film ini telah berusaha untuk menciptakan versi terbaik. Isu yang diangkat seputar KDRT adalah kelebihan untuk membawa film ini pada level yang lebih tinggi.

Konon, film ini dibuat di tengah pandemi saat pergerakan begitu sulit dilakukan. Mira Lesmana menyiasati pengambilan gambar dilakukan dalam satu lokasi sehingga suasananya memang kurang hidup dan terasa sepi. Hanya sedikit pemeran yang dilibatkan. Nicholas Saputra muncul di tengah film, membawa cerita ke jenjang yang lebih menjanjikan. Saya berani mengatakan bahwa kehadirannya muncul sebagai “penyelamat” dengan guyonan awkward dan dialog lumayan cheezy.

Film Paranoia merupakan film dengan genre thriller pertama yang dibuat oleh Riri Riza. Meskipun begitu, saya nggak bisa bohong bahwa saya menikmati alur yang cukup intens di awal. Terasa betul bagaimana gemasnya jadi tokoh Dina yang ingin pergi sejauh mungkin, tapi ada-ada aja masalahnya.

Sebenarnya saya berharap terlalu banyak pada film ini. Isu KDRT juga terasa menjanjikan mengingat sebelumnya saya sudah menonton Maid duluan. Tokoh Dina dan anaknya, Laura yang diperankan oleh Caitlin North Lewis menjadi point of view yang paling banyak diceritakan dan seharusnya bisa digali lebih dalam. Jujur saja, seharusnya konflik dari ibu dan anak dengan problem KDRT bisa lebih banyak diperas.

Sayangnya saya kurang memahami sudut pandang Laura selain sebagai bocah TikTok seksi yang jangan-jangan memang punya daddy-issue. Wajah dan aksen bulenya pun entah didapat dari mana. Padahal, bagaimana tokoh Dina berusaha membawa anaknya berpindah-pindah dengan status ibu tunggal adalah problem yang sangat menarik untuk diceritakan. Laura tak harus berdansa dan berenang dnegan bikini untuk menunjukkan bagaimana sudut pandangnya.

Lagi-lagi, film Paranoia sudah berupaya. Penonton mungkin tak akan peduli dengan berbagai cerita di balik layar pembuatannya, bagaimana sulitnya membuat film di tengah pandemi dan pembatasan ketat. Mobilitas yang sulit bisa jadi faktor yang membuat ending film ini terasa nanggung.

Di balik itu semua, saya tetap mendukung Riri Riza untuk membuat film lagi dengan genre thriller. Riri Riza layak diberi kesempatan kedua untuk membuat film semacam Paranoia, tapi dengan produksi yang lebih maksimal. Tidak di tengah karantina wilayah, tidak di tengah pandemi, dan dengan dana yang cukup banyak. Siapa tahu hasilnya bakal mengagumkan.

BACA JUGA Begini Rasanya Jadi Pacar Nicholas Saputra dan artikel lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version