Film A World Without Dibuat dengan Susah Payah. Nggak Tega kalau Bilang Hasilnya Payah

A World Without diharapkan jadi film lokal epik, tapi itu kan cuma harapan.

ILUSTRASI Film A World Without Dibuat dengan Susah Payah. Nggak Tega kalau Bilang Hasilnya Payah film lokal film indonesia netflix mojok.co

MOJOK.CO Film lokal terbaru A World Without tampak menjanjikan di awal. Sayangnya, janji ini tidak ditepati hingga akhir, penonton kecewa.

Sempat terpikir oleh saya apa jadinya bumi ini jika kebanyakan anak muda memilih child free dan waithood. Beberapa di antara anak-anak muda bahkan sudah bodo amat dengan kehidupan asmara mereka. Boro-boro memikirkan kepunahan umat manusia, bisa hidup sampai besok saja sudah syukur. Kekhawatiran ini mungkin yang awalnya mengganggu Nia Dinata dan Lucky Kuswandi sehingga merumuskan sebuah ide cerita dengan premis dostopia berjudul A World Without.

Semenjak judul, film ini tampak pengin banget berusaha filosofis. Melihat Nia Dinata sebagai salah satu “dalang” di balik lahirnya film ini, saya merasa cukup yakin bahwa banyak banget kritik yang akan disampaikan lewat film, utamanya soal perempuan. Sayangnya, sampai akhir saya justru kehilangan kompas dan berujung pada pertanyaan, “Ini sebenarnya film apa sih?”

Jangan salah, A World Without sebenarnya salah satu film lokal yang banyak dinantikan. Trailer yang banyak dipromosikan di media sosial  Netflix itu kelihatan begitu ngeri dan menjanjikan. Saya membayangkan bakalan ada cerita-cerita macam Black Mirror di baliknya. Minimal, kalau mau disrempetin ke genre romantis bakal kayak Her deh.

The Light adalah sebuah organisasi yang diceritakan dalam film. Organisasi ini mirip dengan komunitas Indonesia Tanpa Pacaran versi advance tanpa melibatkan embel-embel agama. Setiap anak muda yang masuk The Light akan dapat pelatihan dasar sesuai dengan kecakapan mereka. Ada yang berwirausaha, bikin konten, dan fokus jadi influencer kosmetik. Imbalannya cukup klise: kebahagiaan. Definisi bahagia dalam film ini adalah tinggal di apartemen yang nyaman, dijodohkan dengan orang yang benar-benar cocok, punya anak, sambil tetap mempromosikan The Light kepada sanak saudara. Lantas, The Light dapat keuntungan apa? Masih abu-abu, Guys.

Sekilas rasanya cerita ini berusaha banget direlasikan dengan kehidupan sehari-hari orang Indonesia. Dibuat semasuk akal mungkin biar penonton relate. Meskipun begitu, sampai akhir… nggak ada gregetnya.

Melihat bagaimana The Light dibangun sebagai fondasi cerita, banyak penonton menduga bakal ada semacam okultisme mengerikan di dalamnya. Jangan-jangan ini anak muda mau dijadikan tumbal dan nggak kembali ke kehidupan nyata. Jangan-jangan bakal ada ritual seks macam film Midsommar yang abstraknya minta ampun. Atau jangan-jangan, The Light cuma organisasi yang sedang berusaha menciptakan agama baru. Prasangka ini tidak difasilitasi karena apa yang kita lihat di film A World Without ternyata “gitu doang”.

Mungkin benar, saya dan kebanyakan penonton lainnya dikecewakan oleh ekspektasi kami sendiri. Berharap A World Without bisa ngasih angin segar bagi perfilman lokal yang lagi megap-megap. Tapi, perlu dicatat bahwa sebagai film biasa yang ditonton sambil lalu pun, A World Without tetap jadi tontonan yang nggak menarik.

Oke, paragraf berikutnya bakal mengandung spoiler, ya.

Film ini bercerita soal masa depan, berbagai perlengkapan elektronik terlihat lebih canggih dari yang kita miliki sekarang. Ponsel transparan, hologram, sampai jam tangan yang kayak smart watch versi bagus banget lah pokoknya. Tapi, banyak yang mengganggu karena nggak sinkron.

Lokasi syuting di gedung UPI yang sebenarnya punya desain kolonial banget itu agak kurang pas. Bahkan name tag anggota baru The Light masih ditulis tangan di sebuah kertas post it yang ditempel di dada. Padahal logikanya bisa pakai hologram sih. Arghttt.

A World Without juga tampak datar dan nggak engaging. Jika memang The Light itu organisasi mengerikan, tampaknya orang bisa bebas berlalu lalang. CCTV dan penjaga yang seram nggak ada guna. Beberapa orang juga diceritakan “berhasil” kabur begitu saja. Tidak ada scene yang memperlihatkan betapa organisasi ini kejam dan mengekang. Bahkan anggota baru macam Salina dkk. bisa kabur dengan mudah.

Di akhir cerita, penonton tidak mendapat apa-apa. Seolah-olah film lokal satu ini cuma bercerita tentang sebuah organisasi yang sebenarnya di masyarakat sudah menimbulkan pro dan kontra. Gitu aja. Ya, mirip kayak kalau kita ikut komunitas pemuja Mario Teguh lalu satu per satu anggotanya pergi karena panutannya bikin blunder.

Saya cukup nggak enak untuk bilang bahwa film ini payah, sebab rasanya yang bikin sudah susah payah. Film ini diharapkan jadi sebuah terobosan baru, genre distopia yang menarik, futuristik, dan penuh kritik. Ah, tapi kan itu cuma jadi sebatas harapan. Apakah ini film satire yang sengaja dibikin jelek karena judulnya A World Without? Without apa nih? Without film ini.

Punten banget Mbak Nia Dinata, Mas Lucky Kuswandi, punten ini mah. Saya nggak ngerti proses pembuatan film ini erornya di mana. Yang jelas, saya nggak menikmati sajiannya dan terpaksa kasih skor 4/10. Mangats, Mbak, Mas.

BACA JUGA Ngantuk Nonton Film Dune Bukan karena Otak Pas-Pasan, Emang Nggak Suka Aja! dan artikel lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version