Bobroknya Tayangan Televisi Tidak Lain Disebabkan oleh Penontonnya Sendiri

kpi

MOJOK.CO Ketimbang nyalahin orang-orang di balik bobroknya tayangan televisi, kita perlu sadar bahwa ini kesalahan sistemik yang juga diperbuat penontonnya.

Suatu hari saat salah satu televisi swasta bikin acara di kampus saya dulu, banyak mahasiswa yang berniat datang dengan pertanyaan idealis. Ketika itu twitter belum ramai lagi, tapi obrolan soal kacaunya sinetron dan reality show mulai dibahas di kelas-kelas broadcasting.

Teman saya memberanikan diri bertanya pada seorang news anchor yang jadi pembicara.

“Mbak, kenapa sih sinetron siluman ular itu ditayangin terus? Mana CGI-nya emang mohon maaf gitu banget. Konfliknya juga itu-itu melulu. Apa nggak pembodohan namanya? Jujur saya resah banget sama kualitasnya. Reality show pun nggak kalah lebay.”

Wow, seisi ruangan salut dengan keberanian teman saya itu. Slapping tv channel in their face, gitu lah. Emang paling gampang itu nyalahin orang-orang tv atas bobroknya tayangan televisi mereka.

Dengan tenang, mbak-mbak news anchor tersenyum dan menjawab.

“Adek ini memang nggak seharusnya nonton sinetron siluman. Kamu berpendidikan dan punya akses baik dalam hal tayangan berkualitas. Tapi, kami menayangkan sinetron itu bukan buat kamu. Melainkan buat orang-orang akses minim dan nggak akan suka kalau disuguhin serial Sherlock Holmes.”

Teman saya ada perwujudan nyata netizen yang pemikiran kritisnya dirawat hingga sekarang. Soal bobroknya tayangan televisi kudu dilibas begitu. Meski saya kadang menyangka kalau netizen dan generasi milenial plus gen Z mungkin orang-orang yang hidup dalam gelembung. Livin in the bubble dan nggak tahu seberapa banyak fans garis keras sinetron siluman.

Kamu mungkin benci setengah mati sama sinetron azab dan bilang kalau kemustahilan itu sama sekali nggak mendidik. Tapi kita perlu menggeser perspektif nggak mendidik itu ke arah ‘seberapa merusak sih tayangan itu?’. Karena jujur aja, nggak semua tayangan harus mendidik, Mylov, ada yang dibuat cuma untuk hiburan tanpa faedah.

Hingga saya menemukan cuitan dari penulis skenario sinetron yang pernah jadi korban caci maki netizen karena adegan Hello Kitty rebusnya.

Absurd banget memang lihat orang-orang yang hampir terlihat tolol, bisa segitu hebohnya lihat boneka Hello Kitty direbus. Di balik adegan tersebut, bobroknya adegan memang menyoal alasan produksi, bukan alasan sinematik. Ide kreatif bisa impoten karena kepentok deadline, dana minim, aturan KPI, dan kebutuhan cari uang. Iklim pertelevisian yang segini banal terjadi karena kesalahan sistemik.

Di samping salut dengan pemaparan twit di atas yang santai dan kocak, akhirnya banyak netizen yang sekarang sadar kalau suatu tayangan televisi itu bertahan karena rating, rating terjadi karena penonton. Kalau rating bagus, mau bobroknya kaya apa pun ya tetap lanjut. Sulit menyalahkan pihak tv untuk nggak berlaku sama pada hampir semua tayangan televisi. Karena kenyataannya, televisi itu industri dan mereka cari duit. Rating yang bagus nggak hanya memperkaya bos televisi tapi juga kru, karyawan, dan artisnya.

Kecuali kalau TVRI yang melanggengkan bobroknya tayangan televisi, lha kita perlu gugat.

Rating terbentuk dari survei dari seberapa betah penonton mantengin tayangan televisi itu. Tv nasional biasanya menggunakan Nielsen sebagai metode survei. Meski sampai saat ini akurasi Nielsen masih dipertanyakan, tapi toh lebih akurat ketimbang argumen ‘kayaknya-kayaknya’ yang biasa digemborkan netizen. Sekilas tentang metode rating televisi, teman-teman bisa menyimak twit dari netizen budiman berikut.

Bobroknya tayangan televisi itu nggak pernah nggak sengaja terjadi. Apa yang tersaji di depan matamu adalah yang memang ingin mereka tayangkan. Mereka tahu betul kalau kualitas tayangan emang nggak bisa jadi andalan. Selama suatu tayangan televisi ratingnya masih bagus, selama masih banyak yang nonton, maka dia akan hadir selamanya. Kalau udah sepi penonton, barulah mereka akan mempertimbangkan ganti tayangan.

Angka rating diperlukan bukan cuma untuk kebanggaan semata. Angka inilah yang bakalan dijual sama pihak marketing untuk mencari sponsor atau pengiklan. Makin bagus ratingnya, cuan mengalir. Maka terjadilah usaha-usaha mendewakan rating, yang sama saja dengan mendewakan jumlah penonton.

Kalau kamu nggak merasa menonton tayangan televisi yang jeleknya minta ampun tapi kok dia terus-terusan ada, berarti segmen tayangan itu bukan orang sejenismu. Indonesia luas, Mylov, mungkin kamu nggak akan ngerti kenapa ada orang di desa bernama Gunturmadu Watumalang yang ngefans banget sama Uya Kuya meski dia tahu acaranya settingan. Otak saya juga nggak bisa mikir sampai ke sana.

Anggapan soal bobroknya tayangan televisi susah payah ingin didobrak oleh Net TV. Tapi pada akhirnya mereka pun nggak bisa ‘jualan’ kalau ratingnya rendah. Seberapa pun cinta kalian dengan Vincent, Desta, Hesti, dan Enzy, kalau nontonnya di YouTube “Tonight Show” tetap dibayangi ancaman tutup. Semua ini emang kayak lingkaran setan yang sulit dihentikan.

Selama KPI menganggap suatu tayangan nggak berbahaya ya jelas loske wae. Jadi inget perkara SpongeBob disensor sementara sinetron azab tetap lancar jaya. Semua ini juga berkaitan.

Jadi alurnya begini kira-kira. Tayangan televisi dibuat dengan dana mepet, kru dan pemain dibayar pas-pasan, KPI mengawasi dengan segala aturan yang wallahualam itu, tayangannya ancur, tapi penonton suka, nonton terus, rating bagus, iklan masuk, repeat.

Maka ketimbang nyalahin satu pihak, bobroknya tayangan televisi justru terlihat amat sistemik. Kalau pengin membongkarnya ya dimulai sejak bagaimana pola pikir dan literasi penonton. Penonton yang nggak cuma milenial dan gen Z dengan akses internet 24 jam. Tapi juga penonton yang bahkan masih nggak tahu Netflix itu apa.

BACA JUGA Rumah Uya Settingan, Boomer dan Penontonnya Sudah Tahu Kok atau artikel AJENG RIZKA lainnya.

Exit mobile version