Betapa Emosionalnya Mendengar Imbauan untuk Tidak Mudik dari Kemenhub

Mudik Lebaran 2021 Resmi Dilarang. Siap-siap Air Mata dan Kuota buat Video Call mojok.co

Mudik Lebaran 2021 Resmi Dilarang. Siap-siap Air Mata dan Kuota buat Video Call mojok.co

MOJOK.CO Kemenhub mengeluarkan imbauan untuk tidak mudik pada Idul Fitri 2020.  Sebuah imbauan yang paling emosional akibat virus corona.

Pembatasan sosial sudah banyak dilakukan meski belum seratus persen orang Indonesia mengerti fungsinya. Beberapa orang yang merantau dan jauh dari keluarga merelakan diri untuk berdiam di hunian mereka seorang diri. Ini lumayan mengharukan lantaran mereka bisa saja seminggu penuh tidak bertatap langsung dengan orang lain.

Mereka sudah sangat totalitas menggambarkan lagu “Angka Satu” milik Caca Handika. Masak sendiri, makan sendiri, cuci baju sendiri. Beberapa ekstrover bahkan tumbang dan butuh banget penanganan psikis karena stres menghadapi situasi demikian.

Namun yang paling sedih di antara itu semua bagi saya pribadi adalah mendengar imbauan untuk tidak mudik yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi.

Kaum rantau yang hidup sendiri seperti saya, hampir tidak punya siapapun kecuali kawan-kawan yang baik. Lalu saya jadi berandai-andai kalau tahun ini saya beneran tidak mudik, bagaimana saya bisa menahan kerinduan untuk berkumpul bersama keluarga?

Mudik bukan sekadar sebuah aktivitas perayaan Idul fitri biasa. Bahkan mereka yang tidak merayakan lebaran pun, turut menggunakan momen libur panjang ini sebagai waktu berkumpul dengan keluarga. Bayangkan saja, setahun penuh tidak bertemu, libur lebaran adalah saat yang tepat buat saling meraptakan hubungan kekeluargaan. Tapi tahun ini dengan berat hati, kita mungkin nggak bisa kumpul-kumpul manja seerti biasa.

Baiklah, sesekali saya punya pikiran-pikiran ngawur yang cenderung menyepelekan imbauan Kemenhub sebagai sekadar imbauan. Ya sudah, namanya juga imbauan, bukan larangan. Sumpah kalau saya memang nggak punya empati, saya bakal nggak ngaruh sama imbauan untuk tidak mudik ini. Saya bakal tetap pulang kampung no matter what.

Meski belakangan, selain Kemenhub, pemerintah melalui berbagai pihak terkait tengah menggodok larangan mudik. Yang mana, ini bisa jadi bukan sebuah imbauan tidak mudik lagi, pemirsa!

Saya hampir yakin kalau banyak orang-orang yang juga punya pemikiran sama ngawurnya dengan saya. Pokoknya opor ayam lah, gaaas!

Tapi di sisi lain, nurani saya kembali mengetuk-ngetuk. “Halo, Assalamualaikum, diriku. Apakah masih tersisa ruang kepedulian di sini?”

Masalahnya jika saya nekat mengabaikan imbauan tidak mudik dan menemui kedua orang tua, apalagi keluarga besar, saya mungkin jadi carrier virus corona tanpa gejala yang cuma bakal menulari mereka. Saya tidak pernah tahu apakah virus corona benar-benar sudah hinggap di tubuh saya atau memang beneran nggak ada.

Saya nggak bisa bayangkan ayah saya yang masih dalam pemulihan pasca stroke tiba-tiba kena serangan COVID-19 gara-gara sang anak yang ngeyel mudik lebaran. Walau saya sebenarnya tahu ayah dan keluarga saya nggak mungkin langsung menganggap saya anak durhaka, tapi saya nggak mampu menanggung perasaan bersalah setelahnya.

Ini benar-benar dilematis.

Saya memahami mengapa Kemenhub mengeluarkan imbauan untuk tidak mudik lebaran. Pertama, acara kumpul keluarga yang membahagiakan memang bakal jadi ironi ketika momen itu justru waktu ideal untuk penularan COVID-19. Kedua, tenaga medis yang juga merayakan lebaran ini bakal jauh lebih kelimpungan kalau angka positif COVID-19 naik drastis.

Ketiga, bukan hanya saat kumpul keluarganya, tapi mudik naik transportasi umum dan bepergian ke mana-mana yang juga rentan penularan. Kalau dibiarkan ini bisa jadi chaos tidak berkesudahan. Ya Alloh, semoga aja nggak kejadian deh.

Tapi di sisi lain saya juga memahami betapa sedihnya mendengar imbauan tidak mudik, dan betapa inginnya orang-orang berkumpul dengan keluarga. Social distancing dan ruwetnya penanganan virus corona sudah jadi sebuah ketakutan tersendiri yang membuat kita merasa membutuhkan orang lain di saat yang begitu sulit.

Sayangnya, kebutuhan sosial perlu dikesampingkan sejenak demi kebutuhan bertahan hidup.

Maka bertahanlah kawan-kawan. Sikap kalian untuk tidak egois demi kemanusiaan benar-benar sangat menentukan keberlangsungan peradaban.

BACA JUGA Kondisi Darurat Corona, Pemerintah Wacanakan Kebijakan Larangan Mudik Lebaran atau artikel lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version