Belajar Menertawakan Perkara Serius melalui Kolom Komentar Info Cegatan Jogja

info cegatan jogja

MOJOK.COGrup-grup kolektif lokal seperti Info Cegatan Jogja bukan hanya menyajikan informasi, namun juga guyonan yang sangat menghibur, termasuk guyonan tentang sebuah masalah yang rumit.

Saya tak tahu harus menganggap hal ini sebagai kelebihan atau kekurangan, namun yang jelas, orang Indonesia memang hobi sekali menganggap urusan serius menjadi perkara yang remeh-temeh belaka.

Bagi empunya perkara, barangkali ini sangat menyebalkan, namun bagi orang lain, ini tentu saja adalah hiburan tersendiri.

Kalau tak percaya, cobalah tengok grup WhatsApp bapak-bapak atau grup-grup kolektif lokal seperi Info Cegatan Jogja, Info 4 Kota, dan juga grup-grup Facebook sebangsanya.

Di forum-forum itulah, kita bisa dengan mudah menemukan aneka permasalahan rumit yang oleh orang lain kemudian justru di-spin menjadi gojekan yang lucunya ngaudubillah setan.

Banyak sekali guyonan yang pada konteks tertentu, jauh lebih lucu ketimbang materi stand up comedian profesional sekalipun. Orang bilang guyonan tentang penderitaan adalah guyonan yang gelap, yang dark, maka, rasanya tak berlebihan menganggap guyonan yang muncul atas respons permasalahan yang dipost di grup-grup kolektif lokal itu adalah puncak kegelapan tersebut. Ia lebih dark ketimbang dark itu sendiri.

Saya ingat, beberapa waktu yang lewat, saya sempat membaca sebuah postingan kecelakaan di sebuah grup ICJ. Bukan kecelakaan biasa, melainkan kecelakaan maut yang memakan korban jiwa.

Kecelakaan maut tersebut melibatkan seorang ibu rumah tangga. Ia mengemudikan mobil sambil memangku anaknya, mobilnya kemudian menabrak seorang bapak-bapak pengendara sepeda. Korban meninggal dunia.

Tentu saja itu adalah sebuah kabar yang sangat menyedihkan. Namun ketika kabar itu dilemparkan ke grup, niscaya kabar itu sudah mati. Ia sudah berubah menjadi premis belaka.

Karena itulah, sangat tak mengherankan ketika kemudian saya menmukan komentar yang sangat bajingan namun lucunya setengah mati itu: “Gara-gara mangku anak, marakke mati bojone uwong. Jal nek mangku bojone wong, malah iso dadi anak.”

Saya tentu saja langsung bingung. Hati miris, tapi saya tak kuat menahan perasaan untuk tertawa.

Pada akhirnya, karena saya bahkan tak kenal dengan korban, maka saat itu saya memilih untuk tertawa. Betapa kejam dan matinya hati nurani saya.

Sejak saat itu pula kelihatannya saya meyakini, bahwa tepat ketika saya bergabung dengan grup-grup kolektif lokal itu, hati nurani saya sudah langsung disetting untuk untuk timbul tenggelam. Kadang muncul, namun lebih banyak tidaknya.

Grup-grup yang ndlogok itu mengajarkan kita, bahwa pada titik tertentu, kita bisa saling menguatkan, namun di sisi yang lain, kita juga bisa dengan mudah saling menertawakan apa pun.

Kali lain, saya menemukan komentar yang sangat “beyond” di forum yang sama. Seseorang memposting keresahan dia tentang kenapa pelaku tindak klithih di Jogja umumnya baru bisa ditangkap kalau korbannya meninggal dunia, sedangkan kalau korbannya hanya mengalami luka ringan, pelaku seakan-akan tidak tersentuh aparat.

Tentu saja ini kegelisahan kolektif yang saat ini bisa jadi dirasakan oleh banyak orang.

Dan, bedebah, dalam kondisi yang demikian, kok ya ada saja yang menjawab dengan jawaban yang sangat-sangat mengagumkan.

“Kalau korban sampai meninggal pasti 95 persen ketangkep, Lur. Karena arwah korban dibangkitkan untuk menunjukkan siapa pelakunya.”

Jancuuuuuk. Tentu saja tertawa membaca komentar tersebut.

Yang paling saya ingat tentu saja adalah tentang postingan orang yang curhat di grup karena menjadi korban penipuan jual beli online. Alih-alih mendapatkan komentar yang membuat dirinya adem, ia justru mendapatkan komentar yang, lagi-lagi, malah membikin penipuan yang ia alami menjadi tampak receh belaka.

“Aku yo wingi kapusan, Lur. Tuku pare sekilo, jebul pait kabeh, ora ono sing legi.”

Atau.

“Lha kowe isih mending, bakdo wingi, aku tuku kupat neng pasar, lha bajingan, jebul kupate kosongan kabeh.”

Atau.

“Aku luwih parah, Lur. Wis tak niati tuku dawet ayu, jebul bakule lanang, brengosen sisan…”

Sekali lagi, tak bisa tidak, saya tertawa. Lama sekali. Betapa masalah yang berat bagi satu orang, adalah guyonan semata bagi orang yang lain.

Ah, barangkali grup-grup itu memang diciptakan bukan untuk menguatkan hati dan solidaritas kita, melainkan untuk membuat kita bersyukur dan senantiasa merasa bahwa kita ini sedang baik-baik saja.

Exit mobile version