Barang-Barang Kelewat Aneh yang Saya Beli di Tahun 2020

ilustrasi Aktivitas Belanja Online Itu Privasi, Bisa-bisanya Jadi Fitur Baru Shopee mojok.co

MOJOK.COTahun 2020 adalah tahun berbelanja. Dan dari sekian barang yang saya beli, beberapa adalah barang yang saya merasa cukup aneh karena membelinya. 

Bagi saya, selayaknya kebanyakan orang, tahun 2020 tentu saja menjadi tahun yang tidak terlalu menyenangkan. Pandemi membuat saya harus lebih banyak berada di rumah (walau sejak beberapa bulan terakhir, saya sudah “menyerah” dan mulai berani keluar rumah dan mulai abai terhadap protokol kesehatan).

Sepanjang satu tahun tersebut, saya catat, saya belanja cukup banyak barang. Maklum saja, tiap akhir pekan, saya biasanya menghabiskan waktu dengan menonton film di gedong film atau nonton konser sebagai hiburan. Namun pandemi membuat saya tidak bisa melakukan hal tersebut. Tak ada gedong film yang berani buka. Pun juga tak ada EO yang cukup bodoh menggelar konser di masa pandemi dengan risiko penularan atau didamprat oleh orang-orang.

Maka, sekrol-sekrol marketplace sambil sesekali membelinya kalau memang harganya masuk akal menjadi salah satu hiburan yang paling relevan.

Percayalah, aktivitas belanja yang saya lakukan itu bukanlah bentuk pemborosan, melainkan semacam upaya untuk ikut andil dalam usaha menggerakkan ekonomi masyarakat. Yah, anggap saja begitu. Hehehe.

Nah, dari sekian barang yang saya beli (baik secara online maupun offline) sepanjang tahun 2020 ini, berikut ini adalah barang-barang yang saya anggap cukup aneh. Setidaknya aneh untuk saya beli.

Kalung Kesehatan

Kalung ini saya beli dari seorang sales yang datang ke rumah saya. Seorang lelaki muda dengan potongan rambut klimis Marshello si vokalis band The Hydrant itu. Kemejanya begitu rapi. Sepatunya mengkilap dan hitamnya paten seperti sepatu ketua OSIS di hari senin sesaat sebelum upacara bendera. Saya yakin, sepatunya itu sudah punya kemistri yang sangat erat dengan semir Kiwi.

Saya tak terlalu percaya dengan khasiat kalung kesehatan ini. Yang pasti, niat saya membelinya karena saat melihat si sales, saya teringat dengan masa lalu saya saat saya masih bekerja menjadi seorang sales jas tuxedo.

Selain itu, saya juga simpati kepada si sales, karena setelah sempat saya tolak dagangannya, ia masih tetap menampakkan wajah yang ramah dan sumringah. Ia juga mengaku dari pesantren Tegalrejo dan ia tak henti-hentinya membangga-banggakan pesantrennya beserta kiai pengasuhnya.

Perangkat budikdamber

Budikdamber, alias budidaya ikan dalam ember. Perangkat ini cukup ngetren di masa awal pandemi. Banyak orang-orang memanfaatkan media ember untuk memelihara ikan lele sebagai salah satu upaya untuk menjaga ketahanan pangan di masa pandemi yang saat itu (dan sampai sekarang) sangat tidak bisa diprediksi.

Saya pun ikut-ikutan membeli perangkat budidaya ini. Dua buah ember, lengkap dengan gelas penampung sayur, bibit sawi dan kangkung, serta 100 ekor anakan lele.

Hasilnya? Untuk kangkungnya sudah panen dua kali. Sedangkan lelenya, agak berhasil, agak tidak. Untuk ukuran tumbuh kembang, tentu berhasil, sebab ukuran tumbuhnya mampu mencapai target siap panen. Sedangkan untuk jumlah, ini yang saya sebut gagal. Dari 100 ekor, yang tersisa hanya 40, sisanya gugur karena dimakan sesamanya sebab saya luput dan tidak disiplin dalam memberi makan.

Namun yang jelas, sebagai sebuah usaha coba-coba mempertahankan ketahanan pangan, tentu saja membeli perangkat budikdamber ini cukup layak untuk tidak terlalu disesali.

Ketipung

Pandemi membuat saya menghabiskan banyak waktu di rumah. Hal tersebut memicu saya untuk mencoba belajar alat musik. Yah, setidaknya, nanti kalau pandemi sudah selesai, saya sudah bisa memainkan satu alat musik.

Dan entah kenapa, alat musik yang saya pilih untuk saya pelajari justru ketipung dangdut. Bukan gitar, akordeon, harmonika, gitar, atau sekalian piano biar kayak Kevin Aprilio.

Ketipung ini saya beli dengan harga yang tak terlalu mahal, 350 ribu.

Hasilnya? Tentu saja jauh dari harapan. Saya tidak terlalu berhasil berlatih bermain ketipung itu. Sebagai sebuah instrumen musik yang koplo-able, ia gagal. Namun sebagai sekadar bunyi-bunyian yang mengganggu, ia cukup berhasil.

Selotip bolak-balik

Ini produk yang cukup saya sesali. Saya membelinya karena termakan oleh iklan Instagram. Sudahlah saya beli dengan harga mahal, saya belinya nggak cuma satu, eh ternyata daya rekatnya nggak jauh beda sama selotip biasa. Cuma menang elastis thok.

Itu belum termasuk rasa sebal saya karena harus kena omel istri sebab beli barang yang nggak berfaedah dengan harga mahal.

Lampu Taman

Ini adalah pembelian yang paling saya sesali. Saya beli saat momen Flash sale 12.12. Lihat ada lampu taman dengan harga diskon, saya tak butuh waktu lama untuk langsung mengeklik tombol beli. Saya pikir lampunya berukuran besar dengan nyala yang terang. Namun ketika lampunya datang, ternyata ukurannya cuma sekepal tangan. Keparat.

Dan nyala lampunya? Aduh, itu kalau kunang-kunang terbang di sebelahnya, palingan langsung nyengir.

Exit mobile version