Ruang Digital dan Partisipasi Politik Perempuan

Ruang virtual memungkinkan perempuan muslim untuk menghasilkan representasi kesalehan, iman, fragmentasi, dan memungkinkan melakukan (re)konstruksi atas identitas mereka.

Ruang Digital dan Partisipasi Politik Perempuan MOJOK.CO

Ilustrasi Ruang Digital dan Partisipasi Politik Perempuan. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKanal perempuan dalam ruang digital perlu diperbanyak dan diperkuat melalui kebijakan editorial yang mendukung banyak penulis perempuan.

Kanal bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia politik kini sudah berkembang. Tidak melulu lewat demonstrasi atau organisasi perempuan, partisipasi perempuan juga terlihat melalui media sosial. 

Media sosial tidak hanya dapat menghubungkan manusia, tapi juga memberi ruang yang kuat pada budaya visual. Di Indonesia, meskipun perempuan muda secara teratur berpartisipasi dalam gerakan politik, pengaruh sosial-politik mereka yang signifikan seringkali tersembunyi (Budianta, 2006; Wieringa, 2002; Blackburn, 2004). 

Menurut Lim (2017), media sosial secara signifikan digunakan oleh gerakan Aksi Bela Islam (Aksi Bela Islam) melawan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Saat itu, Ahok banyak didengungkan sebagai pemimpin politik yang kafir. Hal itu juga nampak dalam hasil riset disertasi yang saya lakukan pada rentang 2018 hingga 2021. 

Ekspresi di dunia politik

Hasil riset menunjukkan bahwa perempuan, melalui Instagram, dapat menunjukkan ekspresi politiknya yang terlihat sangat remeh (subtle) melalui postingan aktivitas sehari-hari. Perempuan-perempuan ini aktif mendayagunakan kemampuan mereka yang sering tidak diperhitungkan, namun justru mampu menciptakan visualitas yang menarik dan percakapan-percakapan politik di Instagram. Ruang virtual memfasilitasi partisipasi perempuan muda, khususnya muslimah dalam gerakan ini. 

Seperti yang disebutkan oleh Kavakci dan Kraepelin (2016) ruang virtual memungkinkan perempuan muslim untuk menghasilkan representasi kesalehan, iman, fragmentasi, dan memungkinkan melakukan (re)konstruksi atas identitas mereka. Perempuan memiliki agency politik, mempunyai ekspresi politik yang dianggap sederhana namun sangat mudah diterima dan masuk dalam budaya populer yang renyah, ramah, dan menyenangkan. Setidaknya hasil riset saya menunjukkan hal-hal tersebut. 

Peran muslimah muda

Dalam konteks kampanye dengan tagar #muslimvotemuslim di Instagram pada 2017-2018 misalkan, perempuan-perempuan muslim muda yang berperan sebagai digital influencer menampilkan keberpihakan mereka terhadap salah satu kandidat muslim. Dengan memiliki followers (pengikut) lebih dari satu juta di Instagram dan YouTube, para perempuan muslim muda ini dapat mengaktifkan berbagai sentimen agama, ras, sosial, dan budaya untuk memengaruhi atau setidaknya memberikan referensi politik bagi para pengikutnya.

Tidak hanya untuk membela dan menggaungkan urgensi memilih pemimpin muslim, pesan sebaliknya juga dipilih oleh sebagian digital influencer perempuan yang lebih moderat dan progresif. Hasil riset saya lagi-lagi menunjukkan Instagram dapat menjadi media untuk menunjukkan resistensi perempuan muslim untuk menolak politik identitas dan berdasarkan kebencian atas sentimen rasisme yang juga hadir untuk dikampanyekan. 

Kontestasi politik ini dapat dijumpai melalui postingan ringan ketika perempuan diperlihatkan sedang mencoba pakaian muslim, menggendong anak, memasak, atau sekedar membuat minuman kopi berlatar belakang ruang privat. Ruang-ruang media sosial pada akhirnya dapat dipahami sebagai ruang kontestasi politik yang bisa saja keras, tegas dan kokoh, namun juga lembut, ringan sekaligus fleksibel di tangan para influencer perempuan.

Media digital dan budaya partisipasi 

Para digital influencer ini sangat sadar dengan kekuatan mereka ketika berkaca kepada jumlah pengikut. Saat ini, followers dapat dianggap sebagai modal sosial dan modal budaya para influencer

Jauh sebelum lahirnya Instagram, blog mode selebritis internet, seperti misalnya blog mode pada umumnya, sengaja digunakan untuk memengaruhi audiens massal dan memperluas serta berbagi modal budaya dan simbolik (McQuarrie et al., 2013; Hearn dan Schoenhoff, 2016; Gormley, 2016). Modal budaya mengacu pada kompilasi modal simbolik seperti; selera, keterampilan, gaya, reputasi, dan kepemilikan material (Bourdieu, 1986). Modal budaya dan simbolik ini membentuk landasan kehidupan sosial, dan menentukan posisi individu dalam masyarakat.

Modal sosial memberi individu akses ke sumber daya, dan memungkinkan mereka memobilisasi sumber daya mereka untuk memfasilitasi tindakan. Menurut Bourdieu (1986), modal sosial mencakup “modal hubungan sosial, kehormatan, dan penghormatan”. 

Dalam konteks gerakan politik, selebriti internet sengaja menggunakan media sosial untuk memengaruhi audiensnya. Sebagaimana dibuktikan dalam unggahan berbagai digital influencer, mereka telah mengumpulkan dan memanfaatkan modal sosial untuk mendorong self-branding, komodifikasi, dan kapitalisasi (Fuchs, 2017). Situasi ini dapat dikaitkan dengan wacana Islam populis, identitas politik, teknologi jaringan sosial, dan komodifikasi. 

Budaya partisipasi

Internet membuka peluang sangat besar budaya partisipasi (Jenkins, 2016). Budaya partisipasi memungkinkan individu untuk memproduksi pesan, mengonsumsinya kemudian mensirkulasikannya kembali. Meski demikian, dunia digital juga mengadopsi logika-logika pasar bebas yang keras, di mana kompetisi dan pertarungan menjadi pokok sentral di mana berbagai pesan persaingan diperebutkan melalui atensi. 

Begitu pula dalam dunia politik, keterlibatan perempuan dapat didorong ketika perempuan dapat berdaya menampilkan dirinya, keinginannya dan kemampuannya. Partisipasi politik perempuan harus terus difasilitasi dalam ruang-ruang digital dengan kehadiran tulisan-tulisan perempuan yang berkualitas, interaksi positif dan sehat di antara pengguna internet, dan kehadiran visualitas yang menggugah kesadaran atas isu-isu tertentu.

Perempuan juga berdaya

Tentu saja bingkai dan isu politik tidak hanya dimaksud sebagai politik praktis. Politik juga dimaknai sebagai tindakan sehari-hari. Isu-isu seperti kesadaran menjaga lingkungan, kampanye kesadaran kesehatan mental, keberpihakan atas nasib buruh perempuan dan penegakan hukum kasus kekerasan dalam rumah tangga, misalnya dapat menjadi jendela-jendela kecil bagaimana perempuan bersuara atas kehendak dirinya. 

Kanal perempuan dalam ruang digital perlu diperbanyak dan diperkuat melalui kebijakan editorial yang mendukung banyak penulis perempuan untuk berkarya dan menampilkan kekuatan mereka di dunia digital. Tidak hanya itu, dorongan media digital kepada perempuan untuk dapat terus berkarya dalam dunia digital juga dapat digunakan untuk memfasilitasi pengetahuan “baru” bagi masyarakat demi menciptakan peradaban yang setara dan berkeadilan.

BACA JUGA Perempuan Berdaya dengan Cara yang Tak Selalu Sama Seperti Isi Kepalamu dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Firly Annisa

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version