Mengapa ‘Dear David’ Layak Ditonton dan Diperdebatkan?

Mengandung sedikit 'spoiler'.

film dear david yang kontroversial

Ilustrasi film "Dear David" yang mengangkat isu seksualitas pada remaja (Mojok.co).

MOJOK.CO – Sejak muncul di salah satu platform streaming Netflix pada Februari lalu, film Dear David menuai beragam respons dari penontonnya. Banyak yang memuji keberanian film itu mengangkat isu pencarian jati diri melalui hal-hal yang sensitif dan tabu. Namun, tidak sedikit pula yang menilai film itu terlalu mengglorifikasi pelecehan seksual.

Dear David dibuka dengan visualisasi imajinasi Laras, gadis remaja, yang tengah mengetik adegan erotis. Bercampur dengan narasi fantasi, ia membayangkan dirinya sebagai seorang ratu di belantara hutan. Sementara, David teman sekolah yang ia taksir, menjadi manusia harimau yang gagah dan sensual.

Film terbaru produksi Palari Film ini telah tayang di Netflix hampir satu bulan sejak 9 Februari 2023 lalu. Meski begitu, Dear David masih menduduki peringkat 10 besar film teratas atau yang sedang paling banyak ditonton oleh penonton Indonesia. Dear David sukses masuk ke dalam perdebatan para penontonnya, karena dianggap sangat kontroversial.

Tokoh utama film ini seorang siswi cemerlang penerima beasiswa bernama Laras (Shenina Cinnamon). Di balik itu, Laras memiliki blog rahasia yang berisi berbagai fantasinya tentang David (Emir Mahira). Seorang bintang sepak bola sekolah yang ia sukai. Blog tersebut tidak pernah ia publikasikan atau tunjukkan kepada siapa pun.

Suatu hari, blog tersebut terbongkar dan disebar secara masif. Kisah-kisah fantasi ciptaan Laras dibaca oleh seluruh murid di sekolahnya. Reputasi dan masa depan Laras pun menjadi pertaruhan.

Pro Kontra Dear David

Dear David menuai beragam respons dari penontonnya. Banyak yang memuji keberanian film itu mengangkat isu pencarian jati diri melalui hal-hal yang sensitif dan tabu. Namun, tidak sedikit pula yang menilai film itu terlalu mengglorifikasi pelecehan seksual.

Gemilang di akun Twitter @nandoongg memberi rating 3/10 untuk Dear David. Ia merasa plot film tersebut berantakan dan tidak realistis, sementara penokohan dan dialognya pun payah.

“I KNOW, ini cuman film jadi bebas berkreasi dan berimajinasi. Tapi there so much plot hole dan hal-hal cringe yang terjadi…. Asli bikin nyesel nonton. Padahal dari trailer tuh menjanjikan banget. Masih bulan Februari tapi berpotensi sebagai worst movie yang kutonton tahun ini, sorry not sorry.”

Sejumlah penonton merasa Dear David amat buruk. Dalam alur ceritanya, korban pelecehan seksual justru memaafkan Laras, pihak yang bertanggung jawab mengobjektifikasi korban melalui cerita yang ia tulis.

“Aku nggak senang caranya menormalisasi non physical sexual harassment. Pelakunya justru jadi protagonis dan korban digambarkan begitu gampangnya memaafkan dengan dalih eksplorasi seksualitas remaja,” kritik Marta, salah satu penonton Dear David yang kecewa.

“Mau blog-nya Laras dipublikasikan atau tidak, itu tetap objektifikasi nggak, sih? Dia sampai mengedit foto nggak senonoh tanpa izin si empunya foto, lho. Itu freak sih, menurutku,” tambahnya.

Masyarakat membayangkan korban ideal

Sementara itu, menurut Aurelia Gracia dalam ulasan berjudul “Batas Antara Fantasi Seksual dan Pelecehan” pelaku yang sesungguhnya bukanlah Laras, melainkan teman-teman sekolah yang hendak menelanjangi David dan menyebarkan meme dari arsip blog rahasia Laras.

Aurelia juga menyebut bahwa masyarakat masih memandang ideal seorang korban pelecehan. Ia merujuk pada konsep the ideal victim atau korban yang sempurna yang dipopulerkan oleh Nils Christie, kriminolog asal Norwegia.

“Ternyata, masih banyak dari kita menilai ada cara-cara ideal yang harusnya dilakukan korban pelecehan, terutama ketika berhadapan dengan pelaku. Seolah-olah untuk jadi korban, keputusan-keputusan mereka harus mengikuti norma-norma tertentu: seperti, lebih baik untuk tidak jatuh cinta pada pelaku,” tulisnya dikutip dari Magdalene.co (7/3/2023).

Alih-alih menempatkan Laras sebagai pelaku kekerasan seksual, Aurelia memaparkan situasi yang menyebabkan perempuan memiliki pengalaman dan ekspresi yang berbeda untuk urusan seksualitas. Hal itu dilatarbelakangi oleh budaya patriarki di masyarakat.

Berbeda dengan laki-laki saat mengobjektifikasi perempuan. Dalam wacana maskulinitas dominan, banyak di antara laki-laki yang saling berkompetisi, saling ingin membuktikan siapa yang paling jantan ketika menjadikan perempuan sebagai target kekerasan seksual.

“Fantasi seksual Laras dalam Dear David tidak membuat David, seorang laki-laki, menjadi target kekerasan seksual—sebagaimana yang selama ini terjadi pada perempuan,” ungkapnya.

Dunia fanfiksi bagi perempuan

Senada dengan pandangan Aurelia meski berbeda argumen, Ann Putri dalam tulisan “Benarkah Dear David Problematik?” menyoroti perdebatan Dear David dari kacamata fanfiksi. Genre fanfiksi lahir dari para fans yang ingin mengeksplorasi ruang kemungkinan baru dari cerita yang sudah ada. Genre ini jamak ditemui dalam platform menulis fiksi daring, seperti Wattpad, Novelme, Karyakarsa, dan sebagainya.

Sebagian besar penulis dan pembaca fanfiksi bergender perempuan. Menurut Ann, fanfiksi menyediakan ruang aman bagi perempuan muda untuk mengeksplorasi seksualitas dan gender mereka. Artinya, selama ini kaum perempuan kesulitan mencari akses dan ruang yang aman untuk berekspresi di wilayah ketubuhan dan intimasi.

Ann Putri menyatakan ketidaksepakatannya pada penonton yang melabeli Laras sebagai pelaku pelecehan seksual.

“Saya kurang setuju dengan hal ini. Pertama, membayangkan diri di sebuah skenario seksual dengan seseorang yang kita sukai, terutama di masa puber, adalah hal yang normal,” tulisnya seperti dikutip pada Jurno.id (7/3/2023).

Ini aktivitas yang sama ketika orang menonton bokep tapi mengganti pemeran di layar dengan dirinya dan gebetannya sendiri melalui imajinasinya. Terlebih, dalam konteks film Dear David, Laras menuliskan imajinasinya di blog privat.

Lebih lanjut, Ann menegaskan bahwa Laras adalah korban karena tulisannya disebarluaskan tanpa izin.

Bicara tentang self-love

Sutradara Lucky Kuswandi, yang menggarap Dear David bangga filmnya bisa memantik diskusi di tengah para penonton.

“Percakapan mulai dari soal ranah privat, keriuhan media sosial, serta hak akan tubuh, hasrat penerimaan diri secara unapologetic didiskusikan dengan begitu berwarna. Terima kasih penonton Indonesia,” jelas Lucky seperti dikutip dari Antaranews, Rabu (15/2/2023).

Sebelumnya, Lucky sempat mengungkapkan bahwa film yang ia garap ini membicarakan hal-hal yang sangat universal. Tidak hanya untuk remaja walau memang bungkusnya dalam kemasan film remaja, yakni perihal self-love dan self-compassion. 

“Sementara the idea of being compassionate ke diri kita itu sesuatu yang sudah jarang dan sulit dilakukan. Jadi esensi soal mencintai siapa kita, dan dengan semua kompleksitas kita itu buat saya penting banget untuk dibahas,” jelas dia.

Ia pun berharap penonton dapat menyimak Dear David dengan pikiran yang terbuka dan tidak mudah menghakimi para karakter yang memiliki kompleksitas dan rahasia diri mereka. Di samping itu, Lucky berharap penonton bisa berempati dan memahami para karakter dengan lebih manusiawi.

Sementara itu, penulis muda yang bergabung dalam tim penulis Dear David, Winnie Benjamin tidak menyangka respon penonton terhadap film berdurasi hampir dua jam itu akan sebesar ini. Ia berharap cerita tersebut bisa mewakili orang-orang yang sedang mencari jati diri.

“Harapan saya cerita ini dapat mewakili siapa pun yang mungkin sedang berjuang untuk menemukan jati diri masing-masing melalui proses mencintai diri sendiri,” kata dia seperti dikutip dari CNN Indonesia, Sabtu (18/2/2023).

Winnie pun tidak berekspektasi apapun terhadap reaksi penonton. Setiap penonton bisa mengambil kesimpulan masing-masing terhadap film tersebut.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Mengenal 14 Jenis Kekerasan Berbasis Gender Online

Exit mobile version