MOJOK.CO- Pameran “Mengingat 25 Tahun Reformasi” di 5 galeri di Yogyakarta dibuka dengan bertahap selama hampir tiga bulan. Sebanyak 30 seniman turut serta dalam memantik ingatan sekaligus menafsir ulang peristiwa tersebut.
Siang itu langit memang sudah memberikan tanda bakal turun hujan. Hanya bermodalkan payung, saya menelusuri gang-gang kecil sekitar Kampung Kumendaman, Mantrijeron, Yogya dengan langkah sedikit lebih cepat dari biasanya. Tujuan kali ini menuju Cemeti untuk nonton pameran. Jarak tempat tinggal saya dengan galeri tidak terlalu jauh, kalau kata orang-orang “kepleset juga nyampe.” Benar saja, sesampainya di galeri hujan mulai mengguyur deras, sebuah berkah di bulan Ramadan.
Sebagai sobat kesenian yang suka datang ke acara pameran, main ke galeri sudah terasa biasa aja. Tidak lagi ada atensi dan tendensi untuk bikin foto dan video viral, apalagi dengan outfit super edgy biar terlihat matching dengan suasana galeri yang lagi banyak digandrungi.
Sebagai informasi, pameran yang sedang saya kunjungi berada di sepanjang selatan Alun-Alun Kidul Yogyakarta. Konsepnya satu pameran tapi tersebar di beberapa galeri. Pameran itu tersebar di Cemeti-Institut Untuk Seni dan Masyarakat, Kedai Kebun Forum, Ruang MES 56, KRACK!, dan LAV Gallery. Jarak antar galeri dekat sekali, buat kamu yang tim mendang-mending, ini bisa jadi opsi nonton pameran enggak berat di ongkos: hemat bensin plus gratis.
Rangkaian pameran ini berjudul “Mengingat 25 Tahun Reformasi”. Jangan ambil kesimpulan kalau semua kontennya bermuatan demonstrasi mahasiswa dan Suharto lengser ala buku-buku sejarah di sekolah. Tentu, masih beririsan namun lebih mendetail pada sejarah yang tak terberitakan. Seniman yang berpartisipasi merespon tentang peristiwa sebelum dan setelah tahun 1998 di Indonesia. Mereka menarasikan, mengingat, mengkritisi, berkomentar dan memaknai kembali peristiwa apa yang mereka alami, saksikan, atau pun sebatas ketahui pada masa-masa itu.
Ingatan tentang ‘Krismon’
Wajah dan ingatan tentang tahun 1998 tiap orang berbeda-beda. Misalnya saya, tidak ada memori lain yang terekam selain adik yang baru lahir dan langsung mengambil privilese saya sebagai anak tunggal, dan itu menyebalkan. Terkadang informasi tentang beratnya tahun 1998 saya sering dengar dari Mamak. Ia banyak bercerita tentang sudahnya hidup di masa “Krismon” (Krisis Moneter) saat membesarkan kami berdua, apalagi dengan rumah tangga yang hanya ditopang gaji guru PNS.
Keluhan tentang masa-masa sulit itu sering disajikan bersamaan dengan hidangan masakan saat makan malam. kata Mamak, biar kami lebih banyak bersyukur. Ingatan lain tentang Reformasi muncul saat saya masih di bangku sekolah, juga hanya sebatas demonstrasi besar-besaran di gedung mirip kacang hijau yang tercetak di sampul buku PPKn.
Hadirnya pameran ini membuka cakrawala saya atas apa yang terjadi 25 tahun yang lalu. Di mana karya-karya seniman langsung merekam peristiwa, bahkan di antaranya peristiwa yang menyebabkan trauma dan berdampak dengan kehidupan di hari ini. Karya-karya yang dihadirkan pada tiga galeri yang sempat saya kunjungi antara lain lukisan, grafis, mural, zine dan didominasi instalasi.
‘Tank Merah Muda’ dan jilbab
Mural berjudul Tank Merah Muda kolaborasi antara Zuraisa & Erdhs dengan Perkawanan Perempuan Menulis (PPM), membuat saya berhenti lama. Di tembok berukuran 87,5 x 82 cm tersebut sebuah potongan cerpen “Cerita di Balik Masjid Raya” memanggil saya untuk mengingat satu momen yang hampir sama.
Cerpen ini bercerita tentang pelajar Banda Aceh dan ayahnya yang bekerja sebagai tukang cukur rambut. Masa itu Aceh tengah ramai dibicarakan, terkait isu akan menyusul Timor-Timur untuk merdeka. Hingga pada satu hari, salah seorang pelanggan ayahnya menanyakan mengapa anak perempuannya belum memakai jilbab lalu mengaitkannya dengan mahram dan dosa. Anjuran menutup rambut kian terdengar kencang, hingga akhirnya ia diminta ayahnya membeli jilbab untuk menjaga diri dari keadaan yang tidak menentu itu. Pada akhir cerpen, diceritakan kengerian dua perempuan dicukur rambutnya secara paksa karena tidak menggunakan penutup kepala.
Di daerah yang bertetanggaan dengan lini tahun berbeda, saya juga memiliki ingatan tentang jilbab. Namun, bukan represi untuk mengenakan jilbab melainkan melepas jilbab. Kembali ke 2012, tahun terakhir saya di jenjang SMA. Teman-teman yang memang sehari-harinya berjilbab diwajibkan untuk melepasnya saat ingin setor pas foto untuk ijazah. Alasan dari pihak sekolah terkesan konyol, agar dapat dibuktikan apakah siswi bersangkutan cacat atau tidak. Selain pembuktian kalau tidak cacat, pas foto ijazah yang memperlihatkan telinga kabarnya kelak akan memudahkan siswi saat mencari pekerjaan.
Setiap kali membahas tentang penutup kepala ini, rasanya memang akan terus menjadi perbincangan yang tidak ada habisnya. Tubuh dan pilihan perempuan seolah tak boleh memilih jalan dan gayanya sendiri. Jilbab yang dulunya sempat dilarang di masa Orde Baru, kini seolah ada ketentuan semua muslimah wajib berhijab. Padahal, segala bentuk represi apapun, baik memaksa berjilbab maupun tidak berjilbab adalah bentuk dari hasrat mengontrol tubuh perempuan.
Berkas penjamin hidup aman
Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia, Surat Keterangan Penghapusan dari Daftar Orang Asing, Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, Kependudukan Sementara, Permohonan Ganti Nama, dokumen-dokumen tersebut disusun dalam bentuk kolase pada sebuah pigura kaca. Kumpulan berkas ini valid adanya, dan turut dipajang di ruang pameran Cemeti, karya dari seniman Meliantha Muliawan. Meliantha merekam banyak ingatan tentang sebuah koper yang sengaja disiapkan orang tuanya kalau terjadi apa-apa kepada mereka.
Kerusuhan di Mei 25 tahun silam masih menyisakan banyak ingatan. Dokumen yang disebutkan di atas juga lazim disiapkan oleh WNI keturunan Tionghoa pada masanya. Dokumen lama ini menjadi saksi, bagaimana orang tua Meliantha lebih mengutamakan berkas daripada sejumlah barang penting lainnya, sebagai bukti bahwa mereka sudah patuh aturan demi menjamin kehidupan keluarga mereka di Indonesia.
Sejumlah dokumen ini tidak berlaku selamanya, harus diperbarui setiap pergantian presiden. Ingatan 25 tahun Reformasi ala Meliantha membuka mata tentang keterjaminan hidup nyaman dan aman di negeri sendiri yang begitu rentan. Barangkali ketakutan-ketakutan itu masih membekas dan sulit memudar bagi banyak keturunan Tionghoa.
Janin berserakan di atas batu bata
Saya mengakhiri kontemplasi berkeliling pameran dengan bertandang ke galeri KRACK!. Di sana saya berkesempatan melihat karya seniman yang secara langsung bersentuhan dengan masa Reformasi dengan presentasi karya bentuk seni cetak dan instalasi. Ruang pameran di KRACK! menghadirkan karya dari empat seniman. Satu yang mencuri perhatian saya, sebuah karya dari Titarubi.
Apakah kamu ingat pernah ada penculikan aktivis 1998? Titarubi menghadirkan karya tentang aktivis yang hilang dan tidak diketahui nasibnya hingga hari ini. “Missing and Silent” merupakan sebuah instalasi yang terdiri dari susunan patung keramik berbentuk janin yang disandingkan dengan foto para aktivis yakni: Yadin Muhidin, Noval Alkatiri, Ucok M. Siahaan, Deddy Hamdun dan Abdul Naser. Janin berserakan ini ditempatkan pada kotak bercahaya di atas batu bata. Titarubi mengimajinasikan perasaan ibu-ibu yang kehilangan anaknya yang berjuang di garda depan untuk merebut demokrasi rakyat.
Sepulang mengunjungi karya-karya ini, saya makin mencari tahu, melawan lupa, membuka mata, bahwa seperempat abad memang sudah berlalu, namun banyak luka lama yang tetap meninggalkan bekas. Pameran ini hanya membuka sedikit narasi, masih banyak ingatan-ingatan lain yang tercecer di luar sana yang belum terpresentasikan dalam ruang pameran melalui medium kesenian.
Jadi, kamu punya cerita apa di tahun 1998?
Penulis: Ripase Nostanta Purba
Editor: Amanatia Junda