Mereview Panther Dinas Polisi dan Kijang Satpol PP dari Kursi Belakang

satpol pp-mojok

satpol pp-mojok

Salah satu nikmat dunia yang pernah saya rasakan adalah test drive Isuzu Panther milik kepolisian dan Toyota Kijang inventaris Satpol PP. Sebentar, jangan buru-buru menghakimi. Saya nggak bajingan-bajingan banget sampai pernah kena gerebek judi, sabung ayam, narkoba, atau berzina. Ini cuma passion memahirkan strategi sepak bola sejak usia dini yang sialnya tidak direstui mayoritas masyarakat Indonesia. Pantas sepak bolanya nggak maju-maju.

Peristiwa itu terjadi ketika celana seragam sekolah masih di atas dengkul dan berwarna biru. Hari itu, siswa-siswi diperbolehkan pulang lebih awal. Karena saya murid baik, maksud hati ingin langsung pulang dan bobok siang. Langsung gagal ketika ada kawan yang berbisik: “Ayo, main PS.”

Godaan berat. Apalagi, menolak tantangan Winning Eleven itu sama saja mengecap diri pecundang. Saya bisa apa selain mengiyakan, dengan syarat, kami ke rumah saya dulu untuk ganti pakaian bebas.

Kemudian kami berangkat, mancal sepeda ke persewaan bagai dua pihak yang akan duel pisau, gagah berani dan misterius seperti gaucho.

Jujur, dalam benak saya ada ketakutan. Hati saya gentar mendengar kabar burung polisi kerap menggelar razia siswa bolos sekolah. Maklum, saat itu musim Ujian Nasional dan saya duduk di kelas sembilan. Tapi, ya itu tadi, kami adalah pendekar: ketika berani memulai, berani menyelesaikan.

Dan benar saja, ketika baru beberapa menit main, benar-benar ada razia. Saya tak bisa pura-pura salat memakai mukena seperti Zakaria ketika Pak Pol sudah tak peduli dengan alasan saya. Benar saja, berangan-angan lebih gampang daripada kenyataannya. Saya dan si teman yang tercyduk langsung dibuang ke belakang Isuzu Panther patroli. Duduk lesehan di lantai yang nggak berkursi  dan jendelanya berteralis. Untung saja wiuw-wiuwnya tak dihidupkan.

Itulah saat ketika saya mendapat kesempatan nge-review kendaraan polisi, yang saya yakin jamaah Mojokiyah yang baik hati dan santun lakunya tidak pernah naiki karena sebab-sebab kriminal. Dan memang saya sarankan jangan.

Kenapa? Selain memalukan, merusak citra diri dan keluarga, getarannya naudzubillah. Pantat saya yang setia menempel di lantai diguncang putaran gardan Panther yang telah uzur, membuat isi perut mau keluar semua. Ditambah suara diesel yang menembus masuk ruang dalam mobil, rasanya seperti ditusuk-tusuk Tugu Pahlawan.

Lebay? Memang iya. Tapi, saya tambah yakin setelah memandang ekspresi wajah kawan hasil segarukan, sependeritaan, dan sepenanggungan; mereka demikian memelas dan ingah-ingih. Semua terdiam, tak ada yang berbicara. Sikapnya tak jenak, bingung mencari posisi nyaman. Duduk tak enak, jongkok capek, berdiri kelihatan dari luar. Ah, menderitalah pokoknya.

Untuk interior, mobil garukan polisi ini lumayanlah. Seperti mobil pada umumnya ditambah beberapa variasi radio komunikasi plus ampli sirine. Hanya saja tak terawat, kesannya kotor dan menakutkan. Tidak peduli kenyamanan penumpang. Apalagi tak ada sound system-nya. Kalau saja ada, dan Mbak Via Vallen punya lagu berjudul “Digaruk Polisi”, pasti saya minta diputar.

Setibanya di Polres Pacitan, kami didata. Ya nama diri, sekolah, orang tua, dan tetek-bengeknya. Saya jalani dengan ikhlas hati karena di negeri ini yang benar bisa salah dan sebaliknya.

Tapi, bajindulnya, gaes, yaitu sesaat kemudian saya kaget bukan main ketika bertemu tetangga yang jadi wartawan Jawa Pos daerah. Ketika ia menegur saya sembari tersenyum yang gimana gitu, saya bisa apa selain balik menegurnya.

“Mas ….”

Setan. Kok ya ketemu dia. Tapi ya sudahlah, bubur sudah jadi tahi. Muka saya buang ke lantai.

Kemudian kami dibariskan, diberi arahan yang tidak saya hiraukan sama sekali. Yang terpikirkan saat itu hanyalah rumah dan sekolah. Mau dikata apa saya besok.

Nah, bajindulnya lagi, gaes, Mas Wartawan motret kami—yang jumlahnya kurang lebih dua puluh siswa. Mungkin ini yang dinamakan masuk koran tapi malah sedih, bukan seperti ngirim cerpen lalu masuk koran Minggu. Untuk ukuran Pacitan yang cari berita susahnya minta ampun, sudah pasti muka-muka generasi penerus bangsa ini jadi berita utama. Aku bisa bayangkan judulnya: “Siswa SMP dan SMA Bolos Menjelang Ujian Nasional”. Tapi ya sudahlah. Persetan. Tahi sudah menjadi pupuk.

Setelah beberapa saat melakoni prosedur ngisi surat pernyataan, akhirnya kami diantar balik juga, kembali ke penyewaan, sebab sepeda kami masih tertinggal di situ. Tapi, kini saatnya naik Toyota Kijang punya Pak Pol PP. Benar-benar kesempatan yang langka. Senang juga menyandang status reviewer mobil dinas walau hanya sesaat.

Kijangnya tipe yang biasa disebut Kijang kapsul, atau entahlah, tidak ada tulisannya. Yang jelas segenerasi kapsul. Alhamdulillah, mesinnya bensin, barangkali produksi 2000-an awal, maka getarannya tak terasa. Saya kira Pak Pol PP dalam hal perawatan dan penggunaan lebih baik. Bodinya yang berwarna cokelat aneh tak ada yang penyok, bahkan lecet sedikit pun tidak. Juga kali ini saya duduk di bangku. Tidak terlalu rekoso.

Belakangan saya baru tahu dari saudara, rata-rata produksi Toyota itu bebannya berat, otomatis antep; efek pegas yang ditimbulkan dari getaran, jalan bergelombang, atau lubang tak begitu terasa. Saya ingat-ingat, benar juga. Saat itu si Kijang berjalan mulus mengantarkan kami. Jauh berbeda dari Panther-nya Pak Pol. Mohon maaf, jika membandingkan, mau tidak mau saya beri kemenangan kepada Kijang dengan nilai 7 dan 6 untuk Panther. Andaikata AC-nya bisa menjangkau penumpang dan saya tidak kepanasan nilai Kijang Kapsul pasti saya tambah. Lebih-lebih jika kursi penumpang didesain lebih nyaman: kursi tidak menghadap ke samping dan tidak terbuat dari kayu. Jika demikian, pasti saya kasih 10.

Sampai di penyewaan ibarat jatuh tertimpa tangga. Maksud hati ingin menghibur diri (main WE), tapi karena sistemnya yang prabayar, dan awalnya tadi kami sudah bayar, eee kami datang waktu main dua jam sudah habis. Tak punya duit lagi. Ah, embuh.

Mungkin benar kata orang bijak, setiap masalah ada hikmahnya. Ya, yang saya rasa hikmahnya adalah malu. Maka dengan ini, saya usul saja deh, daripada buat nyiduk anak-anak (yang dilindungi UU dan psikologinya rentan trauma), mending jika nanti Papa Setnov tak bisa kabur dari 200 barang bukti, mbok jangan hanya pakai rompi tahanan KPK saja, tapi juga naik kendaraan pihak berwenang yang kursi penumpangnya terbuka. Tangannya diborgol di tiang, kemudian diarak keliling minimal lima kampung di Jakarta, atau di kampung tanah kelahirannya di Bandung. Biar dia merasakan hakikat rasa malu.

Exit mobile version