Hikayat Suzuki Spin yang Wanita Tak Mau Diboncengkannya

suzuki spin mojok.co

[MOJOK.CO] “Suzuki Satria legendaris sebagai penghancur hubungan orang lain, Suzuki Spin bikin miris hubungan sendiri.”

Setiap saya membawa motor ini, Suzuki Spin 125 warna cherry pink, ada pertanyaan yang selalu nempel begitu saja, kaya upil di bawah meja, “Kok laki-laki pakai motor warna pink, Mas?” Kemudian, sesuai tuntunan Pancasila pasal kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, saya berkewajiban menerangkan asal muasal kepemilikan motor ini. Daripada misuh.

Dahulu kala, ketika masih semester pertama kuliah, bapak menjual motor Astrea ’95 saya. Kata Bapak, motor semacam ini mending dijual saja karena terlalu banyak jadi bahan eksperimen saya saat SMA. Eksperimen terpaksa saya lakukan karena iri melihat teman-teman pernah jatuh dari motor. Sedangkan motor Astrea ini kok membuat saya aman-aman saja karena saking pelannya. Buat nyalip pun nggak bisa.

Eksperimen agar bisa merasakan jatuh dari motor meliputi nyalip kendaraan secara zig-zag, nikung ala Moto GP, mengajak teman balapan padahal motornya Tiger 2000, dan puncaknya, waktu kelas 3 SMA, saya mencet rem depan secara frontal di jalan basah.

Sroooooot!

Suaranya mirip ingus waktu disedot, tapi percayalah, itu suara motor dan kaki saya mencium mesra aspal basah. Eksperimen terakhir cukup membuat saya kapok karena badan lecet di berbagai tempat. Alhamdulillah, motor selamat. Hanya foot step-nya yang ringsek.

Setelah motor dijual, otomatis bapak hunting motor baru untuk saya pakai kuliah. Jatuhlah pada motor Suzuki Spin 125 ini. Dibeli dari tetangga seharga 7 juta rupiah, padahal baru enam bulan dipakai.

Usut punya usut, tetangga saya ini pegawai dealer Honda, waktu iseng-iseng ikut undian berhadiah, eh beneran menang. Hadiahnya ya motor Suzuki Spin itu. Nah, sebelum ditegur bosnya karena memiliki motor Suzuki, dia buru-buru menjual motor ini dengan harga murah. Sumpah, waktu itu saya lihat masih berkilau-kilau, gres, tarikannya kencang karena mesin 125 cc. Otomatis bapak saya membayar tunai plus langsung balik nama!

Karena sudah balik nama inilah ketika dua tahun kemudian saya mau ganti motor, bapak saya melarang.

Kenapa saya ngotot ganti motor? Ya, pada awalnya sih untuk perjalanan dari Wonosobo ke tempat kuliah di Semarang, saya masih suka dengan motor ini. Bisa nyelip berbagai kendaraan dan ngebut di jalan perbukitan karena mesinnya bandel. Dibanding Astrea pokoknya jauh.

Nah, baru saya ketahui belakangan ternyata bensinnya superboros, padahal awal kuliah uang saku saya lima ratus ribu untuk sebulan, dan masih tidak enak hati minta tambahan uang saku. Setiap hari saya harus membeli seliter bensin, walau hanya digunakan untuk ke kampus atau beli makan. Inilah yang membuat kepala saya nyuuut nyuuut mikirin pengeluaran. Maklum, mesinnya belum injeksi dan 125 cc-nya itu akar masalahnya. Kata seorang teman, borosnya mirip Mio keluaran pertama.

Alasan kedua, karena shockbreaker-nya terlalu empuk. Setiap melewati jalan yang habis diserbu meteorit alias berlubang di mana-mana, selalu diwarnai suara “GUBRAK” sampai pinggang saya encok.

Alasan ketiga, saya curiga motor ini khusus dibuat untuk wanita. Jok motor bagian depan lancip. Dibandingkan motor Vario yang jok bagian depannya lebar, jauhlah pokoknya. Seusai perjalanan jauh, selangkangan saya selalu linu.

Alasan keempat, ketika ada bagian motor yang rusak, tidak ada suku cadang bajakan. Saya harus beli suku cadang ori yang masih kinyis-kinyis. Ya, buat saya sih harga bukan masalah. Utang bisa dicari. Masalah terbesar adalah sudah banyak dealer motor Suzuki yang tutup. Mungkin inilah saatnya Suzuki ingin berpisah dengan para pemilik motor dan fokus menjual mobil. Tapi tidak apa-apa. Kelangkaan onderdil ini justru menambah keimanan saya. Saya jadi lebih sering ke masjid, berdoa semoga Tuhan melindungi motor saya, agar jangan ada onderdil yang rusak.

Atas alasan-alasan tersebutlah saya berkali-kali minta ganti motor. Dan karena sudah mengeluarkan uang banyak untuk balik nama, berkali-kali bapak saya menolak. “Wes ngetokke dhuwit akeh, Le, mbok sing sabar wae. Disuruh sabar, Bro.

Dan saya hanya bisa pasrah.

Tak terasa sudah tujuh tahun berlalu dan saya masih sabar memiliki motor ini. Kata guru ngaji saya, yang saya lakukan ini dinamakan qanaah. Ada lagi teman berpendapat, saya berjodoh dengan motor ini. Baginya jodoh bukan pilihan, jodoh adalah bagaimana kita bertahan dengan pilihan. Sedangkan saya sendiri lebih yakin, alasan saya tidak ganti motor karena kaget, harga jual motor ini hanya satu setengah juta rupiah. Satu setengah juta itu sama dengan biaya 750 kali masuk wc umum!

Yah, kalau sedang hoki, bisa saja dijual tiga juta. Itu pun dengan syarat pembelinya belum tahu bahwa motor ini memiliki kemampuan unik. Yakni, jika pemiliknya laki-laki, bisa menjauhkannya dari perempuan.

Awalnya saya tidak demikian percaya takhayul semacam ini. Sampai suatu hari, ibu saya mengeluh, footstep untuk orang yang membonceng posisinya terlalu tinggi sekaligus licin karena tidak dilapisi karet. Jadi, saya harus memiringkan motor agar Ibu bisa naik. Sialnya lagi, ketika turun rok ibu saya nyangkut di footstep hingga robek. Karena kesusahan itulah ibu saya tidak mau saya boncengkan lagi. Mending naik angkot atau jalan kaki sekalian, katanya.

Kalau ibu sendiri saja sampai menolak saya boncengkan, apalagi perempuan-perempuan lain. Bayangkan saja, selama tujuh tahun saya kuliah, perempuan yang mau saya boncengkan bisa dihitung dengan jari. Dari sepuluh gebetan, delapan mencapai kegagalan. Hanya dua yang berhasil menjadi pacar saya, itu pun karena saya melakukan pendekatan lewat WhatsApp alias mereka belum tahu saya memiliki motor ini.

Mungkin lirik di lagu “Kimcil Kepolen” itu benar adanya, “Jare nek ra FU kowe ora I love you. Jare nek ra Ninja kowe ora cinta.” Tapi saya selalu penasaran, kenapa perempuan-perempuan itu harus berpikir dua kali untuk saya boncengkan? Kenapa pula dalam cuaca yang tidak bersahabat dan mereka butuh boncengan sekalipun, ketika saya tawari tumpangan, seolah ada cahaya wahyu Ilahi yang turun, membuat mulut mereka nyengir dan berkata,

“Tidak, Mas, saya jalan saja.”

Exit mobile version