Datsun Go, Mobil Mungil Bernuansa Angkot

Datsun Go, Mobil Mungil Bernuansa Angkot

MOJOK.COChairil Anwar pernah berkata, “sekali berarti sudah itu mati”. Untuk kasus Datsun Go ini, buat saya sekali saja, dan itu cukup.

Beberapa waktu yang lalu, karena harus mengantar bapak saya pulang ke Yogyakarta, kakak saya menitipkan mobil Datsun GO miliknya kepada saya. Bukan hanya menitipkan, kakak saya juga mempersilahkan saya untuk menggunakan akun taksi online-nya.

Tentu saja saya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Apalagi beberapa kali kakak saya tampak jelas membangga-banggakan mobil mungil berkapasitas (seharusnya) 4 penumpang ini.

Saat serah terima kunci, saya berniat untuk memasukkan mobil Datsun GO tersebut ke dalam carport rumah. Mobil ini memiliki dimensi yang kecil sehingga tak sulit bagi saya untuk memarkir mobil tersebut.

Ada pemandangan tak biasa ketika saya pertama kali membuka pintu mobil. Desain dashboard yang saya temui berbeda dengan yang biasa saya lihat di mobil pabrikan Jepang.

Tuas persnelling berada di posisi agak ke atas yang seketika membuat saya teringat pada model salah satu angkot di Bandung yang pernah saya tumpangi saat kuliah dulu. Nuansa angkot makin terasa dalam kabin mobil ini saat saya menjumpai kursi navigator (sebelah kiri depan) menyatu dengan kursi driver.

Keheranan saya masih berlanjut. Tuas rem tangan (hand brake) juga berada pada posisi yang tidak lazim.

Datsun GO memiliki model rem tangan yang berada pada posisi bagian kiri di bawah setir. Menurut sumber internet yang saya baca, konfigurasi rem tangan ini mirip dengan fitur pada Toyota Kijang atau Ford Ranger. Berhubung saya belum pernah mencoba satu pun mobil yang disebutkan tadi, saya teringat dengan konfigurasi rem tangan yang sama persis. Yakni mobil Datsun pick-up tua – entah tahun berapa – yang notabene merupakan mobil operasional laboratorium di kampus saya dulu.

Memori saya soal mobil pick-up tua ini masih kuat karena dengan mobil jadul inilah saya pertama kali menerapkan prinsip-prinsip dasar mengemudi.

“Kalian silahkan pakai mobil ini untuk belajar. Jangan takut kalau tabrakan dengan mobil lain. Dijamin mobil lain yang akan menghindar dan berusaha untuk tidak berurusan dengan mobil tua ini hehe…”, demikian seloroh senior saat kami mulai belajar nyetir dengan pick-up Datsun itu.

Sebagai catatan, model rem tangan Datsun ini jelas akan membuat kaget dan aneh kepada mereka yang terbiasa menggunakan rem tangan yang berada di tengah kursi baris pertama.

Cara kerja rem tangan ini adalah dengan cara ditarik ke atas. Seandainya kalian ingat cara kerja pompa angin jaman dahulu yang biasa digunakan oleh bapak kita untuk memompa ban sepeda onthel-nya, nah kira-kira seperti itu bentuk dan metode kerja rem tangan Datsun.

Dari mulai perkara rem tangan, saya duga penggunaan mobil ini tidak akan mudah.

Benar saja, yang pertama soal kaca jendela. Datsun GO tidak memiliki fitur power window, yang berarti bahwa masing-masing kaca jendela harus dibuka dan ditutup secara manual. Tak hanya itu, kaca jendela pada kursi penumpang bagian belakang masih menggunakan tuas yang diputar untuk mekanisme buka-tutupnya.

Luar biasa. Di era zaman now ketika sepak bola sudah menggunakan teknologi Video Assistant Referee (VAR) dan Ellon Musk sudah berencana untuk pergi ke Mars, baru kali ini saya temui (lagi) kaca jendela mobil yang dibuka-tutup dengan cara diputar.

Kedua soal wiper. Mobil kecil ini hanya punya satu batang wiper yang terletak di kaca bagian depan. Tidak ada batang wiper di kaca bagian belakang. Jadi seandainya kita berkendara dalam kondisi hujan deras, sementara di dalam kita nyalakan AC, maka silahkan berlatih kebatinan kesabaran saat melongok kaca bagian belakang yang menjadi buram akibat terjadi pengembunan.

Yang ketiga soal suspensi. Setahu saya, mobil ini menggunakan suspense MacPherson Strut dengan Double Pivot Lower Arm pada bagian depan. Namun istilah yang njlimet itu seakan tidak berarti manakala saya merasakan betapa kerasnya suspensi mobil ini. Ketika mobil sedang melaju di jalan, bertepatan dengan saya kebingungan mempelajari tampilan dashboard, saya khilaf tidak memperhatikan lobang di depan. Akibatnya mobil menghajar lobang tersebut. Sebenarnya lobang itu tidak terlalu besar, atau dalam, tapi entah kenapa benturan sangat terasa di dalam. Sesaat saya merasa sedang berada dalam kaleng Khong Guan raksasa. KERAS dan jeduak.

Yang keempat adalah perkara akselerasi. Namanya ibukota Jakarta, aneh rasanya bila jalanan tidak macet. Saat menemui kemacetan inilah, seringkali mobil ini saya kemudikan dengan gigi 3 atau 2. Sayangnya mobil ini tidak mampu berada dalam moda operasi demikian.

Beberapa kali engine mobil tampak kehilangan daya, ngempos dan nglithik manakala saya masukkan gigi nomor 2 saat mobil berjalan dengan kecepatan rendah. Sungguh berbeda dengan Avanza Veloz milik saya yang masih (sangat) mampu untuk berjalan perlahan di gigi 2 dan tidak nglithik.

Dalam Ijazah S1 saya, memang tertera gelar Sarjana Teknik Mesin. Akan tetapi saya tidak mampu menganalisa penyebab mesin Datsun GO ini yang kehilangan daya saat berjalan dalam kecepatan dan RPM rendah. Apakah ada hubungannya dengan konfigurasi mesin 3 silinder dengan kapasitas yang hanya berkisar 1.200 cc, entah lah saya tidak faham. Mobil Avanza selain Veloz juga memiliki kapasitas cc yang sama, sekitar 1.200 tapi rasanya memiliki daya yang lebih mumpuni dibanding Datsun GO ini.

Cukup sudah. Ketika akhirnya kakak saya tiba kembali di Jakarta dan saya harus menjemputnya di stasiun Pasar Senen, hal pertama yang saya lakukan adalah LANGSUNG menyerahkan kunci mobil kembali kepadanya. Saya enggan berbasa-basi dengan menanyakan bagaimana perjalanannya, atau berusaha mencari tahu seperti apa sistem perkereta-apian masa kini yang katanya sudah banyak berubah –perubahan yang begitu dibangga-banggakan cebong fans Jokowi– atau bertanya apakah ia sudah makan apa belum, dan sebagainya.

Kakak saya hanya manggut-manggut saat saya ceritakan semua keluh kesah soal mobil ini sebanyak 1.000 kata, kira-kira sama dengan jumlah kata pada artikel ini.

“Yaah namanya juga mobil murah. Harganya saja cuma 110 juta”, komentar kakak saya ketika saya selesai berkeluh-kesah.

Oke… saya jadi faham, kenapa mobil ini jadi primadona untuk dijadikan taksi online. Kapasitasnya yang tidak terlalu besar, harganya yang terjangkau, tentu pantas untuk jadi pilihan. Toh rata-rata penumpang taksi online tidak menempuh jarak yang jauh dalam bepergian. Mereka tinggal masuk ke dalam, update status facebook, bikin instastory tentang kemacetan lalu kepoin Instagram mantan, selesai. Selama di dalam kabin mobil tercium bau harum dan bersih, niscaya mereka tak akan banyak omong atau komplen.

Kami berdua pun hanya bisa terdiam saat mobil mulai berjalan keluar dari area parkir stasiun. Kakak saya menghisap rokoknya sementara saya mulai dilanda rasa kantuk.

“Tapi masih mending mobil ini lho daripada Agya”, ujar kakak saya memecah keheningan malam.

Exit mobile version