Bismania Bersatu Tak Bisa Dikalahkan

bis-budiman-otomojok-mojok

bis-budiman-otomojok-mojok

MOJOK.CO Yang namanya mania, pasti sulit dipahami oleh yang tidak-mania. Berikut kisah-kisah luar biasa para bismania.

Pada masa injury time mudik Lebaran, anggaplah tanggal likuran akhir Ramadan, pergilah kamu ke terminal atau agen tiket bis. Jika kamu mendengar ada orang bercakap-cakap seperti berikut—dan isinya sama-sama pertanyaan, bukan tanya-jawab seperti biasanya;

MBAK AGEN: “Mau ke mana, Mas?”

COWOK PEMUDIK: “Yang masih kosong tinggal tujuan ke mana?”

MBAK AGEN: “Lho, Mas ini mau mudik ke mana, tho?”

COWOK PEMUDIK: “Eh, nanti kalau saya sebut tujuan tertentu, tapi malah nggak ada jatah kursinya, terus gimana? Lantas saya nggak jadi naik bis, kan?”

maka cowok tersebut, kemungkinan besar, adalah Rian.

Jangankan kamu, bagi mbak agen tiket itu pun maksud dan tujuan Rian ini jelaslah aneh. Di saat orang-orang ingin segera tiba di tujuan mudik, yang ini malah tidak tahu mau mudik ke mana dan cuma pengin numpak bis. Semuanya akan beres andai semuanya tahu Rian itu cowok yang fakir kampung halaman namun ingin turut merasakan sensasi mudik dan segala macetnya dengan satu syarat pelampiasan syahwat touring: harus naik bis.

Hobi yang kebablasan disebut mania. Hobi seperti ini bikin ruwet pikiran orang modern yang efisien dan tertata, tapi dapat melepaskan katup katarsis bagi para mania. Hobi apa pun aslinya juga begitu. Hobi mancing bahkan kadang dapat bikin rumah tangga berantakan. Masak duduk berjongkok berjam-jam lebih menyenangkan daripada bersama anak dan istri? Para istri yang maklum akan membiarkan suaminya begitu karena ia beranggapan, memancing ikan jauh lebih baik daripada memancing istri orang.

Coba pikir, punya koleksi 7.000 mobil macam Sultan Brunei itu buat apa, sih? Sempatkah beliau menjadi “penduduk” di antara sekian ribu jok mobil sebanyak itu? Mania otomotif pun tak bakal mampu melakukannya karena pantat manusia itu cuma satu. Sebetulnya, contoh yang ini sama dengan contoh yang tadi atau juga dengan contoh berikut, hanya beda modelnya saja: Orang yang hobi ngoleksi pulpen dari berbagai merek dan jenis, itu juga untuk apa? Toh dia menulis caption untuk foto-foto Instagram-nya juga tidak pakai pulpen, kok. Paling-paling, dia menggunakan pulpen hanya untuk tanda tangan, itu pun tidak bakalan menggunakan pulpen koleksinya. Nah, lho!

Segala macam jenis hobi memang sulit dirasionalisasi, termasuk juga para penggemar bis “garis keras” yang disebut bismania ini. Sebelum komunitas bismania terbentuk di tahun 2007, banyak orang mengira kalau hobi naik bis, mencintai bis, gemar ngoleksi miniatur bis (sampai-sampai ngomongnya pun enggak cas-cis-cus, tapi bas-bis-bus), dianggap kegemaran aneh.

Derajat berikutnya adalah mania, mania apa pun. Maqam ini ditempati oleh mereka yang memiliki kecintaan pada suatu item atau hal—seolah-olah—melampaui kemampuan akal sehat untuk menerimanya. Adanya komunitas penggemar bis menjadi sedikit bukti dan sokongan agar keberadaan mania-mania ini dapat diterima oleh masyarakat umum dan bahkan mungkin dilindungi oleh negara. Jangan salah, mereka merupakan aset penting dalam dunia tranportasi, terutama transportasi publik. Kepolisian, Kemenhub, Kementur (kementrian turing) perlu bergandeng tangan dengan mereka. Tapi, ingat! Para penggemar bis ini banyak sekali jenisnya, wadahnya, komunitasnya.

Sepanjang riwayat tentang orang yang pergi-pergi yang saya tahu, dari satu tempat—anggaplah itu rumahnya—ke tempat yang lain (seperti ke ibu kota, ke rumah saudara, ke rumah mertua, atau tujuan mana pun) pastilah selalu dilandasi oleh alasan “dalam rangka”. Contoh: Saya pergi ke Jakarta dalam rangka ingin tahu seperti apa rasanya macet; situ pergi ke pelosok Papua dalam rangka melaksanakan tugas kampus; Nidin pergi ke Banda Aceh dalam rangka menonton konser Apache 13. Semua perjalanan itu ada “dalam rangka”-nya dan tersurat secara nyata.

Nah, belakangan, saya tahu, atau jangan-jangan kamu juga baru tahu, bahwa sungguh-sungguh ada di dunia ini orang yang bepergian hanya benar-benar karena ingin bepergian, tidak jelas ke mana tujuannya. Paling-paling ada yang nambah syarat dan rukun: naik armada tertentu, naik bis tertentu, bukan karena ingin pergi ke mana atau karena apa.

Masih mending jika ada orang yang pergi ke Maladewa hanya karena penasaran setelah melihat seorang artis dan pesohor publik berwisata di sana, sedangkan dia sendiri hanya bertujuan selfie di pantainya, di pantai yang pasir dan lautnya nyaris selalu sama di seluruh dunia. Lah, ini ada yang menempuh perjalanan nyaris 1.000 km x 2 tanpa tujuan apa pun kecuali hanya ingin numpak bis. Kalaupun dipaksakan harus ada tujuan, tujuan dia adalah kembali ke tempat pemberangkatan.

Cara seperti ini bukan-saya-banget, sebab semua perjalanan saya harus ada “dalam rangka”-nya, ada judulnya. Tapi, saya pernah beberapa kali melakukan perjalanan gaya melingkar, semisal pergi dari kota A ke kota B tapi lewat dulu kota C, contoh: dari Probolinggo ke Surabaya tapi lewat Kertosono lebih dulu; dari Jakarta tujuan Madura tapi ikut bis yang tujuan Jember.

“Sampean nanti turun di mana?” kata kernet.

“Terserah saya, deh. Saya sudah beli tiket Jember.”

“Maksudnya?”

“Saya mau pulang ke Madura.”

“Loh, kok naik bis ini? Bis ini kan tujuan Jember?”

Bagaimana saya menjawab? “Kalau saya hanya melulu naik bis tujuan Madura pada saat saya memang akan pulang ke Madura, maka seumur-umur saya tidak akan pernah bicara dan kenal serta tahu bagaimana penumpung-penumpang Jemberan itu, tidak pula sempat ngobrol sama sampean seperti sekarang ini.”

“Ooo, ngono, tah?!”

Kata orang, dengan cara seperti di atas saya melakukan tindakan bodoh. Baik, saya terima. Tindakan tadi tampak gendeng secara fulus-isme dan mepet-isme, tapi secara antropologis, itu ilmiah. Kok bisa? Ya, silakan dicarikan dalil-dalilnya untuk penelitian, jangan bebankan lagi kepada saya untuk melakukannya.

Yang seharusnya membuat orang melongo itu lebih tepat andai mereka melihat Didik Edhi dan Ponirin dan sejenis mereka yang tipikal, yang setiap minggu selalu wira-wiri naik bis antar-lintas-provinsi. Kalau dipikir, mereka, para penglaju PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad) atau S3 (Setiap Sabtu Setoran) itu, tidak cukup rasional jika hanya dimodali duit dan kekuatan fisik, tanpa ada dorongan hobi ngebolang naik bis.

Dulu, Ferizal ngelaju rute Jakarta-Jember (mirip trayek bis malam; hampir 1.000 kilometer sekali jalan) setiap pekan. Jika dia berangkat pada hari Jumat pukul 01.30 dari Jakarta, baru tiba Sabtu pagi agak siang di Jember. Ngumpul setengah hari Sabtu dengan keluarga plus seperempat hari Minggu karena sisa hari Minggu-nya sudah harus berbagi kue dengan dengan aspal jalanan Jalan Nasional Rute 1 yakni Pantura sebab esoknya, Senin, hari yang konon paling membosankan itu, mesin absen sudah menunggunya di Ibu Kota.

Masih banyak kegilaan lain para penggemar bis itu, yang tentu saja tidak muat disampaikan semua di rubrik dan artikel ini. Akan tetapi, setidaknya kamu juga harus tahu satu hal lagi, tentang seseorang bernama Plenthonk yang pernah ngebolang hingga Thailand hanya demi bis-bisan ini, dengan modal mepet pula. Saking keranjingannya sama bis, ia sampai-sampai rela menggambar anggota tubuhnya dengan tato bis yang sedang parkir. Haduh, kok ada, ya, kegilaan seperti ini? Heran saya.

Konon, dia kadang pakai alasan “muntah kalau duduk di belakang” kepada kernet dengan maksud agar akhirnya dia dapat duduk di “kursi panas” sesuai targetnya alias “kursi CD”, yaitu kursi terdepan yang berada sejajar dengan sopir di kanan dan kernet di kiri. Saya menduga keras, cowok ini punya semboyan mania yang heroik: “kursi CD atau tidak sama sekali” atau “kursi CD harga mati!”

Masih banyak keganjilan lain para mania itu, mulai dari kolektor tiket selengkap-lengkapnya, menghafal plat nomor bis sesuai trayek dan jam keberangkatannya, niteni gaya dan kecepatan pengemudi tertentu, mengoleksi miniatur dan atau emblem-emblem sasis dan karoseri, dan banyak hal aneh lainnya, seperti Odhie yang pernah nyambi nyopir trayek antarprovinsi sembari kuliah magister (S2) di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya dengan alasan, “Cuma mau tahu rasanya nyetir bis.” Mereka kadang bingung kalau ditanya, mengapa mereka gemar hingga begitu rupa. Ini bukti bahwa cinta memang sulit dirasionalisasi, apalagi cinta yang naik pangkat hingga mania.

Dengar kabar, Sabtu, 10 Maret 2018 mendatang, bakal ada jambore Bismania Community (BMC) di Lampung. Tidak terbayangkan jika para mania(k) bis ini bersatu di sana dan ngomong segala macam tetek bengeknya: dari soal model dan ragam bis hingga sistem transportasi, mulai soal sasis hingga karoseri, pembahasan karcis hingga livery. Seperti apa, ya, kira-kira jika para mania itu bersatu? Tampaknya, untuk melihat langsung seperti apa situasinya, kayaknya saya juga harus meliput, tentu saja dengan cara datang ke sana. #eh

Exit mobile version