Klaim Berguru ke Nabi Muhammad itu Berat, Biarkan Ustaz Evie Effendi Aja yang Kuat

Klaim Berguru ke Nabi Muhammad itu Berat, Biarkan Ustaz Evie Effendi Aja yang Kuat

Klaim Berguru ke Nabi Muhammad itu Berat, Biarkan Ustaz Evie Effendi Aja yang Kuat

MOJOK.COKlaim berguru kepada Nabi Muhammad kayak Ustaz Evie Effendi itu sah-sah saja. Baru jadi masalah kalau klaim itu digunakan untuk mengolok-olok kelompok lain.

Gara-gara pernyataannya yang sering warbiasa berani, Ustaz Evie Effendi belakangan ini panen cemooh. Padahal blio pernah mengaku secara terbuka berguru kepada Nabi Muhammad dan para sahabat.

Oke, sebenarnya klaim berguru ke Nabi seperti itu sah-sah aja. Sebagai seorang pendakwah, pengakuan itu bisa memberi legitimasi—yang mungkin sangat blio butuhkan. Namun menjadi masalah ketika legitimasi itu dijadikan dalih untuk menjelek-jelekkan kelompok lain.

Menganggap kelompok lain sebagai ahli bid’ah lah, menyalahi ajaran Nabi atau anu lah. Seolah kelompok lain yang dijelek-jelekkan itu tidak berguru juga kepada Nabi dan para sahabat melalui para ulama.

Dalam salah satu videonya, Ustaz Evie Effendi merekomendasikan para jamaah agar membaca buku hadis karya Syekh Albani, seperti Silsilah Hadis ad-Dhaifah. Dengan kitab itu, menurutnya, kita tahu mana hadis-hadis yang masuk kategori daif (lemah). Keislaman kita pun tidak akan lagi tercemar dengan sesuatu yang bukan berasal dari ajaran Nabi.

Asumi tentang kemurnian ajaran itulah yang agaknya kemudian memunculkan klaim bahwa Ustaz Evie Effendi berguru kepada Rasulullah dan para sahabat, sedangkan yang tidak sepemikiran dengan Ustaz Evie Effendi dianggap tidak. Hm, oke. Boleh lah.

Gara-gara Ustaz Evie Effendi pula, saya jadi ingat sama dosen hadis saya yang lumayan galak. Saya ingat, dosen saya ini sering menghardik mahasiswa (juga kepada jamaah pengajian yang diisinya) yang dengan gampang mengatakan bahwa hadis ini daif. Dosen saya ini biasanya akan mengajukan pertanyaan sederhana, “Di mana letak daifnya?”

Sering kali pertanyaan sederhana itu membuat pendebatnya kelabakan. Yang ditanya tidak bisa menunjukkan letak kedaifan yang dimaksud atau lemah dalam memberikan argumentasi. Jawaban standar yang muncul biasanya, “Menurut Ustaz Anu begitu.”

Nah, di sinilah masalahnya.

Maav, sekadar mengingatkan, hadis itu kan memiliki dua unsur, matan dan sanad. Matan adalah materi pesan yang disampaikan dalam sebuah hadis. Sedangkan sanad adalah mata rantai yang menghubungkan satu rawi dengan rawi lainnya, mulai rawi terakhir hingga kepada Nabi Muhammad sebagai pemberi pesan.

Nah, karena terdiri atas dua unsur, maka untuk menentukan kesahihan atau kedaifan sebuah hadis, kita perlu meninjau kedua unsur tersebut.

Dari sisi matan, ada istilah kritik matan. Pada zaman Nabi, para sahabat biasa melakukannya dengan mengonfirmasi langsung kepada Nabi. Sedangkan kita atau Ustaz Evie Effendi jelas tidak bisa melakukannya karena sudah beda zaman.

Pada masa-masa berikutnya, para ulama mengembangkan metode-metode kritik matan. Misalnya nih, harus membandingkannya dengan Al-Quran atau dengan hadis lain yang dinilai lebih sahih.

Metode ini tentu saja sulit dilakukan oleh orang yang baru memahami satu dua atau tiga ayat dan hadis. Apalagi yang kelas belajar Al-Quran atau hadisnya baru lewat terjemahan.

Nah, pengujian terhadap sanad lebih rumit lagi. Karena proses periwayatan hadis itu melibatkan banyak orang maka kita juga harus meneliti setiap orang yang terlibat tersebut. Dalam pelajaran di kampus saya dulu, materi ini disebut ilmu rijalul hadist yang harus dipelajari paling tidak satu semester kalau tidak ngulang.

Dari sana, setiap rawi harus diselidiki identitasnya: kapan ia lahir dan di mana, kapan ia meninggal dan di mana, ke mana saja ia belajar dan kepada siapa.

Informasi-informasi ini diperlukan untuk memastikan apakah ia benar-benar pernah bertemu secara langsung orang yang ada dalam rangkaian sanad tersebut. Ribet ya? Ya emang, makanya setiap mahasiswa tafsir hadis butuh minimal satu semester kalau tidak ngulang dalam mempelajari ilmu ini.

Selain itu penting juga diketahui bagaimana komentar ulama yang sezaman dengan ia terkait perilaku dan tabiatnya. Apakah ia termasuk orang yang dapat dipercaya? Suka berbohong atau tidak? Bagaimana interaksinya di masyarakat? Apakah ia memiliki ingatan yang baik atau tidak? Dan sebagainya.

Data-data ini akan menjadi komponen untuk menentukan sejauh mana akurasi informasi yang disampaikan.

Ada juga yang menambahkan bahwa tinjauan historis atas seorang rawi itu perlu mengungkap kecenderungan mazhab dan politiknya.

Ya wajar dong, seorang rawi kan juga manusia biasa yang bisa aja memiliki bias. Entah bias politik, bias ekonomi, bias kelas sosial, bahkan bias gender. Penelusuran tentang aspek ini diharapkan dapat menyaring bias-bias itu agar lebih diperoleh penilaian yang “relatif” objektif.

Karena itu, penilaian atas seorang rawi akan berbeda-beda. Satu ulama kadang memiliki standar yang berbeda dengan ulama lainnya. Ukuran yang dipakai Imam Bukhari, misalnya, berbeda dengan yang digunakan oleh Imam Muslim, Nasa’i, Turmudzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan pakar hadis lainnya. Perbedaan tersebut pada gilirannya berakibat pada perbedaan kesimpulan tentang kualitas rawi dan sanad.

Itu pun baru penilaian terhadap satu jalur hadis. Padahal biasanya, satu hadis memiliki beberapa jalur, dan itu harus ditelusuri semuanya.

Memang kesannya jadi kayak memperumit masalah, tapi ya mau gimana lagi, emang begitulah prosedur penelitian terhadap seorang perawi hadis. Wajar saja ada perbedaan penilaian antara satu ulama dengan ulama lain tentang kualitas sebuah hadis. Ada yang menyebut satu hadis sahih sementara yang lain mengatakan daif.

Dengan begitu, Ustaz Evie Effendi, menurut saya kita tidak bisa mengunggulkan satu penilaian dengan menafikan penilaian yang lain. Lagipula jumlah hadis itu ratusan ribu. Diskusi tentangnya begitu luas spektrumnya. Oleh karena itu, tak elok rasanya mengatakan orang lain tidak mengikuti ajaran Nabi hanya karena mereka tidak sama preferensinya.

Begitu juga tidak elok kalau ustaz mengatakan berguru kepada Rasulullah padahal yang dibaca cuma kitab Al-Albani. Etapi nggak apa-apa juga ding. Kegenitan seperti itu toh mungkin juga sering dilakukan banyak orang.

Seperti zaman kuliah dulu, agar dikira keren dan intelektuil, banyak mahasiswa tafsir hadis yang menulis kutipan pernyataan dari Muhammad Abduh (ulama Mesir) di catatan kaki. Padahal yang dibaca sebenarnya bukunya Pak Quraish Shihab yang ngutip Muhammad Abduh. Ya biar dikira sudah pernah berguru ke Muhammad Abduh, atau minimal pernah baca kitab-kitabnya.

Meski kalau Ustaz Evie Effendi sih saya yakin nggak begitu. Lah iya dong, udah berguru sama Nabi dan para sahabat kok, ngapain baca kitabnya Muhammad Abduh segala ya kan?

Karena klaim berguru ke Nabi Muhammad itu berat, jadi biarkan Ustaz Evie Effendi aja yang kuat

BACA JUGA Dalil pun Ada Jenis Kelaminnya, Lho! atau tulisan Muhammad Zaid Sudi lainnya.

Exit mobile version