Kisah Warung Kena Guna-Guna yang Aneh tapi Nyata

mie ayam bakso

MOJOK.CO Dugaan warung kena guna-guna ternyata bukan isapan jempol. Pagi hari setelah pengajian selesai diadakan, ada kotoran besar menggumpal di dalam toko.

“Sudah coba warung makan baru yang ada di ujung jalan sana?”

Seorang kawan bertanya padaku, selagi kami menghabiskan sisa es krim yang dibeli tadi siang. Sore itu, kami baru saja selesai mengerjakan tugas kuliah dan sedang membahas akan pergi ke mana nanti saat waktunya makan malam.

“Belum. Mau ke sana?” jawabku, “Dengar-dengar, warungnya bertema stroberi. Jadi desainnya cute, gitu.”

Temanku, Lina, tiba-tiba tampak kaget. Saat aku bertanya kenapa, dia menjawab, “Aku jadi ingat warung makan milik temanku. Warung makan nasi goreng stroberi di depan Pasar Kota.”

Sore kami lantas mendadak diisi dengan cerita Lina.

“Jadi gini, ini soal warung kena guna-guna…,” ujar Lina.

Kejadiannya berlangsung tahun 2016. Saat itu, Pasar Kota dipenuhi banyak penjual hingga ke seberang jalan. Teman Lina, namanya Pak Nandar, membuka warung makan nasi goreng stroberi bersama istrinya. Mereka cukup optimis pada bisnis mereka, mengingat belum ada warung makan yang menjual menu sejenis.

Lina ditawari mampir hampir setiap hari. Sayangnya, setiap kali Lina melewati Pasar Kota, ia tak pernah berhasil menemukan warung yang dimaksud.

“Warung kalian di sebelah mana, sih?” tanya Lina suatu hari, lewat telepon. Kala itu, ia menghentikan motornya di depan pintu masuk pasar, bertekad akan makan nasi goreng stroberi saat itu juga.

Pak Nandar menjawab, “Seberang pasar persis. Namanya Warung Stroberi. Plangnya warna merah. Sebelah warung sate ayam.”

Lina mengedarkan pandangannya, tapi tak menemukan apa pun. Ia hanya melihat warung nasi kuning, penyetan, hingga lontong opor. Oh, memang ada warung sate ayam—tapi di sebelahnya hanya ada kedai kosong yang ditutup pagar berdebu.

Pak Nandar berjanji akan menjemputnya segera di depan pintu pasar agar mereka dapat langsung mampir ke warung. Lina setuju, lalu duduk menunggu sambil melihat orang yang berlalu lalang.

Pak Nandar tiba dengan berjalan kaki. Senyumnya lebar sekali saat melihat Lina berniat datang ke warungnya. “Pengunjung sepi sekali, hampir tidak ada yang datang sejak buka. Kurang promosi kali, ya?” katanya, selagi mereka dalam perjalanan ke warung.

Hanya perlu sekali seberang, sampailah mereka di Warung Stroberi. Bu Nandar menyambut Lina dengan ramah. Tidak ada pengunjung satu pun di sana. Di sebelahnya, Lina bisa melihat warung sate ayam yang tadi diamatinya dari seberang jalan. Butuh waktu beberapa detik bagi Lina untuk menyadari bahwa dirinya berada di tempat yang ia lihat sebagai kedai kosong dengan pagar berdebu seperti tak berpenghuni.

“Pak Nandar dan istrinya kaget sekali waktu aku bilang bahwa warung mereka tampak seperti toko kosong dari seberang jalan,” jelas Lina padaku. Lalu sambungnya, “Ternyata, warung kena guna-guna! Pelakunya salah satu pemilik kedai makanan di sana yang khawatir rezekinya terancam.”

“Aku juga ingat cerita yang mirip,” tiba-tiba aku tersadar. Kejadian warung guna-guna serupa juga menimpa salah seorang kerabat.

Pamanku, namanya Pak Roni, punya sebuah warung sembako yang baru dibuka. Barang dagangannya terbilang lengkap dan harganya murah—cocok menjadi pilihan tempat belanja bagi warga sekitar. Sayangnya, tokonya selalu sepi. Pak Roni tidak curiga—ia pikir mungkin kebanyakan orang masih suka belanja di minimarket sehingga ia butuh waktu khusus untuk bisa diterima.

Suatu hari pihak pemasok barang menghubunginya. Mereka bilang akan datang pukul 3 sore untuk mengantarkan stok air minum ke warung Pak Roni. Sayangnya, sampai pukul 4, tidak ada siapa pun yang datang. Pak Roni dengan segera menghubungi pihak pemasok kembali.

“Kami sudah ke sana, Pak,” jawab pihak pemasok barang, “Hanya saja warung Bapak tutup. Kami jadi jalan terus.”

Kecurigaan mulai muncul setelah itu. Beberapa orang bilang warung kena guna-guna mungkin saja terjadi, tapi Pak Roni masih tidak habis pikir. Akhirnya, ia mengadakan pengajian selama satu malam penuh untuk menghilangkan sihir atau guna-guna apa pun yang sekiranya dikirim ke warung miliknya tersebut.

Dugaan warung kena guna-guna ternyata bukan isapan jempol. Pagi hari setelah pengajian selesai diadakan, ada kotoran besar menggumpal di dalam toko.

“Besar sekali,” kataku, sementara Lina mengernyit karena jijik, “dan bau. Kotorannya bisa dibersihkan, tapi baunya tak bisa hilang-hilang. Warung pamanku tak lagi jadi warung kena guna-guna, tapi ia harus menanggung aroma tak sedap itu.”

“Terus, apa yang kalian lakukan?”

“Warungnya ditutup sementara. Ia buka lagi beberapa minggu kemudian,” jawabku. Kami terdiam selepas itu—entah kenapa tak sengaja memandang toko tua di seberang tempat kami duduk saat itu dan bertanya-tanya apakah tempat itu juga merupakan warung yang dikirimi sihir dan guna-guna sampai-sampai kami tak bisa melihatnya. (A/K)

Exit mobile version